Mohon tunggu...
Gen Mancha Koesoema
Gen Mancha Koesoema Mohon Tunggu... Swasta -

Penulis bayang-bayang dan penikmat kepura-puraan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Beringinku, Beringin Tua.

4 Februari 2015   15:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:51 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Refleksi atas beringin yang terbelah).

Siang itu dipelataran rumah dengan pemandangan sawah yang membentang luas. Lalu lalang para petani terdengar dengan jelas dari bunyi peralatannya. Sesekali saya memandangi luasnya sawah dan hijaunya bibit padi yang baru ditanam. Diantara sejuknya pemandangan ada pohon beringin yang berdiri gagah sendirian dikejauhan sana.

Pohon beringin yang rindang ditengah sawah menjadi tempat berteduh favorit para petani untuk sekedar beristirahat makan siang bekal yang dibawa dari rumah. Canda tawa, saling tukar cerita tentang tanaman padinya, sesekali celetukan langkanya pupuk terdengar diantara mereka.

Pak Samin, petani tua, sekian banyak petani yang menghabiskan waktu istirahatnya dibawah pohon beringin yang besar kokoh dan rindang itu. Selalu mampir kerumah setiap kali pulang dari sawahnya. Obrolan ringan yang tak berujung dan tak bernilai bagi orang-orang yang mengukur komunikasi bernilai duit. Sore itu pak samin berceloteh, beringin tua itu sudah penuh dengan ulat sehingga petani tak lagi berteduh.

Mungkin karena musim hujan sehingga ulat-ulat itu datang dan menggerogoti daun. Beringin yang rindang tak lagi menyejukkan dan batang daunnya berjatuhan karena beban dari ulat-ulat itu.

Beringin dan Turbulensi Partai.

Fenomena pak samin dan beringin yang berulat menjadi hal yang menarik disaat etos kerja, kerja, kerja banyak didengungkan dalam setiap corong-corong pemerintah. Entah itu melalui media cetak dan online ataupun lewat mulut ke mulut menyebabkan semangat kembali berkobar.

Perhelatan pilpres 2014 yang lalu membawa dampak politik pada rutinitas lima tahunan sebuah partai politik yang bernama Golkar, yang 50 tahun lalu terlahir. Munas yang sejatinya penuh dengan hiruk pikuk dan gegap gempita laksana perang memperebutkan kemenangan tak terasa, Bahkan perpecahan dan munculnya dua musyawarah nasional (Munas) tak dapat dihindari. Hanyalah kepanikan dan ketakutan politik yang bisa dirasakan dilihat dari benak para peserta munas. Munas yang dilaksanakan di Bali, yang notabene kota yang menjadi destinasi wisata Indonesia, ternyata tak memberikan efek yang berarti bagi para peserta.

Pun begitu dengan Munas yang dilaksanakan di Ancol, Ancol; destinasi wisata favorit warga Jakarta dan sekitarnya juga tidak sesuai dengan yang diharapkan. Aura ketakutan dan kecemasan peserta juga terasa sekali. Munas ya munas yang menurut sebagian orang dianggap tandingan. Maklum, jamannya jaman tandingin.

Keteduhan yang tertempel dipohon beringin sampai detik ini juga belum terasakan. Tahap demi tahapan untuk menyatukan entitas yang terbelah telah dilakukan, bahkan mahkamah partaipun telah turun tangan untuk menyelesaikan masalah. Karena tidak kunjung menemui titik kesepakatan maka persoalanpun di bawah ke meja hijau. Cerita apa yang bermunculan kemudian? Tidak.!!! Hakim dengan segala kebijakannya mengembalikan pada internal partai untuk diselesaikan.

Dan inilah babak baru kedewasaan berpolitik partai yang 50 Tahun lalu di Deklarasikan menemukan ujian terberatnya. Ujian yang harus dijawab bersama saudara kandung yang sama-sama menginginkan menjadi pemimpin dirumah besarnya itu. Penyelesaian yang harus diterima lapang dada bersama kawan sejawatnya yang telah bertarung menghabiskan biaya dan tenaga yang tidaklah sedikit.

Persaingan Yang Merugikan.

Memang sejak bumi ini terbentuk persaingan atas nama kepentingan telah lahir dengan sendirinya tanpa harus dibentuk. Dan saat ini hanyalah kelanjutan yang dilalui manusia diatas buminya, termasuk dibawah beringin tua itu.

Selalu dan selalu kompetisi melahirkan kepahitan dan nestapa, kepiluan, kemaluan dan rusaknya harga diri. Siapakah yang dirugikan dari konflik beringin? Konflik yang terus dikobarkan oleh ulat-ulat yang menghinggapinya. Jawabannya adalah kita, kader, bangsa Indonesia.

Cucuran keringat dan luapan emosi kader tertumpah begitu genderang perang dalam pileg dan pilpres didengungkan oleh Komisi Pemilihan Umum seakan-akan percuma. Semuanya bekerja tak mempedulikan waktu dan tenaga dengan tujuan yang terpatri kuat, MENANG. Kandidat wakil rakyatnta yang menang, kandidat presidennya yang menang, dan partainya yang menang. Sehingga kekuasaan dinegeri ini bisa digenggam dengan erat dan bisa terwujudnya kesejahteraan rakyat. Begitu indah mimpi itu, ya mimpi. Yang sangat indah dan kuat.

Namun, setelah beringin hanya mampu bertengger diposisi kedua setelah benteng berhasil mengosak asik ladang padi yang menguning yang siap dipanen. Kenyataan ini tak membuat para peteduh, kader beringin berputus untuk memperbaiki nasib bangsanya. Dengan memperbaiki kualitas ketua partainya berarti ikut memperbaiki demokrasi yang bermuara pada kualitas hidup rakyatnya. Karena kenyakinan partai politik sebagai pilar demokrasi, begitu keyakinan itu tertanam dalam benaknya.

Rumah besar dengan pohon yang rindan tentu menjadi sorotan banyak kaum, setidaknya, mencontoh arsiteturasinya. Keindahannya dan keteduhannya akan banyak menuai pujian terlebih sudah berumur puluhan tahun, sebuahnya kenyataan hidup dan langka direpublik yang belumlah berumur ratusan tahun ini. Sebagian berharap supaya rumah yang besar dan beringinnya bisa terjaga dengan baik dan benar, dipupuk disiram berkelanjutan supaya tidak roboh. Karena kalau sampai itu terjadi yang dirugikan adalah para peteduh dan anak-anaknya.

Tahapan yang dilalui untuk mencari solusi terbaik demi kelangsungan hidup dilalukan para stakeholder beringin tidak membuahkan hasil. Pengadilan ditempuh kedua belah kubu untuk mempertahankan kedudukannya tentu. Dengan lawyer berbintang dan sarat dengan pengalaman  pun dipasang dengan biaya yang tidaklah sedikit.

Beberapa hari yang lalu hampir semua media Nasional cetak dan online semua memberitakan tentang ditolaknya gugatan kubu Ancol terhadap kubu Bali dang mengembalikan persoalan partai pada mahkamah partai. Yang artinya negara tidak mau mengambil putusan hukum atas polemik beringin ini dan menyerahkan proses ini pada internalnya sendiri. Komentar berseleweran sana sini dengan mendesak mahkamah partai untuk segera mengambil keputusan.

Nah, nasib pak samin dan peteduh dibawah beringin berharap untuk segera diselesaikan karena mereka tidak menginginkan tempat favorit itu ambruk dan tak ada lagi tempat yang nyaman bagi mereka untuk menghabiskan waktu saat mereka bertani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun