Mohon tunggu...
Geni Murti
Geni Murti Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Elektro dan Informatika ITB. Sangat enerjik memiliki minat pada imajinasi tetapi berada di lingkungan "otak kiri". visi saya : "Buat Indonesia memimpin dunia 2030"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

RUU PT “Alat Pembayaran Utang Luar Negeri”

7 Mei 2012   02:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:37 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan dalam berbagai kategori menempatkan dirinya sebagai Primary matter. Yaitu hal primer dari yang paling primer disetiap kategorinya. Pendidikan dalam kelas kebutuhan merupakan hal fundamental yang dibutuhkan manusia. Pendidikan dalam hal pembangunan peradaban menjadi salah satu jalan terpenting dari pad a urusan-urusan negara yang lain, Itulah sebabnya mengapa bidang ini mendapatkan jatah anggaran paling tinggi di Negara Indonesia. Dalam menempati kelas sosial, pendidikan juga dipandang sebagai sarat untuk menempati sebuah posisi dalam kelas sosial tertentu, karena kelas social ditentukan oleh seberapa tinggi dan seberapa banyak gelar akademik yang diperoleh (dalam makna pendidikan formal). Dalam konteks subtansi dan fungsi pendidikan yang utama adalah meningkatkan taraf hidup manusia.

Indonesia sudah 66 tahun berdiri tetapi belum dapat menjawab janji kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Sedangkan sejahtera dan keadilan banyak dipengaruhi oleh aspek pendidikan. Menurut para pakar kemiskinan Peter Drucker, kemiskinan yang terjadi di semua Negara juga disebabkan karena faktor salah urus. Mungkin belum tercitanya peran pendidikan Indonesia sebagai tonggak kemajuan juga dipengaruhi oleh salah urus pendidikan. Meminjam data dari lipi jika angka pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,49 persen, maka jumlah orang miskin Indonesia tahun 2012 diprediksikan mencapai 29,88 juta jiwa. Belum lagi jika kita melihat fenomena sosial yang lain yang merambah negeri ini, korupsi akut yang melanda para pemimpin yang turut meraikan jeruji besi juga karena pendidikan moral yang kurang berhasil, belum lagi jika di korelasikan dengan kompetisi dunia internasional. Indonesia secara kolektif berlum mampu menunjukkan persaingan di bidang teknologi. Lihatlah teknologi-teknologi yang mampu menopang perekonomian ataupun kepentingan Indonesia, mulai dari teknologi transportasi sampai militer, produk karya anak negeri belum berbicara banyak. Sebenarnya tahun ini sudah mulai banyak akan tetapi sikap pemerintah pusat yang "jijik" menjadikan ini produk nasional. Inilah yang disebut salah urus karena memiliki dampak sosial dari salah urus yang begitu nyata dan banyak.

Dengan berbagai fakta pendidikan di Indonesia yang belum mampu mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sovereignt dan sustainable, kita sudah ditiupkan angin perkara yang digulirkan oleh pemeritah dengan dikeluarkannya adanya 'perdagangan pendidikan" yang direpresentasikan oleh regulasi baru yang menambah visibilitas perdagangan bidang yang akan menjadi benteng terakhir penjaga nilai-nilai bangsa yaitu bidang pendidikan. Ternyata hal yang membuat heboh bukan menyoal korupsi lagi tetapi berupa Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Karena isi yang terkadung didalamnya mengandung muatan liberalism dan kapitalisme pendidikan.

Sebelum berbicara tentang konten RUU PT. Kita lihat secara runtut proses liberalisasi pendidikan dan investasi yang lebih luas di bawah kerangka WTO. Seperti yang telah kita ketahui pemerintah RI telah meratifikasi persetujuan yang merugikan bangsa kita yaitu dengan memperdagangkan pendidikan sebagai salah satu bidang ikut dijadikan "alat tukar" di Global Trading. Hal yang menyangkut dengan perjanjian WTO adalah AoA (Agreement of Agriculture), yaitu perjanjian dalam bidang pertanian yang kedua adalah NAMA (Non Agricultural Market Acsess), berupa perjanjian perdagangan di luar produk pertanian. Sedangkan yang ketiga adalah GATS (General Agreement on Tarrifs and Services).

Lalu dimanakah poin yang menjelaskan bahwa pendidikan dijadikan sebagai alat tukar?. Poin tersebut ada didalam GATS. Penyediaan jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang pasti akan diliberalisasi. Liberalisasi perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, serta jasa-jasa lainnya. Untuk negosiasi perluasan liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial offer dan initial request. Dimana setiap negara bisa mengirimkan initial request yaitu daftar sektor-sektor yang diinginkan untuk dibuka di negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri. Tentunya yang banyak melakukan permintaan adalah Negara-negara besar.

Meminjam pernyataan Prof. Dr. Sofian Effendi salah satu bentuk topologi ekonomi dalam kegiatan usaha, yang termasuk golongan kegiatan tersier adalah industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmuan ekonomi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) "Agreement Establising the World Trade Organization", maka Indonesia juga resmi menjadi bagian dari WTO dan semua kesepakatan yang ada juga otomatis menjadi bagian dari legalitas nasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Inilah model blunder para pengampu kebijakan kita dimana tidak melakukan proteksi terhadap bidang yang akan menjaga nilai-nilai lokal, moral dan intelektual khas Indonesia.

Amerika, Inggris , Australia akan menjadi negara yang paling diuntungkan dengan proses liberalisasi pendidikan sehingga aspek universal pendidikan sebagai bentuk pelayanan sosial dan proses penggalian kebenaran digantikan dengan hitungan untung rugi dalam logika bisnis. Pendidikan sebenarnya tinggal satu-satunya alat negara yang dapat diandalkan hari ini, karena masih terjaga oleh nilai-nilai moral yang terjaga sejak dahulu. Tapi kini akan terhapus karena kelakuan pengambil kebijakan yang sembarangan, dan penyakit money oriented . Tuntutan bangsa untuk menjawab janji kemerdekaan akan berakhir sudah.

RUU PT SEBAGAI ALAT TUKAR KE WTO
"Di zaman anggaran pendidikan diklaim meningkat, alokasi dana untuk pendidikan dasar saja tidak memadai sehingga pungutan tetap jalan. Adapun pendidikan tinggi makin elitis, terbuka lebar bagi yang punya duit" (Prof. Soedijarto, Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI). Begitulah kurang lebih pernyataan professor dan pengamat pendidikan. Stigma yang berkembang di masyarakat sejak zaman dahulu pendidikan tinggi hanya dapat diakses oleh kaum menengah ke atas. Belum pudar kita memberantas isu-isu tersebut, pemerintah justru membuat kekagetan luar biasa dengan meliberaliasikan pendidikan dengan diturunkannya RUU - PT (Rancangan Undang-Undangn Pendidikan Tinggi) yang salah satu isinya adalah membebaskan pengelolaan perguruan-perguruan tinggi negeri dengan kewenangan penuh. Secara alami, naluri kompetisi perguruan tinggi akan tumbuh sehingga keinginan perguruan tinggi untuk membangun infrastruktur, peningkatan riset dan berbagai kompetisi juga akan meningkat. Dengan kondisi ini maka otomatis pula biaya penyelenggaraan pendidikan akan naik, maka semakin sulit pula akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi, beasiswa yang tersedia sekarang juga belum mampu menjangkau keseluruhan lapisan masyarakat termasuk anak-anak kaum papa. Terlebih dalam salah satu pasal RUU PT ada model pinjam-meminjam untuk proses pembayaran penyelenggaraan pendidikan, yang seharusnya masyarakat kecil yang berprestasi sudah harus ditanggung penuh oleh pemerintah , jika sudah begini baru kita bisa mengatakan bahwa klaim adanya penghematan APBN, pertumbuhan ekonomi 6% dapat benar-benar nyata kalau masyarakat bawah yang berkomitmen belajar tinggi sudah semuanya dapat menjangkau untuk bersekolah di perguruan tinggi terbaik.
Hal ini lebih mengerikan dengan adanya draf per 4 April RUU PT Pasal 90 yang berbicara mengenai akses perguruan tinggi asing untuk membuka kampusnya di Indonesia. Ini akan dijadikan senjata ideologi negara-negara yang menganut system liberal untuk menggerus nilai-nilai moral masyakarat Indonesia yang banyak memberikan dampak buruk berupa dekadensi nilai-nilai kemanusiaan, seperti kita tahu Negara liberal seperti Amerika banyak budaya pergaulan bebas, atheism, perkawinan sejenis , amoral dan lainnya. Belum lagi dengan cross culture yang bersebrangan, maka nilai-nilai ketimuran yang santun akan makin tergerus. Selain itu beberapa pasal di dalam RUU PT akan membuat berat secara pembiayaan oleh masyarakat terhadap pendidikan tinggi karena tensi dan gengsi kompetisi makin tidak terkontrol.

Gelombang liberalisasi pendidikan juga makin memantapkan kaum papa untuk takut menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Orang-orang yang mentalnya rendah seperti itu justru seharusnya diberikan treatment khusus oleh pemerintah, Agar bagaimana mereka dapat terus bersemangat bersekolah dan dapat memperbaiki kualitas hidup anaknya dan keluarganya. Tetapi sekali lagi pemerintah justru menebar ancaman yang di bungkus embel-embel "demi persaingan", "demi kemajuan", "demi percepatan" dan konco-konco yang semua juga masih semu.

Arus politik yang makin tidak menentu akhirnya juga tidak hanya mengorbankan masa sekarang jika RUU versi ini tetap disahkan sebelum direvisi tanpa liberalis dan kapitalis, karena juga banyak mengambil aset-aset masa depan yaitu mereka generasi-generasi yang akan memperbaiki negara ini. Krisis kepemimpinan, moral, minusnya pemerantaan ekonomi, belum menyeruaknya kekayaan Indonesia dan berbagai modal yang akan mengangkat Indonesia, seharusnya pendidikan yang di mulai dari akses sampai kontennya. Jika pendidikan yang sedemikian berharganya saja juga turut di "jual". Lalu bagaimana nasib pendidikan di Indonesia?Bagaimana nasib rakyat kecil ?

Mungkin satu-satunya harta yang tinggal kita punya dan tidak dapat tergadaikan oleh negara pemerintah adalah rasa optimis kita. Sebentar lagi kita akan memperingati Hari Pendidikan Nasional, mari kita hadapi semua permasalahan di atas dengan tetap membusungkan dada kita untuk tetap merasa optimis, jangan sampai dengan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi tersebut terus membuat kita semakin merasa minder, terpuruk dalam kekecewaan. Mari kita buat Bendera Indonesia lebih tinggi lagi dengan bekerja keras untuk bersama-sama menjadi manusia Indonesia terbaik. Pendidikan sebagai panglima adalah pemimpin di semua sektor yang akan menunjang kesejahteraan rakyat, pendidikan yang akan mengangkat martabat-martabat Indonesia sehingga mampu bersaing dan berdiri sejajar dengan negara lain harus kita perjuangkan. Pendidikan tinggal satu-satunya harapan untuk melunasi janji-janji kemerdekaan, karena tujuan kita merdeka bukan untuk mengusir kolonialisme tetapi membentuk masyakarat yang adil dan sejahtera. Mari pengambil kebijakan berpikir lebih dalam dengan menggunakan moral dan logika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun