"Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"
Demikian cuplikan lirik lagu "Kolam Susu" yang diciptakan dan dinyanyikan Koes Plus tahun 70-an. Menunjukkan tanda syukur atas kesuburan tanah air Indonesia.
Negara kita ini sejak dahulu kala dikenal sebagai negara agraris atau negara pertanian. Karena dulu mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Lahannya pun sebagain besar adalah lahan pertanian.
Namun sepertinya julukan negara agraris saat ini agak kurang relevan lagi. Jumlah petani maupun lahan pertanian kini kian menyusut. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 ada jumlah petani hanya sekitar 33,4 juta jiwa yang bergerak di semua komoditas sektor pertanian. Angka tersebut jumlahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan jumlah petani pada 2019 yang mencapai 34,58 juta. Artinya jumlah petani kita saat ini hanya 12,4% saja dari 270,2 juta penduduk Indonesia, terendah sejak 10 tahun terakhir ini.
Di sisi lain, luasan lahan pertanian juga terus menyusut setiap tahunnya. Diperkirakan ada sekitar 150 ribu hektar lahan pertanian berkurang tiap tahunnya, sehingga semakin semakin mempersempit lahan pertanian. Seperti yang dilansir dari tribun news.com, menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) luas baku lahan sawah nasional pada tahun 2019 nyatanya menyusut 287.000 hektar di banding tahun 2013.
Wajar jika sampai saat ini kita masih sering impor beras, jagung, kedelai, dan aneka produk pertanian lainnya.
Menarik untuk dianalisis ialah penyebab utama menurunnya minat menjadi petani di Indonesia. Selain karena faktor urbanisasi, perpindahan penduduk dari desa ke kota, juga karena menjadi petani dinilai masyarakat kurang menjanjikan.
Masih sangat banyak petani-petani tradisional yang hidupnya serba kekurangan. Masalah klasik yang masih belum ditemukan solusinya ialah rendahnya harga panen di tengah mahalnya biaya pupuk dan perawatan. Belum lagi masalah teknis misalnya hama dan penyakit tanaman yang kadang tidak bisa ditanggulangi.
Oleh sebab itu, petani di Indonesia perlu diberikan bimbingan, perlindungan, dan motivasi. Termasuk juga para generasi muda juga perlu didorong agar mau menjadi petani. Tentu petani modern yang menerapkan teknologi terkini. Hal ini semata-mata agar kita mampu mewujudkan swasembada pangan.
Menumbuhkan minat menjadi petani sekaligus membimbing petani yang ada agar lebih sejahtera adalah tugas kita bersama. Pemerintah melalui Balai Penyuluh Pertanian (BPP) sebagai lembaga resmi yang ada di setiap Kecamatan sangat diharapkan perannya. Keberadaan BPP sangat penting bagi petani maupun bagi Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Hal ini karena BPP memiliki tugas memberikan penyuluhan sekaligus bimbingan kepada petani. Selain itu BPP juga berperan menyediakan dan menyebarluaskan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar, serta mensukseskan program-program dari Kementerian Pertanian.
Dalam hal bercocok tanam, petani tentu mengalami barbagai kendala, misalnya serangan hama penyakit tanaman, perubahan musim yang sulit ditebak, gagal panen, dll. Oleh sebab itu petani perlu mendapat pendampingan dari PPL setempat.
Petani juga perlu diberi pengetahuan tentang manajemen bercocok tanam. Hal ini agar jangan sampai semua petani di satu wilayah menanam satu jenis tanaman saja. Akibatnya ketika panen raya, harga penen pun anjlog. Inilah perlunya manajemen bercocok tanam.
Guna menunjang hal itu, maka PPL juga perlu diberi wadah atau tempat untuk menyusun program maupun kegiatan lainnya seputar penyuluhan. Disinilah perlunya BPP sebagai tempat untuk mewadahi kegiatan PPL agar PPL juga bisa melaksanakan perannya dengan baik.
Lembaga pendidikan juga memiliki peran strategis mencetak petani-petani muda yang modern. Khusunya lembaga pendidikan yang bidangnya dalah pertanian, misalnya SMK pertanian, Politeknik Pertanian, maupun perguruan tinggi yang memiliki jurusan atau program studi pertanian. Kita sangat mengharapkan, petani-petani handal dan modern lahir dari berbagai lembaga pendidikan tersebut.
Dibandingkan negara tetangga, kita masih harus bekerja ekstra keras mengejar ketertinggalan dalam bidang pertanian. Harusnya pertanian di Indonesia lebih unggul daripada China, Vietnam, dan Thailand. Paling tidak kita mampu memenuhi kebutuhan pangan dari hasil pertanian dalam negeri.
Di ketiga negara tersebut, pertaniannya sudah menerapkan teknologi dan sistem pertanian modern. Pertaniannya juga dikelola secara komunal/industri, bukan perorangan. Dikelola secaa modern, bukan konvensional. Lembaga-lembaga riset pertaniannya juga sangat maju, menghailkan berbagai benih unggul. Alhasil, dengan lahan lebih sempit, waktu lebih singkat, dihasilkan hasil panen lebih banyak dan lebih unggul. Sehingga harganya pun jauh lebih murah. Tidak heran jika kenyataannya beras impor harganya jauh lebih murah daripada beras dalam negeri.
Kini saatnya kita lebih fokus dan sungguh-sungguh mengelola sektor pertanian. Karena menyangkut pangan adalah kebutuhan pokok yang sangat vital bagi setiap orang. Seperti halnya yang dikatakan Presiden pertama kita, Bung Karno: "Soal Pangan Adalah Soal Hidup Matinya Bangsa!". Semoga kita memiliki kedaulatan pangan! Â (*)
Oleh: Anton Kuswoyo, S.Si., M.T.
Wakil Direktur Politeknik Negeri Tanah Laut
Ketua DPD LDII Kabupaten Tanah Laut -- Kalimantan SelatanÂ
(Artikel telah tayang di Koran Bajarmasin Post, 17 Maret 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H