ADA pitutur kuno yang kembali diingatkan oleh Prof Yoshiro Kusano dari Gakushuin University Tokyo. Ketika bersama delegasi Departemen Kehakiman Jepang studi banding soal penyiapan draf peraturan di Mahkamah Agung (MA), ia mengucap: wa wo motte totoshi to natsu. Artinya, keharmonisan atau perdamaian adalah sesuatu yang paling berharga.
Tidak ada satu pun manusia yang tidak mendambakan keharmonisan atau kehidupan yang rukun, damai, dan saling memahami. Namun dalam realitas kehidupan, persengketaan mudah terjadi karena adanya perbedaan kepentingan, nilai-nilai, budaya, ideologi, atau perbedaan persepsi yang lazim dinamakan ketidaksepahaman.
Dalam lingkup keluarga mungkin bisa diabaikan, tetapi ketidaksepahaman yang “digoreng” bisa berujung permusuhan yang melebar di tingkat regional atau nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dipastikan bisa mengganggu stabilitas ekonomi atau keamanan, bahkan ketahanan nasional.
Di era globalisasi ini pengendalian keamanan dan ketertiban menjadi kebutuhan penting guna mewujudkan kehidupan masyarakat sejahtera lahir dan batin. Apabila lebih kita cermati dinamika sosial yang terjadi selama ini, kasuskasus dan permasalahan sosial yang muncul di sekitar kita, apakah berkaitan dengan hukum, politik atau budaya, sebenarnya dapat ditangani oleh masyarakat itu sendiri dengan filosofi “ana rembug ya dirembug”, namun yang seringkali muncul justru sikap egosentris serta emosi yang tidak proporsional sehingga penyelesaian masalahnya lebih panjang dan menguras energi dengan melimpahkan ke institusi kepolisian.
Kebijakan lokal musyawarah mufakat seakan menjadi barang langka yang tidak mudah ditemukan, solusi alternatif yang sering kita jumpai lebih memilih konsep menang kalah di meja aparat penegak hukum, meskipun upaya ini tidak diharamkan.
Di sisi lain, jumlah aparat kepolisian yang tidak seimbang dengan ratio jumlah penduduk yang kian membengkak, menambah problematika sosial yang tidak gampang diatasi.
Mitra Polisi
Situasi seperti ini mendorong terbitnya regulasi yang diyakini mampu memberdayakan masyarakat sedemikian rupa dalam bentuk organisasi informal untuk menjadi mitra polisi sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat.
Diharapkan, permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) yang ada di lingkungan masyarakat mampu ditangani dan diselesaikan oleh masyarakat secara mandiri, salah satu bentuk wadahnya bernama Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) Dai Kamtibmas.
Di tingkat Jateng, beberapa hari yang lalu telah disepakati dibentuk oleh tiga organisasi masyarakat (ormas) Islam besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) bersama Direktorat Binmas Polda pada 6 Agustus 2020, dengan harapan kondisi Jateng semakin gayeng, ayem tentrem, aman tertib, semua masalah kian mudah diselesaikan.
Logikanya permasalahan kamtibmas akan lebih efisien apabila tidak selalu dilimpahkan ke Polri. Selain menambah beban polisi juga dapat berdampak kurang responsifnya masyarakat terhadap gejala-gejala gangguan kamtibmas yang muncul di lingkungannya.