Mohon tunggu...
Pitoresmi Pujiningsih
Pitoresmi Pujiningsih Mohon Tunggu... -

In Caffeine We Trust!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jelata Menggugat!

11 Maret 2012   11:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:13 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear para seleb dunia maya—yang beberapa diantaranya mungkin adalah teman saya,

Sebelumnya maafkan saya yang bukan siapa-siapa ini karena berani nulis yang bakal bikin telinga menghangat dan benak berputar mencari pembenaran. Tapi saya tetap akan melakukannya karena saya, jelata, sudah muak dengan kelakuan kalian yang semena-mena meng-abuse posisi. Dan ini alasannya: 1. Kicauan yang nggak strategis Oke, kalian berniat baik membagi informasi tentang apa yang kalian tahu. Tapi membanjiri linimasa dengan hal-hal yang bisa saya baca sendiri tautan Wikipedia-nya adalah kesia-siaan dan buang-buang energi. Mendingan ngasih kuliah twitter dari pengalaman sendiri dan nggak ada tautannya. Even better: MENULIS! Jangan bisanya cuma berkicau, mantun nggak jelas tapi melempem kalo diajak nge-G+ atau ngeblog macam menkominfo. Terus ngeblok deh kalo diprotes. Dihidupkan lagi itu blog yang udah hiatus berabad-abad sampe ditempatin sarang laba-laba (atau malah lupa punya hosting dan telat bayar?). Tulis dulu, kasih tag yang bener, nyalain RSS Full (jangan sepotong macam fakir visitor) biar jelata-jelata ini bisa search pakai Google Reader. Habis itu baru deh nge-blast berbusa-busa di twitter. Oh, dan hentikan kata-kata sok baik-tapi-kosong-berbunga-harum-suci-mewangi-macam-vagina-perawan-desa yang mampat dalam gempuran frasa singkat. Saya bisa follow Bapak Mario Teguh Yang Maha Mulia Tak Berdosa untuk mencuci otak saya dengan selalu berprasangka baik. Cobalah untuk tidak tampil vulgar di panggung rezim 140 karakter. Punya malu dong sedikit. Kalian sudah terbukti dan teruji kok dengan pengikut yang jumlahnya segabrug gajah itu. Belum lagi yang meng-RT kicauan kalian dengan komentar puja-puji setinggi surga. Yakin itu tulus semua nge-RT-nya? Bukannya cuma mau ngejilat pantat aja biar di-mention karena kalian selalu menayangkan kembali puji-pujian para jelata social climber? Dan kalau twitwar yang elegan lah. Kalau ada jelata bertanya maksud kicauan kalian yang berpotensi sebagai friksi, jawab sendiri dong. Nggak usah nunggu jelata lain membela kalian. Ksatria, gitu. Habis berak jangan nunggu dicebokin orang. Kecuali kalian udah jompo, nggak bisa ngapa-ngapain dan cuma terkapar di tempat tidur nunggu mati. Kalo kalah ya nggak usah sampe tutup akun segala terus dibuka lagi tapi gembokan. Jatuh itu sakit, tapi manusiawi. Reputasi nggak dibangun dalam semalam, itu betul. Kalau kalian bisa berdiri lagi dari tumpukan tai, kalian bakal selalu diingat lho sebagai manusia tangguh. Respek yang kalian dapat juga jauuuh lebih besar. Dan please, hindari ngelés bodoh melalui kata-kata yang sebentuk dan sebangun dengan “twit aing kumaha aing, nggak suka ya unfollow aja”. Sebagai pekerja-pekerja digital, kalian nggak mau kan kehilangan calon klien hanya karena kicauan yang menodai citra kalian sebagai mahluk berakal? Jangan sampe lah karena nila setitik rusak susu sebelahnya. Jagalah hati, jagalah susu. Pijat dan kasih minyak bulus biar kekenyalannya terjaga, kencang menantang melawan gaya gravitasi. Dan saya juga yakin follower-follower kalian bukan orang-orang tak berotak. Hentikan misinformasi. Jujurlah. Mungkin kejujuran nggak ada dalam jobdesc, tapi hubungan personal kalian menuntut itu. Engagement, ring a bell? Kalau nggak berani jujur, alihkan dengan fakta tapi jangan dibikin-bikin. Apalagi bawa-bawa Tuhan dan pahala. Hadeuh, kalian ini cyber-seleb apa Habib sih?! Jangan rancu dong! Pilih salah satu! Kalau memang oportunis pengen jadi cyber-Habib masa kini, berdakwalah dua arah. Sekarang sudah post-jahiliyah. Boker aja bisa sambil online. Cerdaslah. Demokratislah. Siap-siap dikritik sambil berlapang dada. 2. Blog post berbayar Saya tahu betul bagaimana kalian membangun reputasi dari nol, sebagai blogger biasa yang tulisannya cuma curhat sehari-hari sampai akhirnya bisa dihargai tujuh juta rupiah sekali posting. Nggak, saya nggak ngiler dengan duit segitu. Saya cuma ngiler kalau tidur miring dan mulut nganga. Silakan menganggap saya sirik karena nggak ada yang ngelirik halaman anti-sosial ini. Lapak nyari duit mah masing-masing. Tapi mbok ya jangan segitunya lah jilat pantat klien, nulis produk dengan bahasa berbunga-bunga. Advertorial aja nggak gitu-gitu amat kok. Belajar lagi deh the art of communication. Bukunya banyak, meskipun kalau mau rujukan bagus ya tetep terbitan luar dan berbahasa Inggris sih. Tapi kalau mau Googling hari gini juga udah banyak kok yang nulis kayak gitu dalam Bahasa Indonesia. Atau sana menyimak kelas gratisan para suhu media. Udah ada Akber atau Sharing Keliling tuh yang sering ngadain workshop macem-macem. Nggak usah pada belagu sok keminter nggak mau ikutan kelas karena merasa udah jago, atau karena panitianya temen sendiri. Ilmu mah nggak kenal batasan. Pikirin tuh lapak nafkah dan—lagi-lagi—reputasi. Kalau blog kalian sudah terlanjur jadi lapak jualan yang isinya tulisan tentang produk, diimbangin dong dengan cerita personal seperti dulu. Kasihan lho para pemantau setia yang jadi sasaran tembak iklan-iklan kalian. Biasanya sih para jelata itu udah pada maklum banget kalo kalian berubah haluan. Liatin aja komen-komennya. Itu ungkapan rasa sayang mereka ke kalian. Dan menurut saya sih gimana kalian membalasnya itu ya dengan ngasih jendela tempat mereka bisa ngintip kegiatan kalian sebagai individu, sama kayak mereka juga. Rasanya nyaman ketika tahu bahwa “dewa sesembahan” ternyata manusia juga. Been there, done that. Dan itu nggak bikin dewa saya berkurang kedewaannya. Serius. 3. Nyinyir nggak berkelas Emang sih, ngomongin orang pake nyindir-nyindir itu tetep aja jadi sesuatu yang sangat mengasyikkan. Kalian seperti punya kumpulan eksklusif sendiri di ranah publik media sosial—twitter, facebook, G+, forum, sebutin aja—tempat kalian bisa ngomong frontal tentang sesuatu yang memancing rasa penasaran para jelata. Tapi bukannya kalian malah merendahkan intelejensi sendiri ya kalo gitu caranya? Kalo emang nggak suka sama tindakan seseorang—yang juga temen sendiri—mbok ya ngomong langsung sama orangnya. Teman yang baik itu ngasih tau kalo temannya mau jatuh, bukan malah ngediemin atau malah mendorongnya jatuh lebih dalam. Kecuali kalau udah dibilangin tapi orangnya nggak mau dengar, itu baru boleh dibantai *insert suara ketawa Plankton-nya Spongebob here* Tapi yang mau saya huruftebalkan sih sebenernya masalah eksploitasi. Seringkali kalau pada ngultwit atau update status facebook pada nggak nyadar kalau “berbagi informasi”nya udah keterlaluan. Niat baiknya jadi ternodai oleh eksploitasi. Misalnya nih, ada seleb yang kasih info tentang anak yang sakit dan perlu pengobatan. Ujung-ujungnya jadi nggladrah, being TMI—too much information, salah satu tautan otomatis di twitter jika pengicaunya melanggar batas demarkasi 140 karakter. Cukupkan berbagi informasi tentang update keadaan si sakit, tempat dia dirawat, kontak yang bisa dihubungi untuk cross-check info, jumlah biaya yang dibutuhin (dan sudah terkumpul berapa) dan nomer rekening jika ada yang mau menyumbang. Nggak usah pakai foto segala dengan caption lebay. Being informative and exploitative batasannya memang setipis jembut dibagi seribu, and you all, dear celebs, should know this better. Awalnya mungkin mau bagi-bagi pengetahuan tapi malah terlihat seperti nyinyir nggak pernah makan bangku sekolahan. Dan aturan mulia yang berlaku dalam tiap aspek kehidupan manusia juga berlaku di sini: bagaimana jika kalian ada di posisi mereka, jadi keluarga mereka? Tega liat gambar anggota keluarga kalian yang sedang sekarat nyebar di internet? Kalau anak itu sembuh dan terus hidup sampai besar, gimana perasaannya melihat dirinya sendiri yang dulu pas kecilnya jelek nggak berdaya dengan begitu banyak selang dan cairan tubuh segitu heboh? Dan kalau si sakit akhirnya meninggal, tega lihat pemandangan di ujung hidupnya hanya untuk menangguk komentar “aduh, kasihan”? FUCK YOU! That’s not the way to sympathize! Eat your own fucking bullshit instead of shoving it down our throats! Saya bisa ngomong begini karena saya juga punya sahabat cantik yang penderita kanker darah. Tiap dia dirawat di rumah sakit dia nggak pernah mengizinkan saya menengok karena dia nggak mau saya melihatnya dalam kondisi berantakan dan pucat. Bayangkan jika itu adalah kalian. Dan rasanya nggak akan bosan saya sebagai jelata berteriak ke kuping kalian: THINK BEFORE YOU POST!!! 4. Pengakuan? Masih perlu ya? Itu yang diomongin salah satu begawan wangi pandan sepenongkrongan yang sering saya sedot ilmu nyonthongnya. Beliau ini influencer, wartawan senior dan lelananging jagad pematah hati perempuan-perempuan urban cantik jelita yang dipanggilnya dengan sayang, “cupcake”. Sebagai om-om matang dan kemaki, dia memang nggak perlu pengakuan karena dunia sudah ada dalam genggamannya meskipun jalan menuju ke sana—saya yakin—juga nggak gampang dan tidak sebentar. Saya memang hanya lihat hasil akhirnya—mobil keren, anak-istri yang sehat, cerdas dan terawat baik, perangkat bergerak terkini dan mahal-mahal (meskipun usianya tak bisa menipu karena beliau masih harus memelototi layar padahal jaraknya cuma sejengkal dari pangkal hidung), umat/pengikut/jelata, dan job sana-sini. Kesimpulan saya ya cuma satu: pengakuan? Basi! Sekarang itu yang kelihatan ya pembuktian. Jadi, buktikan dong! Sudah ya, segini aja. Saya sudah puas ngomel-ngomel. Saya nggak melakukan ini karena saya teman kalian. Saya ini jelata. Dan jelata juga punya suara. Meskipun kalian para seleb memperlakukan popularitas seperti tiran lalu—biasanya—mengerahkan pengikut untuk membully massal mereka-mereka yang tak sepaham. I think I’ll take that risk. Dan kalau sampai itu kejadian dan kita nggak berteman lagi, maaf. Nggak temenan sama kalian juga saya nggak mati. Nggak suka? Silakan komentar. Mau maki-maki personal? Silakan japri. Kalian tahu kan ke mana mencari saya?

Juga di post di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun