Mohon tunggu...
Gendhis Kayana
Gendhis Kayana Mohon Tunggu... Lainnya - Alam, kopi, buku, budaya, kiddos

Bersyukur untuk setiap anugerah Mu

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Nasi Jamblang dan Cirebon

13 April 2024   11:00 Diperbarui: 23 April 2024   05:55 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri : sebagian pilihan menu nasi Jamblang Bu Nur, Cirebon

Dalam perjalanan kembali dari mudik kali ini, keluarga kami meniatkan diri untuk mampir dulu ke Cirebon, salah satu kota yang ingin kami kunjungi dari dulu, namun belum kesampaian juga.

Sangat menikmati perjalanan mudik kali ini yang relatif cukup lancar, sedikit antrian kecil rasanya tak berarti dibandingkan kemacetan panjang yang dulu biasa terjadi. Rest area dan pom bensin yang tersedia hampir di tiap tiga puluh atau empat puluh kilo meter perjalanan, terasa sangat membantu.

Keluar dari tol, menggunakan arahan dari Google Map, kami keluar tol Palimanan dengan jalur yang berbeda dengan penunjuk jalan yang tersedia, dan masuk ke kota  Cirebon dengan jalanan yang boleh dibilang kosong, alias sangat lancar.

Tujuan utama kali ini adalah menikmati kuliner khas Cirebon, yang rupanya sangat kental dengan cerita historis, nasi jamblang. Kami menemukan ada beberapa rekomendasi nasi jamblang yang menjadi tujuan para pecinta kuliner, akhirnya kami memutuskan untuk mencari yang cukup mudah untuk kami jangkau dari lokasi kami setelah keluar dari jalan tol.

Dari beberapa sumber yang saya baca, ternyata, nasi jamblang, pada jaman penjajahan Belanda, secara tidak langsung telah menolong banyak buruh yang bekerja saat itu. Jamblang sendiri merupakan nama salah satu desa di Cirebon.

Sego jamblang, atau nasi jamblang,ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi sebagai  satu dari tigabelas Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari daerah Jawa Barat, pada tahun 2023.

Nasi jamblang muncul seiring dengan pembuatan jalan raya Anyer-Panarukan pada sekitar tahun 1847 oleh Jendral Daendels, yang melibatkan banyak pekerja. Banyak pekerja baik yang berasal dari Cirebon, maupun  yang berasal dari daerah di luar Cirebon membawa bekal dari rumah dengan dibungkus daun jati. Kabarnya, nasi jamblang asli yang dibungkus daun jati, dapat bertahan sampai tiga hari. 

Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat disekitar pun mulai melihat bahwa berjualan nasi jamblang, dapat menjadi salah satu sumber mata pencaharian.

Kini kita dapat menikmati nasi jamblang yang lezat dengan berbagai lauk yang menarik dan khas, diantaranya, tahu sayur, cumi hitam (cumi kuah hitam, cumi yang dimasak bersama dengan tintanya), telur masak sambal goreng, semur ati, paru,  tempe, dan berbagai lauk lainnya, sebagai salah satu pilihan khas kuliner Cirebon.

  

Kami akhirnya sampai di salah satu depot Nasi Jamblang yang ramai di Cirebon. Beruntung diarahkan oleh petugas parkir, untuk kami masuk dari gang pinggir yang merupakan jalan pintas, sehingga kami dapat segera tiba di lokasi.

Kami tiba sekitar jam dua siang, jadi sudah bukan jam makan siang, dan berharap bahwa tidak perlu antri. Ternyata, saat kami tiba, antrian cukup panjang, bahkan sampai di luar depot berlantai dua yang cukup luas dan dapat menampung banyak pengunjung, artinya, ramai sekali.

Sempat ragu-ragu dan berpikir untuk mencari makan siang di lokasi lain, terlebih karena dalam rombongan keluarga kami terdapat   beberapa lansia dan anak kecil, namun akhirnya kami memutuskan untuk ikut antri.

Satu keluarga di depan kami, memutuskan pindah ke lokasi lain. Kami pun antri dengan sabar dan menikmati pengalaman ini bersama para pengunjung lainnya. Seorang anak yang antri di belakang saya, bertanya pada ibunya. "Mama, ini kita antri apa sih?"

Ibunya tersenyum dan menjawab, "Antri mau makan nak".  Saya pun ikut tersenyum mendengarnya.

Sekitar dua puluh menit kami antri, akhirnya samapi juga di depan meja yang penuh berbagai sajian lauk nasi jamblang yang sangat menarik, diantaranya, ikan teri, udang sambal dan lain sebagainya.

Sambil mengantri, kami dapat menikmati berbagai hiasan dinding yang terpajang di sepanjang tembok, termasuk juga sudut untuk menjual tahu gejrot, yang juga merupakan salah satu makanan khas Cirebon.

Dokpri: hiasan dinding dan iklan dalam bentuk yang berbeda
Dokpri: hiasan dinding dan iklan dalam bentuk yang berbeda

Akhirnya kami dapat memilih dan menikmati nasi jamblang sesuai dengan pilihan kami masing-masing, dan semua dapat makan siang dengan lahap. Satu yang kurang, kali ini nasi jamblang kami tidak kebagian alas daun jati.

Dokpri : sekepal nasi hangat, sambal,  udang, telur puyuh dan tahu sayur
Dokpri : sekepal nasi hangat, sambal,  udang, telur puyuh dan tahu sayur

Setelah selesai, kami pun segera bebenah dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Ternyata, saat kami keluar, antrian di luar telah makin panjang,  padahal waktu sudah menunjukan lewat dari jam tiga sore, rupanya,  makin sore antrian  makin panjang, bahkan kini telah sampai di jalan. 

Kamipun kembali ke tempat parkir melalui gang samping, dan ternyata, banyak sekali pekerja baik tua maupun muda,  yang menyiapkan racikan bumbu mulai dari mengupas bawang merah, bawang putih, menjemur kunyit, jahe, mencuci piring mangkuk dan alat makan ataupun alat masak lainnya. Senang sekali melihat kesibukan ini.

Baca juga :

https://www.kompasiana.com/gendhis_kayana/6619fdbc1470934dac0ec282/konsep-baru-rest-area-tempat-rekreasi

Matur nuwun Gusti.

Cirebon, 11 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun