Maka hati siapa yang tak remuk. melihat mata orang terkasih menjadi basah berbasuh. Air mata yang semestiya tumpah untuk sebuah haru dan bangga, akhirnya menetes pada saat yang tak selalu tepat. Bolehlah bunda memarahiku. memaki-makiku. Atau memukulku sekalipun tak apa. Aku terima penuh rasa cintra.Â
Sakitnya pun tak seberapa. Lusa juga sirna. Â Tapi, kalau sudah begini, remuk sudah rasanya, melihat setetes demi setetes air mata suci itu, owh..., tidak. sakitnya luar biasa. Dari mata hingga ke relung hati. Belati kecewanya telah ia putuskan untuk ditusukan pada sebilah hati penyayangnya. meremukkan ketegaran yang seharusnya menegakkan dagunya, seperti biasannya.Â
Seumur-umur baru kali ini aku rasakan gagal sebagai seorang anak bunda. Sejak kecil aku selalu menjadi apa yang dia mau. Bocah periang yang dibangga-banggakannya. Piala-piala sejak aku SD, sudah entah berapa jumlahnya. Bahkan saat aku merasa putus semangat sekolah, Bunda tak juga marah padaku.Â
Dari kelembutannya cuma dia katakan; "setidaknya tamatkan sekolahmu hingga SMA". Dia paling tahu akan kondisi fisik dan mentalku. Dia memahaminya. Menyadarinya. Dia tak menuntutku untuk sebanding dengan Ki Hajar Dewantara, B.J. Habiebie ataupun Albert Einstein. T
ak pernah. Dia selalu mendukung putranya menjadi diri-sendiri. Pribadi yang keluar dari penalaran dan karakter, bukan ikut-ikutan. bukan sebuah imitasi ataupun identifikasi. Dan aku selalu memberi yang dia mau. Aku selalu bisa memberi kejutan. Salah satunya nilai ijazah SMA-ku yang lebih dari cukup. Dengan rata-rata mendekati sembilan. entah bagaimana caraku mendapatkannya. aku cuma mau menjadi yang bisa membahagiankan wanita tua itu.
Waktu berlalu. Bocah menjadi dewasa. Menjadi seorang individu tanpa bayang-bayang yang melindungi,lagi. Masalah Hidup semakin Kompleks. Sedikit demi Sedikit aku hadapi.Â
"Sebuah Kedai, ya. Itu masih biasa, Beng. cobalah dengan nama baru yang asing namun dimengerti banyak orang", Ucap ayah diruang tengah waktu itu.
"Apa yah?, Masa iya aku kasih nama Pasar kopi. Itu selain asing dan tak mudah diterima malah wagu sekali yah", ucapku. tanganku menyangga dagu. Anganku memilah, memilih milyaran kosa kata untuk nama usahaku.
"Masa Caffe dan Coffe dalam satu kalimat", gumanku sebal.
"Caffe kalau sama Juice itu baru wasis, Â Juice Caffe", sahut ayah.
"Caffe juice ya, planet juice, Saung Juice, kenapa beruntung sekali si Juice. sama kata apa saja kok wasis", protesku.
"beruntung enggaknya tergantung kita terbiasa atau tidak. Planet Coffe juga bisa kan, Beng?", Bunda ikut-ikutan sembari meletakkan kopi di meja. secangkir untuk ayah, secangkir untukku, dan secangkir lagi untuk dirinya sendiri.
"Iya Beng, Merkurius Coffe, Venus Coffe atau saturnus Coffe, hahaha", sahut ayah menertawakan ide itu.
"Planet ya?, Saturnus Coffe?, a.. tidak, tidak, aku kurang srek", ucapku.
bunda melipat wajahnya. dia tak suka ditertawakan suaminya. Diangkat tubuhnya dan beranjak kembali ke dapur. entah untuk apa. mengambil camilan barang kali.
"Coffernus Beng", teriaknya sedikit tak terima ditertawakan, menuju dalam dapur. menyambung ledekan ayahku.
Coffernus? tak terlalu buruk,emmm...yah. jadi. itu saja.Â
"Baiklah, COFFERNUS saja", ucapku ssambil mengangkat badanku. berdiri.
Ayah menoleh melongo. ibupun yang tengah didapur menongolkan wajahnya. ekpresi mereka sama.
ya, hari itu Adalah awal dari sebuah perahu dari papan kayu muda berlayar. Mengarungi samudra bernama kehidupan untuk yang pertama. Perahu yang tak pernah mengenal ombak, badai dan karang. Perahu yang tak pernah tahu betapa keras hantaman karang dan badai di laut lepas. yang dia tahu hanya melaju. menaklukan semua samudra dan menemui daratan-daratan baru.
Prahu yang telah ku nahkodai sejauh ini. Diusia yang muda sudah berada di tengah samudra. tengah samudra yang jauh dari daratan manapun. menepi jauh, melajupun jauh. aku tak tersesat, cuma tiba-tiba rindu daratan. itu saja.
Tak ada badai. hanya aku tak punya tempat berlindung dari hujan air mata Bunda. kesedihan dan kekecewaan tengah berkecambuk dihatinya. menyambar-nyambar seumpama halilintar disamudra lepas. Â Usahaku yang lesu tanpa gairah, kepergian ayah, dan pernikahanku yang seumur jagung. wanita mana yang tak hancur. ibarat tersambar petir apalah sakitnya, hatinya lebih berkeping-keping lagi melebihi itu.Â
Siapapun,tolomg beri aku tempat berteduh!!
dalam hatiku aku pun tak mau. siapa juga yang mau. menjadi orang yang disebut sebagai orang yang GAGAL!!, Itu sebutan yang buruk. Prahu itu hanya berhenti sejenak. nanti, kalau layar terkembang kemudian, lajuku tak tertahan. tapi entah kapan. aku masih malas berlayar. aku masih mabuk kepayang dengan kepahitan ini.
"Aku tak akan gagal, Bunda. Aku janji", ucapku dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H