"beruntung enggaknya tergantung kita terbiasa atau tidak. Planet Coffe juga bisa kan, Beng?", Bunda ikut-ikutan sembari meletakkan kopi di meja. secangkir untuk ayah, secangkir untukku, dan secangkir lagi untuk dirinya sendiri.
"Iya Beng, Merkurius Coffe, Venus Coffe atau saturnus Coffe, hahaha", sahut ayah menertawakan ide itu.
"Planet ya?, Saturnus Coffe?, a.. tidak, tidak, aku kurang srek", ucapku.
bunda melipat wajahnya. dia tak suka ditertawakan suaminya. Diangkat tubuhnya dan beranjak kembali ke dapur. entah untuk apa. mengambil camilan barang kali.
"Coffernus Beng", teriaknya sedikit tak terima ditertawakan, menuju dalam dapur. menyambung ledekan ayahku.
Coffernus? tak terlalu buruk,emmm...yah. jadi. itu saja.Â
"Baiklah, COFFERNUS saja", ucapku ssambil mengangkat badanku. berdiri.
Ayah menoleh melongo. ibupun yang tengah didapur menongolkan wajahnya. ekpresi mereka sama.
ya, hari itu Adalah awal dari sebuah perahu dari papan kayu muda berlayar. Mengarungi samudra bernama kehidupan untuk yang pertama. Perahu yang tak pernah mengenal ombak, badai dan karang. Perahu yang tak pernah tahu betapa keras hantaman karang dan badai di laut lepas. yang dia tahu hanya melaju. menaklukan semua samudra dan menemui daratan-daratan baru.
Prahu yang telah ku nahkodai sejauh ini. Diusia yang muda sudah berada di tengah samudra. tengah samudra yang jauh dari daratan manapun. menepi jauh, melajupun jauh. aku tak tersesat, cuma tiba-tiba rindu daratan. itu saja.
Tak ada badai. hanya aku tak punya tempat berlindung dari hujan air mata Bunda. kesedihan dan kekecewaan tengah berkecambuk dihatinya. menyambar-nyambar seumpama halilintar disamudra lepas. Â Usahaku yang lesu tanpa gairah, kepergian ayah, dan pernikahanku yang seumur jagung. wanita mana yang tak hancur. ibarat tersambar petir apalah sakitnya, hatinya lebih berkeping-keping lagi melebihi itu.Â