Mohon tunggu...
GenBI Universitas Diponegoro
GenBI Universitas Diponegoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Generasi Baru Indonesia Komisariat Universitas Diponegoro

Komunitas Penerima Beasiswa Bank Indonesia Komisariat Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengarungi Arus Perubahan: Kenaikan Tarif 12% sebagai Pilar Penguatan Ekonomi dan Keberlanjutan Fiskal

25 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 25 Januari 2025   19:55 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Sumber Pendapatan Negara Indonesia Tahun 2024 (dalam Triliun) Sumber: Kementetrian Keuangan

Dampak kebijakan menaikkan tarif PPN masih menimbulkan pro kontra di antara studi-studi terdahulu. Sebagian studi menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Erero, 2015; Bhattarai,2020; Nikus, 2021; Adejare dan Akande, 2017; Hassan, 2015; Nguyen, 2019; Jalata, 2014; dan Ayoub dan Mukherjee, 2019). Namun sebagian yang lain menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Sajadifar et al., 2012; Ross et al., 2019; Bhattarai et al., 2019; Semenova, 2020). Oleh karena itu, penting untuk melakukan analisis bagaimana dampak penetapan kenaikan PPN tersebut terhadap perekonomian secara keseluruhan. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada berbagai sektor kehidupan khususnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan PPN merupakan salah satu jenis pajak yang penting dan sering dikenakan terhadap transaksi jual beli barang dan jasa di Indonesia (Nariswari, et al., 2024). 

Regulasi Kenaikan PPN 12%

Regulasi mengenai penerapan kenaikan PPN 12% tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang memberikan aturan mengenai dasar penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025 tersebut, dijelaskan bahwa PMK 131 Tahun 2024 merupakan PMK tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean.

Penerbitan PMK 131/2024 dilakukan untuk merealisasikan penerapan tarif PPN yang adil, yang diwujudkan dalam bentuk penggunaan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak untuk barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 8A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah mengalami perubahan beberapa kali, yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Dalam Pasal 2 (dua) ayat (2) PMK 131/2024 menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% (dua belas persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa harga jual atau nilai impor. Sementara itu, pada Pasal 2 (3) tertulis bahwa Barang Kena Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa harga jual atau nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Berdasarkan PMK 131/2024 dapat digarisbawahi bahwa pengenaan PPN 12% hanya diaplikasikan terhadap barang-barang yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), berupa kendaraan bermotor, kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, kondominium, town house, apartemen, dan sejenisnya yang memiliki harga jual Rp30 miliar atau lebih. Selanjutnya, kelompok balon udara dan pesawat udara tanpa tenaga penggerak dan peluru senjata api, kecuali untuk keperluan negara. Kemudian terdapat kelompok pesawat udara selain yang dikenai tarif PPnBM 40%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga seperti helikopter, serta kelompok senjata api seperti senjata artileri, revolver, dan pistol, kecuali untuk keperluan negara. Terakhir adalah kelompok kapal pesiar mewah yang bukan digunakan untuk keperluan negara atau angkutan umum seperti kapal pesiar, kapal ekskursi, dan yacht.

Tinjauan Kenaikan Tarif PPN di Masa Lalu

Kenaikan PPN bukanlah hal baru di Indonesia. Pada April 2022 lalu, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No. 7 Tahun 2021, Pemerintah Indonesia pernah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11%. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan menjaga stabilitas fiskal. Pada awalnya, peningkatan PPN ini sempat menimbulkan kekhawatiran  akan penurunan daya beli masyarakat, utamanya di sektor yang sensitif terhadap harga. Namun, perubahan tarif ini juga memiliki dampak yang signifikan terhadap profitabilitas perusahaan, terutama di sektor kosmetik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Muliani Mangngalla menganalisis implikasi kebijakan peningkatan tarif PPN tersebut terhadap profitabilitas perusahaan kosmetik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif komparatif dan mencakup enam perusahaan, yaitu PT Akasha Wira International Tbk, PT Martina Berto Tbk, PT Kino indonesia Tbk, PT Mustika Ratu Tbk, PT Unilever Indonesia Tbk, dan PT Victoria Care Indonesia Tbk. Melalui teknik purposive sampling, hasil menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN meningkatkan penjualan dan laba kotor semua perusahaan, tetapi 33% dari perusahaan tersebut mengalami penurunan laba bersih setelah pajak, bahkan mengalami kerugian (Mangngalla, 2024).

Kenaikan tarif PPN dapat menyebabkan perusahaan menaikkan harga jual produk untuk mengimbangi pajak tambahan, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya beli konsumen dan menurunkan volume penjualan. Jika perusahaan tidak sepenuhnya meneruskan kenaikan PPN kepada konsumen dan menyerap sebagian dari kenaikan biaya tersebut, margin keuntungan kotor dapat tertekan. Penurunan Gross Profit Margin (GPM) menunjukkan bahwa dampak kenaikan PPN mungkin telah mengurangi efektivitas perusahaan dalam mengelola biaya dan mempertahankan profitabilitas.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN dapat mempengaruhi daya beli konsumen. Sebagai contoh, penelitian Hidayat et al. (2023) menemukan bahwa 59% dari perusahaan sektor industri makanan dan minuman mengalami penurunan penjualan setelah kenaikan tarif PPN. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga barang akibat peningkatan tarif PPN dapat mengurangi daya beli konsumen, yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan konsumen untuk berbelanja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun