Indonesia sebagai negara berkembang, tentu masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber Daya Manusia merupakan hal fundamental yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Tanpa SDM yang baik mustahil suatu negara dapat bertahan di era globalisasi.
Derasnya arus perkembangan teknologi telah menjadi tantangan sekaligus polemik belakangan ini. Jika suatu kelompok tidak dapat memanfaatkan teknologi, maka kelompok itu akan tertinggal. Pernyataan ini semakin tampak jelas terjadi dengan adanya peristiwa penolakan sekelompok pedagang pasar terhadap keberadaan fitur perdagangan di media sosial. Jika dicermati, sistem perdagangan online sejatinya membawa kemudahan, harga yang lebih murah dan fleksibilitas dalam melakukan transaksi karena dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Sebagai konsumen, tentu hal tersebut menjadi hal yang diinginkan selama berbelanja.
Tetapi nyatanya Pemerintah justru mengesampingkan fakta tersebut dengan menutup fitur perdagangan yang ada di semua media sosial. Menurut saya, ini keputusan yang kurang tepat. Hal ini setidaknya didasarkan pada 3 alasan sederhana:
Yang pertama, Ciri kemajuan suatu negara dilihat dari kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dan memanfaatkan perkembangan teknologi. Jika masyarakat tidak mampu apalagi tidak bersedia, tentulah negara tersebut akan tertinggal dengan negara lain. Keputusan yang lebih baik jika pemerintah mengambil langkah untuk membangun dan meningkatkan kemampuan masyarakatnya secara intens dalam hal pemanfaatan teknologi melalui beragam bentuk edukasi.
Yang Kedua, Keberadaan fitur perdagangan online di media sosial sejatinya telah meningkatkan perkembangan ekonomi di negara ini. Berdasarkan data Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEa), jumlah transaksi melalui e-commerce pada tahun 2022 mencapai Rp. 227,8 Triliun, sedikit banyak dari nominal tersebut telah membantu perekonomian negara, disisi lain munculnya wirausahawan baru yang memulai bisnis melalui fitur tersebut dan bermata pencaharian disana, jika ditutup bagaimana nasib mereka?
Yang ketiga, keputusan penutupan tersebut berpotensi menimbulkan gelombang masalah dikemudian hari. Pada dasarnya, alasan penutupan yakni pedagang lokal / pedagang di pasar kalah bersaing dan dirugikan dengan adanya lapak online tersebut. Jika menggunakan logika yang sama, maka seharusnya pemerintah juga harus bersiap untuk menutup jasa transportasi online, oleh karena keberadaannya selama ini juga telah merugikan supir dan ojek pangkalan. Kemudian, pemerintah juga harus menutup retail minimarket terkenal yang hampir selalu ada di setiap daerah, karena keberadaannya dirasa telah "mematikan" usaha warung-warung kecil. Tentu hal ini tidak logis dan menjadi masalah besar apabila dilakukan, tetapi rasanya pemerintah telah membuka jalan untuk hal ini terjadi. Bukan tidak mungkin, jika terpenuhi satu tuntutan maka akan ada tuntutan lainnya, bahwa online shop juga harus ditutup (berangkat dari alasan yang sama)
Memang tidak tepat juga apabila kita menutup mata terhadap fakta bahwa fitur perdagangan online  acapkali merugikan masyarakat misalnya adanya pemalsuan produk, penipuan ulasan, dan ancaman lainnya yang disebabkan oleh pedagang nakal. Tetapi ibarat rumah bertikus, maka tikusnya yang dibasmi, bukan rumahnya yang dibakar.
Hemat saya, Tidak perlu ada penutupan fitur perdagangan online di media sosial tersebut melainkan cukup dilakukan penguatan terhadap sistem pengawasan terhadap pelaku usaha serta sarana yang memudahkan para pedagang lokal untuk bermigrasi (memanfaatkan) teknologi demi tercapainya keuntungan dan kemudahan dalam berusaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H