Judul: Still Alice
Penulis: Lisa Genova
Penerjemah: Anindita Prabaningrum
Editor: Yuki Anggia Putri
Penerbit Asli: Simon & Schuster
Penerbit Terjemahan: Penerbit Esensi (Divisi Penerbit Erlangga)
Tahun Terbit: 2015
Halaman: 320 Halaman (ebook)
“There is no mistake in a real book, when one meet it. It's like falling in love...”. Seperti itulah gambaran saya ketika membaca novel ini, ‘terpesona dan jatuh cinta’. Dan jika kita menemukan banyak cinta, tentunya banyak yang musti kita bagi. Salah satunya tentunya membagi novel “Still Alice” ini. Ada sesuatu mengenai novel ini yang perlu untuk dibagi, dibicarakan dan diobrolkan pun juga untuk diresapi.
Lisa Genova, akan membawa kita pada kisah seorang perempuan (ibu rumah tangga) bernama Alice Howland, wanita yang sukses dalam karir dan sukses dalam membangun keluarga kecilnya yang bahagia. Ia memiliki suami yang juga sukses dalam karirnya dan tiga anak yang sudah dewasa, kemudian mengetahui di pertengahan usianya ia harus mengalami situasi yang sulit, menderita “penyakit pelupa”. Alice Howland dengan ‘beautiful mind’, wanita yang memiliki penyakit Az Zheimer. Dan inilah kisah singkatnya :
Alice Howland adalah seorang profesor spikologi kognitif di Harvard University dan ahli linguistik terkenal di dunia, ia telah mengajar selama 25 tahun. Konflik dalam cerita ini dimulai pada suatu hari, saat Alice keluar jogging. Dia menemukan dirinya tersesat di Harvard Square dan tidak dapat menemukan jalan pulang, padahal ia hanya satu mil dari rumahnya, pada rute yang selalu ia lewati dalam perjalanan setiap hari. Mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi, Alice melakukan pencarian di Google untuk "gejala menopause" dan mendapati bahwa gangguan yang ia alami disebabkan oleh kurangnya estrogen.
Namun penyakit ‘kehilangan memori’ yang ia alami semakin terlihat nyata dan serius. Pada saat ia sedang memberi kuliah di kelas-nya, Alice hanya menghabiskan 45 menit dan kemudian ia menyadari bahwa ia tidak bisa mengingat topik dan bahan materi yang telah ia persiapkan sebelumnya. Dan pada saat di rumah, suaminya mengingatkannya bahwa seharusnya hari ini ia ada perjalanan bisnis di Chicago, bukan bersantai di rumah. Alice berusaha menjaga keharmonisan kehidupannya baik di rumah maupun di tempat ia bekerja dengan penyakit anehnya itu. Alice ketakutan untuk mengetahui bahwa penyakit yang ia alami jauh lebih mengerikan daripada menopause. Kemudian Alice meminta kepada dokter kandungannya untuk mereferensikannya ke dokter syaraf.
Dari dokter syaraf tersebut Alice mengetahui bahwa kehidupannya telah berubah dengan dua kata, penyakit ‘Al Zheimer’. Ia mulai berperang melawan pemikiran-pemikirannya sendiri dan ia tidak ingin menerima bahwa ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. Tetapi ia mengakui dan menyadari bahwa penyakit ini menyerang kepalanya, membuat dunianya bergeser beberapa waktu lebih lambat.
Alice masih belum bisa menerima penyakit Al Zheimer itu menimpanya, ia memilih untuk mengabaikannya. Penyakitnya semakin parah, Alice merahasiakan penyakitnya ini dari keluarganya, ia merasa bisa mengatasi penyakitnya ini sendiri. Namun Al Zheimer ini semakin membuat Alice kehilangan dirinya sendiri dan keluarganya. Akhirnya keluarganya mengetahui penyakitnya ini. Ini merupakan kenyataan yang menyakitkan buat dirinya dan keluarganya. Di mana ia dulu adalah sebagai “jangkar” untuk melindungi keluarganya, sekarang ia harus bersandar pada suaminya dan tiga anaknya agar ia aman. Semua harus bersama-sama menangani dan memecahkan permasalahan ini, mereka perlu untuk menarik benang hidupnya ini bersama-sama agar tidak kusut, ini yang disadari keluarga Howland. Bahwa Alice tidak sendirian bersama penyakitnya, ada dukungan, kasih sayang dan keluarga di sampingnya yang akan selalu ada untuknya.
Bagi Alice sendiri, dukungan dan kasih sayang keluarganya membuatnya bahagia sekaligus menderita, bagaimana tidak untuk menikmati kesenangan sederhana saja, yang biasa ia lakukan seperti jogging dan memasak menjadi tugas yang sekarang membutuhkan bantuan. Untuk seorang wanita yang dihargai kemerdekaannya, ketergantungannya sekarang begitu jelas dan menyakitkan. Alice mengetahui bahwa pada akhirnya semuanya tidak akan cukup baik, namun ia berjuang untuk tetap mengontrol dunianya, bergulat selama ia bisa untuk melawan penyakitnya, melawan dirinya sendiri.
Alice tidak ingin menjadi seseorang yang dihindari dan ditakuti. Dia ingin hidup untuk melihat bayi Ana, dan mengetahui bahwa itu cucunya. Dia ingin melihat Lydia melakukan sesuatu yang bisa membuatnya bangga. Dia ingin melihat Tom jatuh cinta. Dia ingin membaca setiap buku yang dia bisa, sebelum ia tidak lagi bisa membaca. Alice menulis untuk dirinya sendiri, menggambarkan dirinya seperti lilin yang sudah kehilangan cahayanya karena Al Zheimer :”ketika sesuatu sudah mulai redup”. Kau membutuhkan cahaya lain untuk tetap melihat dunia.”
Still Alice dengan ‘beautiful mind’, akan membuat anda memperoleh pemahaman tentang mereka yang terkena dampak awal-awal Al Zheimer, akan terinspirasi dan terus terpengaruh meski anda telah meletakkan buku ini. Itulah mengapa saya menyebut “jatuh cinta” karena setelah terisi dengan-nya anda akan terus terpengaruh terus terisi dan akan melihat Az Zheimer dalam pandangan yang berbeda.
Kebagusan buku ini terletak pada penyajian penulis yang mengalir, tidak membosankan dan seolah-olah ketika membacanya kita bisa melihat gambaran nyata dalam setiap tulisan di sequelnya. Kita seolah terlarut dalam alur cerita yang dibuat oleh Sang penulis. Inilah keberhasilan Lisa Genova, membuat pembacanya melihat kejadiannya sebagai bagian dari kehidupannya.Tak heran jika American Drama Film, mengangkat cerita ini dalam sebuah film yang ditulis dan disutradai oleh Richard Glatser dan Wash Westmoreland pada tahun 2014, dan mengantarkan Julianne Moore mendapatkan Academy Award untuk aktris terbaik dalam perannya sebagai Alice Howland dalam film yang berjudul sama seperti buku-nya “Still Alice”.
Untuk kekurangan dalam buku ini saya rasa tidak ada yang perlu diuraikan, sama seperti saat kita telah jatuh cinta. Karena setiap kekurangannya tidak akan mengurangi rasa cintanya bukan? Tapi jika menyatakan kekurangan itu sebagai cara agar kita bisa menambal kekurangannya, maka akan saya lakukan. Kekurangannya adalah bahwa buku ini hadir ditengah-tengah masyarakat kita yang budaya membacanya sangat rendah. Untuk itulah saya membuat resume atau resensi ini agar pembaca lainnya bisa melihat gambaran sederhana dan singkatnya buku ini, untuk sedikit mengurai benang kusut bagi yang tidak terlalu menyukai membaca buku. Namun saran saya adalah bacalah buku ini sampai selesai, jangan hanya membaca sedikit! Anda akan mendapatkan “cahaya baru”.
Dari saya pribadi membuat cacatan untuk buku ini : “No candle loses It’s light while lighting another candle.” Sharing, caring and helping others make our life more meaningfull”. Dan terakhir, buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca oleh ibu-ibu rumah tangga, bapak-bapak rumah tangga (agar tidak tejadi ketimpangan gender), remaja, para spikolog, dan khususnya keluarga, saudara dan orang-orang yang menderita penyakit Al Zheimer agar bisa melihat Al Zheimer lebih dekat. May be is not happy ending, may be it’s about the story. (Peresume : Desi Wulandari, penikmat buku).
https://twitter.com/gemintangILa2ng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H