Musim panas menjadi semakin panjang, sementara sayapku semakin lelah melayang-layang. Sangkarku yang terakhir ikut termakan si burung Elang, disangkanya aku masih terlalu kecil tak mampu sigap menghindari paruhnya dan memilih menyelamatkan diri. Dan disinilah aku sekarang, di bumi bagian Selatan yang tidak bersahabat, tandus dan tidak menjanjikan. Hah!
Sudah hampir dua pekan, terlunta-lunta aku mengharapkan sebatang pohon yang rindang, yang bisa memberiku ranting kuat untuk membangun sangkar yang nyaman, namun yang kutemukan hanyalah pohon tua yang kering, yang jangankan menampungku-menopang dirinyapun sudah pasti tak mampu.
Jauh disana, nanar kupandangi mentari sore yang kian meredup. Kuseka keringatku yang bercucuran, aku haus, mataku berkunang-kunang. Mungkin inilah detik-detik matiku. Oh ibu induk, aku takut. Dan brak!
"Jangan makan aku.." lirihnya saat mendarat. Setengah mati aku tersontak. Ia seperti sesuatu yang terbuang dari surga.
"Siapa yang akan memakanmu?" balasku masih setengah menganga
Burung aneh itu terdiam menatapku, namun mendadak tangisnya pecah tak terbendung, ia merengek, hampir saja aku tergiur untuk meminum air mata deras itu karena hausku yang sekarat.
"Kau datang darimana?" tanyanya di sela isakan.
"Timur, kau?"
"Barat" ia melihatku perlahan.
Wajahnya bukan hanya murung, tapi juga berduka. Lalu ia terdiam, aku penasaran.
"Apa yang terjadi? Siapa yang akan memakanmu?" selidikku.