Aku, si Hitam dan Kuning memutuskan untuk menikmati hari-hari kami di sini, di Selatan ini, menghabiskan hari-hari di pinggir sungai, mematuk cacing kecil dan menelan pucuk rumput yang lembut. Tubuh kami kembali pulih, di bawah sinar bulan dan mentari bulu-bulu kami memantulkan kilap, cakar pun kembali kokoh.Â
Si Hitam dan Kuning telah memaafkan perbuatanku sejak lama, kami berteman dekat sekali. Kami bahagia menikmati simponi tumbuh bersama menjadi burung betina dewasa yang jelita. Hari ini setelah berburu ranting-ranting kecil, si Hitam tampak cemas mendatangiku, sayapnya mengepak tak beraturan, wajahnya pucat.
"Ada apa?!" aku menunggu tak sabar
"Terbanglah ke Barat sejauh seratus meter, cepat!" pintanya. Perutku melilit, yang aku tau si Kuning sedang mencari cermai, apakah sesuatu yang buruk menimpanya?
Aku terbang melesat meninggalkan sarang baru di daun jendela, aku tak siap untuk berita buruk, jangan, oh ibu induk..
"Lihat! Kita punya pohon! Kita punya pohon!" si Kuning histeris. Ia menari-nari dengan sayapnya yang terentang, dari kejauhan ia memeluk batang-batang pohon muda yang berdiri sombong. Aku tak percaya. Pangeranku meninggalkan harta tak ternilai ini, mewariskannya pada kami, untuk masa depan.Â
Aku berguling, membenamkan kepalaku dalam timbunan pasir dan menyeruduknya ke udara. Si Hitam menyusul dengan manuver meliuk-liuk di udara. Laku kami saling mendorong, terjerembab dalam gelak tawa dan merengkuh berpelukan di antara debu, kami merayakan hidup dan berterima kasih pada alam, cakrawala, dan daun-daun mungil itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H