Agama berasal dari Bahasa Sanskerta, terdiri dari 2 kata, a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau. Jadi, kalau dirangkai artinya tidak kacau. Secara terminologi, agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. (sumber)
Saat ini setidaknya ada 7 agama utama di Indonesia, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dan tercatat ada Yahudi, Baha'i dan Animisme. Setiap agama punya ke-khas-an-nya masing-masing. Dari mulai tempat ibadah, kitab suci, pemuka agama, dan tata cara pelaksanaan ibadahnya. (sumber)
Sejatinya, agama itu bersifat prifat. Namun, pengaplikasian seseorang yang taat sering kali dijadikan tolak ukur agama tersebut. Padahal ya tidak. Sama saja ketika (maaf) sebut saja oknum polisi melakukan pemerasan, apakah institusi polisi dikatakan institusi pemeras? Kan tidak! Yang menjadi repot agama selalu dibawa-bawa menjadi akar masalah, ya karena pemahaman arti agama sendiri, yaitu tidak kacau. Lah kalau aplikasinya melanggar, langsung dikorelasikan agamanya yang kacau. Sudah terbayang ya, riwehnya jadi Mentri Agama melihat kondisi ini.
Mungkin Mentri Agama tidak ada urusannya dengan stigma personal terhadap suatu agama ketika melihat penganut agama tersebut menyimpang. Tapi penilaian ini menjadi gerah ketika sudah bermunculan bumbu-bumbu pembohongan atas dasar kebencian sehingga banyak bermunculan berita bohong (hoax).
Kalau saya jadi Mentri Agama, setidaknya 2 hal ini yang akan saya lakukan :
1. Buka akses seluas-luasnya untuk mencari ilmu agama.
Pernah lihat bagan perbandingan antara ilmu dan bodoh ketika disandingkan dengan sesuatu?
- Bodoh + Kemiskinan = Kriminalitas
- Bodoh + Kekayaan = Kerusakan
- Bodoh + Kebebasan = Kekacauan
- Bodoh + Kekuasaan = Tiran
Sementara jika bodoh diganti dengan ilmu, maka
- Ilmu + Kemiskinan = Qona'ah
- Ilmu + Kekayaan = Peradaban
- Ilmu + Kebebasan = Inovasi
- Ilmu + Kekuasaan = Keadilan
Bagaimana kalau disandingkan dengan agama? Ketika bodoh + agama, arogansi yang kita lihat sekarang ini. Merasa agamanya yang paling benar, sementara yang lain salah dan harus dilenyapkan. Upaya melenyapkan dengan terror adalah contoh arogansi yang paling tinggi. Yang paling rendah, ya mencaci dan memaki.
Maka, akses terhadap ilmu itu penting! Setidaknya sebagai Mentri Agama saya akan mengundang seluruh pemuka agama untuk merumuskan bagaimana ilmu agama masing-masing bisa tersebar dengan baik. Baik terhadap pengikutnya, ataupun yang bukan pengikut yang ingin tahu lebih. Setidaknya spiritnya ada 2, pertama soal bagaimana meningkatkan pemahaman ilmu agama bagi pemeluknya. Kedua tentu soal tetap mengukuhkan persatuan.
Selanjutnya biarkan komunitas agama yang mengaturnya lebih rinci terkait sebaran ilmu tersebut. Entah menjadikan tempat ibadah sebagai poros penggeraknya. Entah kawula muda yang menjadi sasaran. Dan seterusnya. Setiap agama pasti ada penganut kreatifnya.
Toh, dewasa ini orang lebih senang mencari ilmu sendiri karena lebih mudah. Ada google, ada youtube dan platform-platform lain yang bisa dengan mudah diakses. Jadi, kalau melihat penganut agama tertentu melakukan sesuatu, bisa langsung dicaritahu. Benar tidak? Sesuai tidak? Kenapa begitu? Dan seterusnya.
Kalau sebaran ilmunya sudah baik, tentu kita akan lebih mudah untuk saling mengenal. Dan ketika sudah saling mengenal, kita akan lebih peduli. Lagian juga kan enggak enak juga kalau diingatkan salat oleh agama lain. Malu!
2. Jadikan tempat ibadah sebagai pusat peradaban.
Terus terang ini berat, tapi idealnya memang seperti itu. Setidaknya lakukan pertemuan rutin antar jemaat satu minggu sekali di tempat ibadah. Bisa selepas ibadah, ada acara lanjutan. Majelis-majelis semakin digalakkan. Bukan hanya soal ceramah atau diskusi ilmu agama saja, bisa undang profesional untuk berbagi keilmuan misalnya. Atau pendidikan atau kegiatan untuk muda-mudi tentunya dengan nilai-nilai keagamaan.
Tempat ibadah juga bisa dijadikan sebagai pusat amal dalam bentuk uang. Dalam Islam dikenal Zakat, Infak dan Sodaqoh. Masjid bisa sebagai jalur distribusi utama untuk kemudian disalurkan pada fakir yang ada di sekitaran Masjid. Tempat ibadah agama lain juga bisa melakukan hal serupa.
Memakmurkan Masjid (Tempat Ibadah)Â namanya.
Makmur di sini bukan berarti tempat ibadahnya mewah dan pengurusnya sejahtera. Tapi dilihat dari betapa pentingnya kehadiran tempat ibadah di daerah tersebut. Banyak orang hilir mudik keluar masuk bukan hanya untuk beribadah saja, tapi juga mencari ilmu, berbagi, bermain, atau meminta pertolongan.
Bisa dibayangkan betapa kerennya tempat ibadah ketika ada orang fakir belum makan seharian, yang dia tuju pertama kali adalah tempat ibadah. Atau ketika ada pemuda baru putus cinta, curhat sama ustad di Masjid. Atau jadi tempat ngobrol para istri soal menu masakan untuk membahagiakan suami.
Saya rasa sudah cukup 2 hal di atas yang bisa digalakkan. Perkara masih ada oknum yang menyebarkan berita bohong penuh kebencian, setidaknya ada sumber lain yang tersedia dan bisa digali soal kebenaran berita tersebut.
Harapannya tentu ketika sumber ilmu semakin banyak dan valid, semakin banyak pula yang tergerak dan diajak untuk sama-sama belajar. Semakin banyak belajar tentu membuat kita semakin sadar bahwa kita banyak kekurangannya. Hingga kita akan semakin sibuk memperbaiki diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H