Mohon tunggu...
Gema Kania
Gema Kania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Universitas Airlangga

Saya terbuka dengan pandangan dan pemikiran baru mengenai perspektif isu sosial yang berlangsung. Saya juga menyukai gerakan-gerakan aktivisme pada kaum marginal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Salah Kaprah Soal Feminisme di Indonesia

13 Juni 2024   16:37 Diperbarui: 13 Juni 2024   18:20 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata ‘Feminisme’ bukanlah hal yang terdengar asing lagi bagi kita. Belakangan ini, agenda gerakan-gerakan feminisme tentu seringkali banyak kita jumpai. Melalui postingan-postingan sosial media tentang pemberdayaan perempuan hingga terkadang dilakukannya aksi turun jalan guna menyuarakan hak-hak perempuan. Banyaknya realitas soal agenda feminisme ini ternyata bukan hanya berdampak positif bagi perempuan, namun terdapat pula sekelompok masyarakat Indonesia yang masih salah dalam mengartikan feminisme itu sendiri.

Lantas, sebelum lebih jauh sebenarnya apa itu feminisme?
Feminisme merupakan suatu rangkaian gerakan yang berfokus pada isu sosial, yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dengan menetapkan kesetaraan aspek politik, ekonomi, pribadi, dan sosial yang ada di masyarakat. Gerakan ini berfokus untuk menyetarakan serta mengubah pandangan masyarakat yang memprioritaskan sudut pandang laki-laki sehingga menyempitkan ruang gerak perempuan dalam bermasyarakat. Adapun sejarah mulai dipakainya istilah ini setelah diadakannya Konferensi Perempuan Internasional Pertama di Paris. Dibagi menjadi empat gelombang, dimulai dari abad ke-19 tepatnya 1848 di Amerika Serikat  untuk perempuan mendapat hak pilih dalam politik. Lalu, gelombang ke-2 tahun 1960-an yang berkampanye terkait kesetaraan hukum dan sosial bagi perempuan. Selanjutnya, gelombang ke-3 tahun 1990-an berkaitan dengan kebebasan individu hingga perhatian akan isu seksualitas. Terakhir yakni gelombang ke-4, dimulai tahun 2012 yang mana fokus pada pelecehan seksual, penyebaran kesetaraan, serta menaruh perhatian pada konsep interseksionalitas.

Melalui penjelasan sebelumnya, beberapa orang tentu memiliki perspektif yang positif mengenai gerakan feminisme ini. Akan tetapi, didasari dengan masyarakat yang berlatar belakang beragam, tentu tidak semua paham betul akan sisi positif dari feminisme. Buruknya, sebagian masyarakat ini menghina hingga menyalah artikan feminisme jauh dari apa yang sebenarnya ditujukan dari gerakan ini. Perilaku yang mungkin saja dilatarbelakangi oleh lingkungan patriarki atau bahkan misoginis adalah akibat dari adanya pandangan buruk terkait gerakan feminisme.

Sebelum mengulik lebih jauh, patriarki memang erat kaitannya dengan misoginis yang merugikan upaya penyetaraan perempuan di masyarakat. Patriarki merupakan sistem sosial atau stigma dimana menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama yang mendominasi. Sedangkan misoginis adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang melibatkan kebencian dengan alasan tertentu. Kedua hal tersebut tentu berkaitan, dengan adanya perasaan mendominasi didasari budaya patriarki, sifat misoginis ini akan tumbuh secara tidak sadar. Akibatnya, banyak terjadi anggapan yang sangat merugikan perempuan contohnya saja adalah penyalahan korban ketika terjadi pelecehan seksual, hingga stigma perempuan yang hanya wajib “berias, beranak, memasak”.

Setelah mengetahui kaitan antara patriarki dan feminisme, kita melihat komentar pada platform instagram terkait isu sosial yang marak didiskusikan di ruang publik. Dikutip dari komentar akun bernama @anggun.maul adanya penyalahartian ini disebabkan adanya dukungan moral dari gerakan feminisme terkait isu childfree. Pada dasarnya, feminisme bukan hanya terikat pada kehidupan pernikahan, melainkan contoh memperjuangkan hal sesederhana lingkungan yang memberikan rasa aman dan nyaman untuk bepergian sendiri bagi perempuan. Atas alasan tersebut, feminisme bukanlah keinginan ajang untuk bebas dari tanggung jawab, melainkan dapat merasa setara, tidak termarginalisasikan, serta dihargai sebagai manusia yang juga memiliki pilihan atas hidupnya sendiri.

Postingan akun X @stafsyscolonial/dokpri
Postingan akun X @stafsyscolonial/dokpri
Selanjutnya, lewat postingan dari akun twitter dengan nama @stafsuscolonial, di mana menyatakan perujukan “kaum itu” pada gerakan feminisme dengan sederet masalah sosial yang disuarakan turut jauh disalahartikan. Penyalahartian seperti aborsi sama dengan pembunuhan adalah bukti nyata kebencian terhadap pilihan hidup seorang perempuan. Padahal, maraknya kasus perempuan sebagai korban pelecehan, sehingga terjadi kehamilan tidak diinginkan tentu merupakan hal yang merugikan perempuan. Hidup yang sudah dibangun bisa saja dipersulit oleh kehadiran yang belum memiliki kehidupan sama sekali. Terlebih lagi, pengartian childfree akan kepunahan merupakan hal yang berlebihan, padahal pilihan seseorang untuk menjadi orang tua tentu dilatarbelakangi banyak hal dan kesiapan penuh.

Postingan akun Tiktok @unaverageceo10/dokpri
Postingan akun Tiktok @unaverageceo10/dokpri
Berganti pada platform tiktok, banyak ditemui pula postingan yang salah kaprah mengenai feminisme. Anggapan “memperkuat wanita dan melemahkan pria” adalah bentuk nyata  dari sifat “fragile masculinity”. Keadaan di mana ketakutan dan perasaan rendah diri soal maskulinitasnya akan “kalah” bila perjuangan kesetaraan perempuan semakin digalakkan. Keinginan untuk menjadi kaum yang terus dapat prioritas utama untuk  “mendominasi” serta “mengontrol” ini menjadi acuan kebencian terhadap gerakan feminisme. Padahal, sesingkat tujuan untuk setara dalam aspek sosial, masih saja dianggap buruk oleh beberapa orang.

Jadi, pada akhirnya gerakan feminisme ini bukanlah suatu hal yang mudah dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Keberagaman latar pemikiran, serta anggapan-anggapan yang memperburuk citra perempuan adalah hal utama terkait sulitnya feminisme ini digalakkan. Belum lagi budaya Indonesia yang masih kental akan patriarki hingga normalisasi lelucon bersifat seksis, turut ambil bagian sebagai penyebabnya. Meskipun begitu, kesetaraan terhadap perempuan harus terus tetap disuarakan. Berangkat dari hal kecil seperti saling mendukung akan pilihan hidup sesama perempuan, tentu akan memiliki makna besar. Sehingga, perempuan dapat bersama-sama saling mengetahui bahwa dirinya berharga dan memiliki hak pilihan untuk mengambil keputusan akan hidupnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun