Segaris senyum dibibirmu buat jantungku takut; kembang-kempis.
Karena senyum itu hadir di antara tangis dari sejak semalam gerimis.
Menetes setitik demi setitik yang menyimpan rahasia di dalam titiknya.
Mungkinkah aku yang menjadikanmu nelangsa?
Atau dari orang yang bagimu begitu berkuasa?
.
Aku susuri setiap jengkal mendung yang kau kisahkan.
Menyelami awan yang penuh nestapa.
Dan aku nyaris tenggelam; tak mampu bernafas pada tekanan yang begitu besar.
Semakin dalam, semakin menyayat rasa bercandaku.
Aku tak mampu menjangkau palungmu.
Ada uluran tangan yang tak disambut jabat.
Ada banting-tulang yang tak mendapat rihat.
Ada kucuran darah yang tak disambut sanjung.
Ada air mata yang tak diberi kasih.
.
Ke mana air matamu 'kan bermuara?
Yang seharusnya menjadi samudra tenang malah menjadi tsunami.
Mungkinkah orang jelata sepertiku bisa melukis matahari agar tangismu menjadi pelangi?
Atau setidaknya, izinkan aku menjadi payung yang meneduhkanmu dari prahara.
Pula menjadi perahu yang menemanimu mengarungi samudra.
kurasa kau bukan manusia.
Kau adalah ikan salmon yang menantang arus.
.
Aku adalah pulau terpencil di tengah luasnya samudramu.
Singgahlah. Mungkin untuk selamanya.
Ada karang ditepinya.
Pula mangrove dan nyiur.
Kau akan aman dari ombak.
***
(Gemo Gibran)
Yogyakarta, 6 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H