Mohon tunggu...
Junius Fernando Saragih
Junius Fernando Saragih Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang pencari makna dalam setiap hal yang akan dilakukannya. Sangat ingin menjadi penulis dan bermakna bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar Dari Peristiwa FITRA VS Jokowi

23 April 2014   19:11 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:17 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Junius Fernando S Saragih*

Kajian yang diungkap organisasi sekelas FITRA tentang meningkatnya biaya operasional Gubernur DKI, Joko Widodo bila dibandingkan saat dijabat oleh Foke kala itu menuai pro dan kontra. Menanggapi hal ini, Wakil Gubernur Basuki Tjahya Purnama atau yang kerap disapa Ahok ini justru balik menuding FITRA tidak cerdas dalam membaca anggaran.

Bahkan tudingan juga berlanjut ke arah serangan politik yang sedang dirancang lewat pernyataan-pernyataan FITRA di media yang dirasa kurang berimbang. FITRA tidak menjelaskan data secara komprehensif sehingga tampak sengaja bermaksud membangun opini publik bahwa penggunaan anggaran pada kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI saat ini jauh lebih buruk dari kepemimpinan sebelumnya. Sementara, sebagaimana yang kita ketahui FITRA adalah organisasi yang bergerak dalam bidang kontrol sosial untuk transparansi proses-proses penganggaran Negara, yang seharusnya mampu membaca anggaran secara baik.

Kejadian ini telah mengumbar pertanyaan di benak banyak kalangan, mengingat citra kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI saat ini jauh lebih baik bila dibandingkan kepemimpinan sebelumnya. Bahkan bila ditelusuri pertentangan antara mantan Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo dengan wakilnya Prijanto didasarkan pada persoalan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Fauzi Bowo.

Dugaan korupsi ini dipaparkan Prijanto dalam dua bukunya yang berjudul “Andaikan Saya atau Anda Jadi Gubernur Kepala Daerah” dan “Alasan Saya Mundur”. Bahkan, keterangan dalam buku ini telah digunakan salah satu LSM bernama Solidaritas Nasional Anti Korupsi dan Anti Makelar Kasus (SNAK) sebagai data acuan untuk melaporkan dugaan korupsi di Pemerintahan DKI Jakarta kepada KPK (Republika Online, 23/4/14). Lantas, mengapa FITRA justru menilai penggunaan anggaran kepemimpinan DKI periode Foke lebih baik dibanding periode Jokowi-Ahok?

Kekeliruan yang dilakukan oleh FITRA tentunya sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap NGO. Disadari atau tidak hal ini dapat merusak citra NGO khususnya bagi mereka yang sungguh-sungguh bekerja demi pembangunan Indonesia yang lebih baik. Ini semua sekaligus mendorong kita untuk lebih banyak membahas tentang beberapa isu penting NGO agar di kemudian hari kita lebih komprehensif dalam merespon pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh NGO.

NGO dan Sumber Dana

Sudah bukan rahasia lagi bahwa ada banyak NGO yang lahir bukan atas dasar keinginan dari masyarakat sendiri, melainkan ada stimulan dari lembaga-lembaga donor yang bersedia mengeluarkan dana demi isu tertentu yang menjadi konsentrasi mereka. Barangkali tidak salah, tatkala lembaga-lembaga donor—paling sering berasal dari asing—menggelontorkan sejumlah dana demi isu-isu strategis yang kecenderungannya mengarah pada isu pembangunan.

Sekilas ini menjadi sebuah kesempatan besar bagi negeri kita untuk memanfaatkan bantuan asing demi kepentingan negara kita. Sudah barang tentu negara ini membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Itupun bila memang murni demi pembangunan negeri, ditambah tanpa adanya maksud terselubung pihak asing.

Namun, apakah sesederhana itu kita memandang dana bantuan asing bagi NGO? Bilamanakah sumbangan yang diberikan pada NGO tidak mengikat? Bukankah lebih mudah—di negara demokrasi—menggunakan NGO yang terdiri dari intelektual dalam negeri untuk mendapatkan informasi-informasi rahasia—yang bisa jadi lebih mahal bila harus dilakukan intelijen dari negara asing tersebut?

Beragam pertanyaan mencuat tatkala berbicara tentang beberapa NGO yang masih bergantung dengan lembaga donor asing. Harus kita akui, sering kali dalam hubungan lembaga donor asing dan NGO terdapat kecenderungan intervensi oleh lembaga donor terhadap NGO tersebut. Hal inilah yang kerap menjadikan NGO kurang profesional, bahkan di pihak lain tidak sedikit NGO yang bekerja berdasarkan pesanan lembaga donor yang membiayainya. Indikasi ini dapat kita lihat dari banyaknya NGO yang sama sekali tidak memiliki kegiatan swadaya demi memenuhi kebutuhan organisasi. Di sisi lain, penghasilan mayoritas sumber daya manusia dalam NGO bersumber dari dana NGO. Inilah yang membuat sumber daya manusia dalam NGO sering kali tersandera oleh kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan ekonominya.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa pemanfaatan dana dari lembaga donor asing, bila tanpa persyaratan yang mengikat tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi, mengikat atau tidaknya sebuah bantuan tergantung pada kedua belah pihak yang biasanya sulit diakses oleh masyarakat. Barangkali dapat disimpulkan bahwa integritas sumber daya manusia dalam NGO lah yang mampu membatasi intervensi yang ingin dilakukan lembaga donor. Dengan kata lain, tatkala beberapa NGO beralasan bahwa dana yang mereka terima tidak bersifat mengikat, maka hanya merekalah yang tahu kebenarannya.

Sumber dana lain dari NGO juga berasal dari beberapa perusahaan-perusahaan yang bisa jadi berupa corporate responsibility dari perusahaan tersebut. Dengan memanfaatkan sumber dana dari perusahaan pada dasarnya tidak akan signifikan mempengaruhi independensi NGO tatkala NGO tersebut mampu bertahan pada garis-garis perjuangan organisasinya. Kekhawatiran dari banyak kalangan adalah tatkala NGO menjadi tidak profesional dan kehilangan taringnya manakala berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang telah memberikan sumbangan dana bagi mereka. Pada level yang paling parah, adalah tatkala NGO justru menjadi alat untuk memuluskan tujuan perusahaan yang notabene melanggar peraturan yang berlaku.

Selain, dari lembaga donor dan perusahaan, sumber dana lain juga didapatkan dari pemerintah. Demi memajukan NGO-NGO yang juga berkontribusi dalam pembangunan, sudah sepatutnya pemerintah juga menyediakan dana bagi mereka. Akan tetapi, sering kali niat baik ini tidak selamanya berlaku.

Dalam dunia NGO juga dikenal Go-NGO alias NGO-NGO yang sangat dekat dengan oknum pemerintah yang selalu siap digunakan demi kepentingan oknum pemerintah tersebut. Bila dikaitkan dengan dana yang bersumber dari pemerintah, maka akan ada relasi khusus antara pemerintah dengan NGO itu sendiri. Bagi NGO yang profesional, mereka akan menolak bila harus menggadaikan independensinya demi dana yang dihasilkan dari pemerintah.

Namun, tidak sedikit NGO yang niat awalnya hanya ingin menyerap dana dari pemerintah dengan mengatasnamakan pembangunan. Bahkan, ada di antara NGO yang kerap melakukan pemerasan terhadap pemerintah. Biasanya ini dapat terjadi karena pada dasarnya masih banyak pemerintahan yang korup sehingga cenderung tunduk pada NGO-NGO seperti ini.

Terkendala Masalah Sumber Daya Manusia

Bila tadi kita sudah kaji tentang NGO yang masih terikat dengan tiga sumber dananya yakni lembaga donor, perusahaan, dan pemerintah, kita juga perlu perhatikan isu SDM dalam NGO itu sendiri. Harus kita akui bahwa profesionalitas dari NGO sangat erat kaitannya dengan latar belakang SDM dalam NGO itu sendiri. SDM-nya merupakan penggerak utama NGO tersebut. Bila SDM-nya tidak profesional maka NGOpun tidak akan profesional dalam menjalankan kinerjanya.

Bila diperhatikan, SDM dari NGO kebanyakan berasal dari intelektual muda yang relatif kurang mapan secara ekonomi. Banyak dari antara mereka adalah lulusan perguruan tinggi dalam negeri yang memiliki keinginan belajar dan berkontribusi sebagai wujud idealismenya. Namun, banyak juga di antara mereka yang memang memanfaatkan NGO sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Keberadaan SDM yang seperti ini biasanya akan sangat mempengaruhi kinerja NGO. Betapa tidak, bila tiap kali ada pergantian SDM hanya karena ada yang keluar masuk NGO dengan begitu mudah, kecenderungannya kerja organisasipun akan sangat terganggu.

Bila diperhatikan lebih mendalam, pada dasarnya permasalahan ini akan tetap berhulu pada kemandirian ekonomi dan kesejahteraan SDM NGO. Bila NGO masih bergantung dengan sumber dananya, begitu juga dengan SDM-nya sering kali lebih parah, sehingga mereka cenderung tidak fokus pada perjuangan organisasi melainkan terganggu oleh kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan pribadinya.

Persoalan SDM tidak saja terletak pada kesejahteraan mereka yang berpengaruh pada kinerja dan kuantitas SDM yang menggerakkan NGO. Kualitas NGO juga kerap menjadi penghalang bagi majunya organisasi tersebut. NGO kerap kali sulit mendapatkan SDM yang berkualitas, karena ada kecenderungan mereka yang berkualitas justru enggan bergabung dalam NGO, dan lebih memilih bekerja pada instansi yang dapat menjanjikan kehidupan yang lebih layak. Hanya sedikit intelektual muda yang cerdas bersedia menahan pahit getir kehidupan demi menunaikan idealismenya. Biasanya mereka inilah yang menjadi tonggak-tongak utama dalam organisasi tersebut.

Berkaitan dengan mereka yang sengaja menjadikan NGO sebagai batu loncatan, sering kali mereka tidak fokus pada perjuangan organisasi, melainkan mencuri-curi kesempatan untuk mencari jaringan semata. Ada juga yang senang berkompromi dengan penguasa. Sehingga sering kali mereka tidak mewakili NGO melainkan telah mewakili kepentingannya sendiri. Orang-orang seperti inilah yang cenderung merusak citra organisasi. Kadang kala cita-cita seseorang untuk merengkuh kekuasaan juga sering dilakukan dengan memasuki NGO dan memanfaatkan posisinya untuk berpolitik praktis.

Mendorong Masyarakat Lebih Cerdas

Dengan kejadian pernyataan tidak berimbang dari FITRA ini sesungguhnya sedang memperdengarkan alarm bagi masyarakat. Sebagai masyarakat—di tengah-tengah maraknya sumber informasi publik—haruslah cerdas merespon informasi yang mencuat ke permukaan. Kita sedang diajarkan untuk selektif melihat informasi mana yang benar-benar bertanggung jawab atau tidak sama sekali. Bahkan sebagai masyarakat kita dituntut cerdas atau setidaknya lebih sering menguji validitas sebuah informasi. Mencermati validitas informasi juga dapat dengan memperhatikan track record dari sumber informasi.

Begitupun bila informasi tersebut berasal dari NGO, cobalah melirik latar belakang NGO tersebut. NGO yang dapat dipercaya adalah mereka yang selalu mengungkapkan data-data yang mencerdaskan dan murni tanpa ditunggangi kepentingan politik. Dengan begini kita tidak akan mudah termakan isu, sekaligus menutup peluang pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang kerap berusaha memperkeruh situasi di negeri tercinta.

*Penulis adalah Sarjana Ilmu Pemerintahan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun