Oleh: Gelar S. Ramdhani
Istilah marketing mungkin bukan istilah yang aneh lagi bagi anda, istilah yang menurut teori memiliki arti suatu proses penyusunan komunikasi terpadu yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai barang atau jasa dalam kaitannya dengan memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia (id.wikipedia.org). Marketing juga dikenal sebagai salah ujung tombak maju atau tidaknya sebuah perusahaan terutama perusahaan yang bergerak dalam produk dan jasa, karena laris atau tidaknya sebuah produk atau jasa yang disediakan atau diproduksi oleh perusahaan yang dimaksud salah satu kuncinya adalah marketing. Hampir setiap perusahaan produk ataupun jasa memiliki strategi marketing tertentu, dan tidak tertutup kemungkinan dikarenakan ketatnya persaingan black marketing pun mejadi solusi memajukan perusahaannya.
Dalam catatan ini saya akan ajak mengerucut ke bidang marketing dalam dunia Kedokteran dan dunia Kefarmasian. Saya yakin pembaca yang budiman semuanya pasti pernah membeli dan meminum obat, terlepas obat apa itu yang dibeli atau diminum. Anda tahu obat Paracetamol? salah satu obat analgesik (obat untuk menekan rasa nyeri), tidak hanya satu merek obat untuk menekan rasa nyeri yang beredar di pasaran dengan kandungan Paracetamol, kalau kita hitung mungkin lebih dari 10 (sepuluh) merk obat penekan rasa nyeri di pasaran yang memiliki kandungan atau komposisi Paracetamol. Terbayangkan betapa ketat persaingan marketing di dunia kefarmasian? itu baru bercerita tentang obat sederhana (obat warung) sejenis Paracetamol.
Jika anda bertanya, Apakah obat kelas “dewa” atau obat resep dokter juga memiliki persaingan yang sama? atau kandungannya sama tapi merknya berbeda? Oh tentu… kalau tidak percaya silahkan saja anda tanyakan kepada apoteker atau dokter.
Dalam menghadapi persaingan pasar seperti ini, memang sudah wajib hukumnyua sebuah perusahaan obat memiliki juru marketing berikut strategi-strategi yang kreatif (seperti yang saya katakan tadi, apapun caranya!). Satu cara yang bisa saya katakan kreatif untuk mendongkrak penjualan obat yakni sales marketing sebuah perusahaan obat bekerjasama dengan dokternya. Misal, ada seorang sales obat dari perusahaan “X” menawarkan kepada seorang dokter/dokter gigi. “Dok, jika dokter/dokter gigi dalam meresep obat menggunakan merek dari perusahaan kami maka dokter akan mendapatkan 1 poin dan jika dokter mendapatkan 100 poin maka ada bonus buat dokter yaitu jalan-jalan ke Singapur”
Menurut perspektif saya, strategi semacam ini memang sah-sah saja, bahkan sepengatahuan saya tidak menyalahi hukum (ya namanya juga kreatifitas dalam dunia marketing) dan saya rasa bukan hanya dalam bidang kedokteran atau kefarmasian saja, metode reward marketing semacam ini dalam bidnag lain juga pasti ada.
Akan tetapi yang saya takutkan adalah, adanya individu seorang dokter/dokter gigi yang terlalu profit oriented. dalam arti lain, ketika ia memberikan resep obat secara subyektif (karena ada faktor hadiah tadi), bukan karena obyektifitas. Misal, di pasaran (apotek) sebetulnya ada merek obat yang lebih bagus dan bahkan lebih murah, akan tetapi karena merek “X” sudah menjanjikan bonus jalan-jalan ke singapur maka yang dipilih bukan karena kualitas atau efisiensi melainkan karena hadiah yang dokter/dokter gigi tersebut terima.
Pada suatu kuliah salah satu dosen saya, drg. Fani Tuti Handayani. beliau menjelaskan, dalam dinamika praktik kedokteran ataupun kedokteran gigi fenomena seperti ini memang bukan fenomena yang aneh, dan ini bisa dikatakan wajar dalam dunia pemasaran, kita pun bebas bisa ikut program seperti itu ataupun tidak kembali kepada individu masing-masing. Hanya saja, ada beberapa hal yang harus kita pegang teguh. yaitu, “jangan sampai nilai luhur profesi dokter/dokter gigi kita gadaikan lantaran ada promo liburan dan sebagainya”. Ikutan promo boleh-boleh saja, asalkan dalam memberika resep obat yang menjadi acuan utamanya bukan karena bonusnya, melainkan karena nilai kualitas suatu obat dan juga nilai efisiensi harga suatu obat tersebut, utamakan pelayanan!
==============
Akan tetapi yang saya takutkan adalah, adanya individu seorang dokter/dokter gigi yang terlalu profit oriented. dalam arti lain, ketika ia memberikan resep obat secara subyektif (karena ada faktor hadiah tadi), bukan karena obyektifitas. Misal, di pasaran (apotek) sebetulnya ada merek obat yang lebih bagus dan bahkan lebih murah, akan tetapi karena merek “X” sudah menjanjikan bonus jalan-jalan ke singapur maka yang dipilih bukan karena kualitas atau efisiensi melainkan karena hadiah yang dokter/dokter gigi tersebut terima.
Pada suatu kuliah salah satu dosen saya, drg. Fani Tuti Handayani. beliau menjelaskan, dalam dinamika praktik kedokteran ataupun kedokteran gigi fenomena seperti ini memang bukan fenomena yang aneh, dan ini bisa dikatakan wajar dalam dunia pemasaran, kita pun bebas bisa ikut program seperti itu ataupun tidak kembali kepada individu masing-masing. Hanya saja, ada beberapa hal yang harus kita pegang teguh. yaitu, “jangan sampai nilai luhur profesi dokter/dokter gigi kita gadaikan lantaran ada promo liburan dan sebagainya”. Ikutan promo boleh-boleh saja, asalkan dalam memberika resep obat yang menjadi acuan utamanya bukan karena bonusnya, melainkan karena nilai kualitas suatu obat dan juga nilai efisiensi harga suatu obat tersebut, utamakan pelayanan!
-------------------------------------------
Apabila anda ingin bersilaturahmi dengan penulis, silahkan bisa melalui:
- Facebook:http://www.facebook.com/gelarsramdhani
- Twitter:http://www.twitter.com/gelarsramdhani
- Instagram:http://www.instagram.com/gelarsramdhani
- Klik disiniapabila anda ingin menyimak tulisan-tulisan Gelar S. Ramdhani di Kompasiana
-------------------------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H