Hari ini, 14 Mei 2014 seluruh siswa SMA dan sederajat berjibaku menaklukkan soal-soal UN. Kumpulan soal yang menentukan sejauh mana kaki melangkah. Sejatinya, sesulit apapun UN, menurut pengalamanku, selalu ada tangan-tangan ajaib memberi pertolongan.
Mari sejenak berdoa semoga pertolongan yang datang kepada junior-junior kita tidak lantas mengurangi legalitas kelulusan mereka. Mari juga kita refleksikan diri sejenak tentang kisah yang belum mampu kita pupuskan dari bumi Ibu Pertiwi ini.
***
Adalah almarhum ibuku yang terpaksa menghentikan langkah di sekolah dasar demi menggantikan peran nenekku almarhum menjaga para bibi dan pamanku. Sebuah keputusan yang wajib diikuti sebab melawan orangtua adalah durhaka. Selain itu, tuntutan hidup memaksa nenekku harus berdagang keliling kampung-kampung yang cukup jauh sehingga memangkas waktu untuk mengasuh anak-anaknya yang kecil. Maka, ibuku almarhumlah yang menyediakan waktunya untuk menggantikan peran nenekku. Sekolah? Ah, perempuan toh pada akhirnya hanya perlu patuh pada suami untuk meraih surga.
Pengalaman ibuku tentu saja sudah lama sekali. Pilunya putus sekolah demi menggantikan peran ibu terjadi pada dua dekade setelah kemerdekaan Indonesia diraih. Sebuah kenyataan yang banyak dimaklumi oleh semua penduduk negeri, sebab negeri masih muda. Sayangnya, saat aku sekolah dasar, kejadian serupa hampir menimpa kawan sebangkuku.
Meski seorang lelaki, kawan sebangkuku wajib menggantikan peran bundanya mengasuh anak-anak. Sang ibunda sendiri sering sekali terpaksa menggarap ladang dan sawah sebab sang suami tercinta harus merantau demi rupiah. Maka, kawan sebangkuku berulang kali harus bolos sekolah demi menjaga adiknya. Beruntung, rutinitas bolos tersebut tak lantas merenggutnya dari bangku sekolah. Kami masih bisa lulus bersama-sama dan sesekali bersua saat lebaran tiba.
Kejadian kawan sebangkuku menjelang peralihan abad-20. Tak lama setelahnya, reformasi bergelora di seantero negeri. Pastinya, harapan kami dan orangtua kami hampir sama. Tak perlu lagi ada yang senasib dengan ibuku dan kawanku.
***
Tahun 2014 ini banyak doa dan harapan tertumpah demi kemajuan negara. Para wakil rakyat kembali melakukan ritual pemilu demi meraih atau mempertahan kursi. Partai politik sibuk berorasi dan menebar jani, sambil sesekali jilat ludah sendiri.
Nun di Banyumas sana, adalah Lena yang ternyata harus seperti ibuku almarhum. Kejadian yang sama ini terpaut hampir setengah abad lamanya. Masalahnya sama, keharusan memenuhi kebutuhan keluarga sehingga sang bunda tiada waktu mengurus adik-adiknya. Lena mengikhlaskan diri menggantikan peran ibu mengasuh dan mengurus keperluan keluarga. Sejak pagi ia harus memandikan adik-adiknya, memasak untuk sekeluarga, mencuci dan sebagainya. Padahal, usianya baru 13 tahun!
Jika di Banyumas yang notabene dekat dengan pusat kekuasaan terjadi hal seperti ini, bagaimanakah nasib anak-anak negeri ini di pelosok sana? Semoga kita tidak terlalu lama lena dalam pesta bagi-bagi kuasa hingga akhirnya benar-benar bekerja untuk menghapuskan nasib buruk Lena.
Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H