Mohon tunggu...
Ni Gusti Ayu Ketut Kurniasari
Ni Gusti Ayu Ketut Kurniasari Mohon Tunggu... -

Lecture at Faculty of Commucation Science,Budi Luhur University.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Homofili Politik Politisi Hindu Sebagai Refleksi Pemimpin Bangsa di Masa Depan

13 Mei 2015   14:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:05 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai rangkaian aktivitas politik yang dilakukan oleh para politisi Hindu dalam proses kampanye politik yang dilakukannya lebih banyak menguatkan pada proses interaksi yang berangkat dari persamaan budaya dan agama. Aktivitas promosi politik sebagai rangkaian publikasi yang dilakukan oleh para politisi Hindu juga menguatkan indentitas budaya dan identitas agama yang dikemas dalam isu – isu politik yang dianggap relevan oleh para politisi Hindu tersebut.

Simbol-simbol budaya dan keagamaan sangat terlihat dari profil para politisi Hindu tersebut. Seperti kostum yang digunakan serta strategi – strategi politik yang dimiliki oleh para politisi Hindu tersebut cenderung membangun kesamaan latar belakang, budaya dan agama dalam setiap aktivitas – aktivitas politik yang dilakukannya. Kegiatan kampanye yang dilakukannya pun masih banyak mengutamakan persamaan yang dimiliki oleh setiap politisi Hindu tersebut. Sikap homofili politik yang dilakukan oleh para politisi Hindu tampaknya menjadi pilihan yang tepat pada era pluralisme ini.

Istilah homofili berasal dari Yunani yaitu homoios yang berarti sama.Jadi homofili berarti komunikasi dengan orang yang sama, yaitu derajat orang yang berkomunikasi memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Homofili dapat digambarkan sebagai suasana dan kondisi kepribadian dan kondisi fisik dua orang yang berinteraksi dengan lancar karena memiliki kebersamaan usia, bahasa, pengetahuan, kepentingan, organisasi partai, agama, suku bangsa, dan pakaian. Dan Nimmo (dalam Arifin, 2003, 54) mengemukakan beberapa prinsip homofili dalam komunikasi dari hasil riset yaitu;

1. Orang-orang yang mirip dan sesuai satu sama lain, lebih sering berkomunikasi daripada orang-orang yang tidak mempunyai persamaan sifat dan pandangan.

2. Komunikasi yang lebih efektif terjadi bila sumber dan penerima adalah homofilistik karena orang – orang yang mirip cenderung menemukan makna yang sama dan diakui bersama dalam pesan-pesan yang dipertukarkan oleh mereka.

3. Homofili dan komunikasi saling memelihara karena makin banyak komunikasi diantara mereka, makin cenderung dapat berbagi pandangan dan melanjutkan komunikasi.

Komunikasi politik dapat dikatakan sukses apabila setiap politisi tersebut sukses memproyeksi diri ke dalam sudut pandang orang lain. Ini erat kaitannya dengan citra diri sang komunikator politik untuk menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Komunikasi didasarkan oleh kesamaan (homofili) akan lebih efektif dan lancar ketimbang oleh ketidaksamaan (derajat, usia, ras, agama, ideologi, visi dan misi, simbol politik, doktrin politik, dsb).

Homofili dengan mudah dilihat pada para politikus atau kader partai di Indonesia, yaitu memiliki kostum yang seragam. Bahkan, sejumlah politikus yang memiliki agama yang sama, membentuk koalisi untuk memperjuangkan kepentingan politik bagi mereka. Persamaan budaya dan latar belakang daerah pun menjadi kesamaan yang cenderung di eksploitasi secara berlebihan oleh para politisi di Indonesia khususnya politisi Hindu.(Arifin, 2003;55)

Persamaan Identitas Budaya

Penguatan terhadap identitas budaya yang dilakukan oleh para Politisi Hindu dapat dilihat dari kostum yang mereka kenakan pada setiap aktivitas politiknya. Pakaian adat Bali cenderung mendominasi setiap aktivitas politiknya. Seperti penggunaan pakaian Safari Bali (Pakaian adat Bali untuk Laki-laki), serta Udeng ( ikat kepala yang dikenakan oleh laki-laki etnis Bali). Pakaian Adat Bali yang mereka kenakan dapat membangun tendensi bahwa etnisitas masih menjadi cara yang tepat untuk masuk ke komunitas maupun masyarakat-masyarakat yang memiliki kesamaan budaya, daerah, bahasa, dll. Selain itu juga, pada hasil observasi dilapangan, ditemukan bahwa, para politisi Hindu tersebut cenderung membangun identitas budaya yang sangat kuat dalam komunikasi verbal yang dilakukan seperti identitas “Tyang Nak Bali”, Krama Bali”, “Bali Lampung”, “Semeton Bali”, “Nyamo Bali”, dll.

Kecenderungan lainnya yang dilakukan oleh para politisi Hindu adalah meraih suara pada lumbung-lumbung masa yang memiliki kesamaan budaya yaitu sama- sama etnis Bali. Baik itu untuk calon legislative dari dapil Bali maupun dari Dapil di luar pulau Bali, dilihat dari aktivitas politik politisi hindu yang maju ke Senayan beberapa waktu yang lalu. Banyak aktivitas politik yang dipaparkan pada saat wawancara berlangsung bersifat spontan dan masih berkaitan dengan aktivitas budaya Bali seperti “ Ngayah”, “Mebanjar”, “Dharma Wacana”, dll. Aktivitas langsung yang dilakukan oleh para politisi Hindu tersebut hanya berfokus pada basis masa atau konstituen yang memiliki kesamaan secara etnisitas, bahasa, latar belakang yang sama dengan para politisi Hindu tersebut.

Persamaan Identitas Agama

Setelah persamaan Budaya, persamaan lainya yang lazim dikuatkan sebagai identitas personal yaitu persamaan Agama. Hindu menjadi identitas kuat para politisi untuk masuk ke konstituen yang beragama Hindu pula. Untuk para politisi yang berada pada dapil Bali, kesamaan Budaya dan Agama tentu saja akan menjadi hal yang sangat menguntungkan karena Budaya Bali dan Agama Hindu adalah mayoritas di Pulau Bali. Namun akan sangat berbeda jika para politiosi Hindu tersebut beda pada Dapil di luar pulau Bali, karena keistimewaan terhadap Budaya dan Agama akan memiliki dampak tertentu.

Ada beberapa kegiatan yang sangat sering dilakukan oleh para politisi Hindu dalam aktivitas kampanye politiknya yaitu “Dharma Wacana” sebuah kegiatan keagamaan Hindu yang dikemas dalam kegiatan politik. Yang menarik adalah, seusai kegiatan Dharma Wacana tersebut, para politisi cendurung mengemukakan niatnya untuk maju ke calon legislative dan memohon dukungannya kepada seluruh umat Hindu yang mendengarkannya.

Homofili Politik Politisi Hindu

Penguatan identitas Budaya dan Agama yang dilakukan oleh politisi Hindu guna meraih suara terbanyak pada basis massa yang beragama Hindu serta masyarakat etnis Bali, memperkuat sikap homofili politik yang telah dilakukan oleh politisi Hindu. Kesamaan Budaya dan Agama menjadi pondasi yang sangat penting dalam setiap aktivitas politik yang dilakukannya. Sehingga para politisi Hindu akan cenderung memperebutkan suara pada Basis Masa Hindu dan Bali yang notabene tidak banyak, karena sebagai minoritas tentu saja umat Hindu tidak mampu menyumbang suara yang sangat banyak pada pemilu Legislatif 2014.

Sudah selayaknya, para politisi Hindu tidak menguatkan homofili politik yang menjadi identitasnya selama ini, jika sudah berani berperan dalam kancah politik nasional. Karena sesuai dengan partai politik yang diusungnya, para politisi Hindu tersebut berangkat dari partai politik yang berbasis nasionalis sehingga akan lebih berkualitas jika para politisi Hindu tersebut membangaun konsep heterofili politik dalam setiap aktivitas politiknya.

Homofili politik yang dilakukan oleh para politisi Hindu tentu sangat tidak relevan lagi dalam kondisi masyarakat yang semakin plural saat ini. Serta homofili politik yang dilakukan oleh para politisi Hindu tentu sangat sulit diaplikasikan oleh para politisi Hindu yang memiliki daerah pemilihan (Dapil) di luar pulau Bali dimana kondisi masyarakatnya lebih pluralisme di bandingkan dengan Pulau Bali yang didominasi oleh etnis Bali dan beragama Hindu.

Heterofili politik tentu akan lebih mengutungkan untuk diaplikasikan dalam kemasan konsep politik yang tepat, yang dimiliki oleh para politisi Hindu. Dan hal tersebut juga akan lebih menguntungkan secara perolehan suara para politisi Hindu jika dikaitkan dengan partai politik yang diusungnya yaitu berbasis nasionalis, serta kondisi masyarakat yang sudah semakin plural sehingga perolehan simpati dan suara akan jauh lebih merata dan lebih besar. Heterofili juga mengajarkan para pemimpin Hindu untuk menjadi calon pemimpin bangsa yang memiliki konsep berfikir yang Global serta Plural sehingga tidak menjadi politisi yang memiliki kepribadian yang bersifat fanatisme terhadap budaya dan agama tertentu saja.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa:

1. Dominasi identitas Budaya dan Identitas Agama adalah wujud homofili politik yang dilakukan oleh para politisi Hindu saat ini. Sehingga akan memunculkan sebuah refleksi pemimpin bangsa di masa depan khususnya pemimpin umat Hindu yang cenderung membangun kesamaan-kesamaan dan proses interaksi politiknya.

2. Homofili politik politisi Hindu yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sudah sangat plural sehingga dibutuhkan para politisi-politisi yang memiliki konsep berfikir pluralisme. Sehingga dibutuhkan maping/strategi politik yang lebih mengusung sikap pluralisme dan lebih membangun nasionalisme dari keberagaman budaya, suku bangsa dan agama di tanah air Indonesia.

3. Refleksi kepemimpinan Hindu di masa mendatang adalah Pemimpin Hindu yang pluralisme dengan membangun faham Heterofili yang berlandaskan keberagaman majemuk sehingga akan lahir pemimpin-peminpin bangsa di masa mendatang yang mampu mengemas dan memahami seluruh perbedaan yang ada di Indonesia.

Sudah saatnya Indonesia dipimpin oleh pemimpin bangsa yang memiliki sifat dan kharakteristik pluralisme yang tinggi. Yang disesuaikan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika yang selama ini digaungkan oleh Bangsa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun