Mohon tunggu...
Ni Gusti Ayu Ketut Kurniasari
Ni Gusti Ayu Ketut Kurniasari Mohon Tunggu... -

Lecture at Faculty of Commucation Science,Budi Luhur University.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

RELATIVITAS NILAI SEBUAH PEMBENARAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN HINDU BALI

8 Mei 2015   16:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak orang berfikir, pada saat kita memiliki suatu identitas pribadi adalah suatu kebanggaan, termasuk identitas budaya ( cultur ) yang sudah melekat dan menjadi identitas permanen sejak kita lahir. Namun pada dasarnya banyak yang tidak mengerti bahkan menjelaskan mengenai segala identitas yang melekat tersebut. Hal menarik pada saat diberikan kesempatan untuk mengikuti acara melaspas pure yang umumnya dilakukan oleh para umat Hindu dari etnik Bali. Banyak sekali sarana pendukung yang harus disiapkan untuk menunjang acara melaspas pure tersebut. Untuk umat Hindu yang berasal dari etnik Bali mungkin hal tersebut adalah suatu hal yang lazim dilakukan, namun pertanyaan besar yang muncul adalah makna yang harus dipahami oleh umat Hindu dari etnik Bali mengenai acara tersebut.

Berawal dari penantian yang panjang mengenai kehadiran seorang Pedanda dalam upacara tersebut, yang berujung pada kehadiran dari Pedanda tersebut dimana entah kebetulan atau menjadi suatu lisensi mengenai keabsahan dari acara tersebut. Begitu agungnya pada saat beberapa orang – orang yang dituakan dalam upacara tersebut melakukan ritual penyambutan untuk seorang Pedanda tersebut. Yang menarik adalah memperlakukan seorang Pedanda dalam penglihatan sederhana untuk orang yang awam hampir mirip dengan memperlakukan seorang Raja dalam sebuah kerajaannya. Dengan posisi duduk yang jauh sekali lebih tinggi dari umat yang lainnya, dengan sarana dan prasarana yang serba baru ( sukla ). Bahkan bukan hanya posisi duduk yang mampu membatasi antara umat biasa dan sang pemimpin upacara, namun komunikasi yang terjalin pun hanya dilakukan oleh para orang – orang yang dituakan dalam upacara tersebut.

Pada saat segala sarana dan prasarana pendukung sang Pedanda sudah siap maka upacara pun siap dilaksanakan. Segala ritual dalam setiap tahapan yang harus dilalui semuanya harus menunggu petunjuk sang Pedanda. Seperti kebudayaan yang terpusat ( Cultur Center ) dimana segala ritual harus menunggu petunjuk dari sang Pedanda, sehingga nilai pembenaran pun akan menjadi sangat relative karena akan menjadi sangat berbeda jika kita dihadapkan oleh seorang Pedanda yang berbeda walaupun dalam sebuah acara keagamaan yang sama.

Hal menarik lagi pada saat pelaksaan ritual yang didominasi oleh kaum perempuan, walaupun diketahuai ada pembagian tugas dan wewenang yang jelas dalam sebuah ritual keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu etnik Bali, namun entah mengapa selama prosesi tersebut tugas dan wewenang justru didominasi oleh kaum perempuan. Dalam pelaksanaan perintah maupun instruksi dari sang Pedanda, para kaum perempuan tersebut justru sibuk bernegosiasi untuk mencari pembenaran maupun kelaziman yang harus dilakukan. Sehingga terkesan bahwa ritual keagamaan tersebut berangkan dari sebuah ritual kebiasaan yang lazim dilakukan bukan berangkat dari sebuah pemahaman sehingga menjadi sebuah ritual yang benar – benar mereka pahami dan mampu mereka jelaskan.

Pada saat ritual acara berlangsung, sempat ada pertanyaan yang terdengar, mengertikah para kaum perempuan tersebut terhadap apa dilakukan ataupun terhadap instruksi dari sang pedanda? Dengan kesederhanaannya mereka menjawab dalam bahasa daerah Bali “ Nak Mulo Keto “ ( Yah, memang sudah begitu ), suatu jawaban yang sangat fantastis. Sebuah ritual agama yang dilakukan hanya berdasarkan sebuah kebiasaan tanpa ada makna yang harus dipahami. Dalam acara tersebut pun,ada banyak sekali umat yang terlibat, minimal mereka datang untuk melakukan Trisandya, sebagai puncak dari acara tersebut tanpa ada rasa keingin tahuan sedikitpun mengenai serangkaian acara tersebut. Pantaskah jika kita mulai berfikir mengenai fase pembodohan atau lebih ekstrim lagi kita menyatakan sebagai era penjajahan yang telah di lakukan oleh sang Pedanda. Mengapa demikian? Bahwa salah satu kewajiban seorang pemimpin agama adalah bukan hanya untuk memimpin sebuah ritual keagamaan namun juga dituntut harus mampu menginterpretasikan segala ritual keagamaan yang telah dilakukannya, sehingga ilmu agama pun akan terus berkembang dalam setiap umatnya. Bukan hanya itu, interpretasi yang dilakukan oleh sang pemimpin agama dalam hal ini adalah sang Pedanda, diharapkan mampu menjalin komunikasi yang baik antara sang pemimpin upacara keagamaan dengan para umat yang terlibat, karena kita semua percaya bahwa dimata TUHAN kita semua SAMA, tanpa ada pembedaan sedikit pun...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun