Kesuksesan Mads Lange tersebut bukan tanpa saingan. Di periode yang sama muncul juga seorang saudagar Inggris, George Peacock King alias GP King. Seperti halnya Mads Lange ia juga merupakan pengumpul hasil bumi dan memasok ragam kebutuhan dari mancanegara.
Bedanya, GP King memilih para Pangeran dari Puri Mataram sebagai patron. Karena itu ia membangun pusat usaha di Pelabuhan Ampenan. Geliat perekonomian di pesisir barat Lombok semakin hidup. 1836 tercatat ada 18 kapal asing milik pengusaha Inggris dan Prancis rutin bongkar muat  di Tanjung Karang dan Ampenan.
Namun demikian kondisi ini tak berlangsung lama. Intrik perebutan kuasa akhirnya pecah menjadi perang saudara terbuka tahun 1837-1838. Puri Mataram bersiap melawan saudara tuanya di Tanjung Karang.
Tak pelak, konflik ini menarik Mads Lange dan GP King dalam kubu berseberangan. King di pihak Mataram mengerahkan ratusan personel dan kapal dagangnya untuk keperluan perang. Mereka mengangkut senjata Mataram yang dibeli dari Singapura serta bala bantuan prajurit dari Karangasem Bali.
Sementara Mads Lange dengan persenjataan dan pengalaman militernya membantu Raja Tua dari Purinya di Tanjung Karang. Hasilnya seperti tertulis sejarah kubu Tanjung Karang yang dibela Mads Lange kalah.
Kekalahan ini membuat Lange menjadi buronan Mataram. Ludvig V Helms dalam Pioneering in The Far East (1882) mengulas bagaimana detik-detik Mads Lange menyelamatkan diri dari Tanjung Karang.
Dalam detik-detik menegangkan itu Lange nyaris terbunuh. Beruntung ia terselamatkan oleh kuda tunggangannya. Konon dalam kepungan itu ia sempat menembak kepala seorang prajurit yang menghalangi dirinya menuju pantai. Ia berhasil kabur dan berenang menuju kapal yang siap membawanya ke Bali.
Dalam pelariannya Mads Lange mendapat perlindungan dari sahabat lamanya John Burd di Kuta, Bali. Di sana ia memulai kembali usahanya sebagai agen perdagangan bagi I Gusti Gede Ngurah Kesiman (Raja Kesiman) salah satu bangsawan paling berpengaruh di Kerajaan Badung.
Di Kuta, nasib baik menaungi Mads Lange. Ia mampu membangun imperium bisnisnya jauh lebih besar dan kuat dibanding apa yang telah hilang di Tanjung Karang.
Ludvig Helms, menggambarkan sebagai simbol keberhasilannya Mads Lange membangun rumah mewah bercat putih ala Eropa. Lengkap dengan segala perabot terbaik di zamannya, mulai dari meja biliar, bar pribadi hingga pemutar musik. Ini belum termasuk pabrik dan komplek pergudangan sebagai basis usaha.
Dalam naungan Puri Kesiman, ia menjadi pengusaha utama di Bali Selatan. Tak hanya soal perdagangan pihak kerajaan juga kerap mempercayai Mads Lange dalam urusan-urusan diplomatik dengan bangsa-bangsa Eropa. Karena itulah para pendatang Eropa menjulukinya sebagai King of Bali (Raja Bali).