Mohon tunggu...
Sagita Hokky Lusiana
Sagita Hokky Lusiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

INFJ / PMM 3 Awardee at Andalas University / Digital Marketing Enthusiast / Communication Science Student at State University of Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjuangan Cinta di Era Patriarki: Antara Tradisi dan Kebebasan

7 April 2024   13:26 Diperbarui: 7 April 2024   14:14 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya patriarki di Indonesia telah mengakar dalam masyarakat selama bertahun-tahun, menjadi bagian integral dari norma dan nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Selama masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia, terdapat larangan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, kecuali jika mereka berasal dari keluarga bangsawan atau priyayi. Bagi mereka, tingkat pendidikan tertinggi yang dapat diakses hanya sebatas sekolah dasar. Pada masa itu, perempuan menghadapi penindasan yang signifikan, di mana banyak di antara mereka diperlakukan sebagai gundik. Peran gundik tidak hanya terbatas pada pekerjaan rumah tangga di kediaman tuannya yang merupakan orang Eropa, tetapi juga mencakup memenuhi kebutuhan seksual tuannya. Hingga saat ini, masih banyak perempuan mengalami penindasan yang serius, di mana sebagian besar dari mereka dipaksa menjadi gundik. Peran gundik tidak hanya melibatkan tugas-tugas rumah tangga di rumah tuannya yang merupakan orang Eropa, tetapi juga termasuk dalam memenuhi kebutuhan seksual tuannya.

Patriarki merupakan sistem sosial yang merugikan antara peran perempuan dan laki-laki. Sistem patriarki yang sangat mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan terjadinya ketidakadilan dan kesenjangan gender yang meluas pada berbagai aspek kehidupan manusia. Laki-laki dominan dalam mengendalikan kehidupan masyarakat, sementara perempuan memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki pengaruh di banyak aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, termasuk dalam institusi pernikahan. Ketidaksetaraan dalam peran antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu rintangan struktural yang menyebabkan anggota masyarakat tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Patriarki atau "Patriarkat" merujuk pada sistem sosial di mana kekuasaan, kepemimpinan, dan kendali dalam keluarga atau masyarakat diberikan kepada kaum laki-laki tertua atau bapak. Dalam patriarki, hukum keturunan mengikuti garis bapak, sehingga nama, harta, dan kekuasaan kepala keluarga secara turun-temurun diwariskan kepada anak laki-laki. Di zaman ini, istilah tersebut umumnya merujuk pada "patriarki", yaitu dinamika kekuasaan yang melibatkan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan interpersonal, ekonomi, dan sosial, yang tercermin dalam beragam cara.

Dominasi laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan, baik di lingkungan sekitar atau bahkan lingkungan keluarga seringkali dimulai sejak usia dini. Di sini, ajaran sederhana namun kuat ditanamkan pada anak-anak, dengan tujuan agar mereka memahami peran dan kodrat mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Namun, pada kenyataannya, pendidikan semacam itu cenderung memperkuat norma budaya patriarkis yang merugikan kedua jenis kelamin. Melalui pendidikan tersebut, selalu terlihat adanya asumsi ang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga tanpa alasan yang jelas, sementara perempuan tidak mendapat posisi yang sama. Perempuan selalu diajarkan untuk memahami tanggung jawab dan kodratnya dalam pekerjaan rumah tangga, mengurus keluarga, sementara laki-laki bekerja di luar rumah. Tidak ada pendidikan formal dari tingkat dasar hingga menengah yang mengajarkan anak laki-laki untuk berperan aktif dalam tugas domestik dan mengurus anak. Sebaliknya, perempuan sering diajarkan bahwa tanggung jawab utama mereka adalah mengurus suami, anak, dan rumah tangga.

Budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat sering kali menjadi pendorong utama ketidakadilan gender, di antaranya Pertama, Marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi. Kedua, subordinasi, yaitu keyakinan bahwa satu jenis kelamin dianggap lebih dominan dan superior daripada jenis kelamin lainnya. Ketiga, stereotipe, yaitu gambaran umum yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris tentang individu atau kelompok tertentu, yang dapat menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Contohnya, perempuan menandai bahwa Sebagian besar menjadi 'ibu rumah tangga' yang hanya terlibat dalam pekerjaan domestik dapat merugikan perempuan yang berminat untuk terlibat dalam aktivitas yang biasanya dianggap sebagai 'aktivitas laki-laki', seperti berpolitik atau berbisnis. Keempat, kekerasan, yaitu jenis serangan yang melibatkan tindakan fisik atau psikologis terhadap seseorang. Jenis kekerasan ini termasuk dalam bentuk pemukulan sebagai Tindakan fisik yang kasar seperti pemerkosaan, serta tindakan yang lebih halus seperti pelecehan seksual dan menciptakan ketergantungan terhadap seseorang. Stereotipe ini menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Seringkali, tindakan pemerkosaan tidak dipicu oleh penilaian atas kecantikan, melainkan oleh dominasi gender terhadap perempuan. Kelima, beban ganda, yaitu tanggung jawab yang berlebihan yang harus dipikul oleh perempuan. Studi telah menemukan bahwa hamper semua dari tugas rumah tangga dijalankan oleh perempuan. Hal ini, menandakan bahwa bahkan perempuan yang bekerja masih harus menangani pekerjaan rumah tangga.

Pada tradisi sistem patriarki sangat berdapak pada kaum perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki diangap sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama dalam keluarga dan masyarakat dan perempuan diposisikan sebagai subordinat dan diharapkan untuk patuh pada laki-laki hal ini memicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, angka pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian. Jika dilihat dari sudut pandang masalah, dampak dari sistem patriarki di Indonesia masuk ke dalam system blame approach, yaitu merujuk pada masalah yang timbul karena ketidaksesuaian sistem dengan harapan atau keinginan yang ada. Salah satu contoh masalah sosial akibat budaya patriarki adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pada tahun 2016, kasus kekerasan terhadap perempuan ini meningkat sebanyak 245.548, yang terdiri dari 358 kasus yang diadili di Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra penyedia layanan. Data ini tersebar di seuluruh provinsi di Indonesia.

Kekerasan dalam rumah tangga seringkali terkait dengan keberlanjutan budaya patriarki yang masih kuat dan berpengaruh dalam pola pikir masyarakat, menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kasus-kasus tersebut. Dalam hubungannya dengan laki-laki, pandangan sosial mengenai perbedaan biologis antara kedua jenis kelamin ini memperkuat mitos, stereotip, aturan, dan praktik yang merendahkan perempuan serta mempermudah terjadinya kekerasan terhadap mereka. Tidak semua kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terungkap, karena banyak korban yang tidak berani melaporkan ke pihak berwajib. Alasan lain adalah karena sebagian besar korban adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan. Jika mereka melaporkan suami mereka, mereka khawatir kehilangan satu-satunya pencari nafkah untuk keluarga. Budaya patriarki di Indonesia yang masih kental sangat merugikan posisi perempuan yang menjadi korban kekerasan. Perempuan selalu yang mengalami kekerasan dianggap atau bahkan ikut disalahkan atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku laki-laki. Sebagai contoh, ketika seorang istri menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh suaminya, ia seringkali disalahkan dengan anggapan bahwa perilaku buruk suaminya itu disebabkan oleh kesalahan atau perlakuan buruk dari pihak istri. Stigma ini membuat korban merasa seolah-olah menjadi pelaku kejahatan itu sendiri dan mempengaruhi bagaimana mereka diperlakukan atau dilayani dalam situasi tersebut.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya patriarki akan terus ada jika tidak ada yang berusaha mengubahnya. Sejak dahulu, budaya patriaki sudah ada dan dilakukan sejak kecil. Sistem patriarki tidak merugikan perempuan saja, tetapi menciptakan kerugian bagi seluruh masyarakat. Keterbatasan perempuan dalam berkontribusi di berbagai bidang menghambat pertumbuhan dan kemajuan masyarakat secara keseluruhan. Keterbatasan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat adalah hasil dari pembentukan sosial yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri, sehingga kekerasan juga merupakan bagian dari struktur yang dibangun oleh masyarakat tersebut. Salah satu contohnya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang juga merupakan konsekuensi langsung dari budaya patriarki yang masih diinternalisasi oleh banyak individu di masyarakat. Maka dari itu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengakui dan menantang sistem patriarki yang ada, serta untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan. Mengubah budaya dan norma untuk menghargai kepentingan dan martabat perempuan merupakan langkah kunci dalam membentuk masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang.

Referensi:

Alimi, R., & Nurwati, N. (2021). Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM), 2(1), 20-27.

De Jesus, J. O. S. E. (2022). Budaya Patriarki Indonesia dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan (Doctoral dissertation, Universitas Terbuka).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun