Mohon tunggu...
Gede Wisma
Gede Wisma Mohon Tunggu... Lainnya - Meragukan kepastian.

Sebelah utara Denpasar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kritisisme, Logika, dan Keadaan Demokrasi Indonesia

18 Mei 2020   09:25 Diperbarui: 18 Mei 2020   11:49 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam budaya demokrasi yang baik, menjadi penguasa artinya mengambil konsekuensi untuk siap dibenci, karena dalam setiap inci kebijakan diambil, prinsip falibilisme harus terus diterapkan demi memproduksi kebijakan yang bermutu. Kebijakan yang terus menerus diuji akan bermuara pada keadilan. Sebaliknya, kebijakan yang absolut dan antikritik hanya akan diam, sesuai terminologi kata itu sendiri. Dengan kata lain, pemerintah seharusnya menuntut kritik untuk membantunya  menghasilkan kesejahteraan.

Kritis dalam kultur ketimuran selalu dianggap bentuk nyinyirisme, suatu cara pandang yang menganggap sesuatu dilakukan hanya untuk menjatuhkan. Segala jenis fanatisme, cara berpikir yang pragmatis dan fatalistik dan kesopan santunan semu adalah akarnya. "Apa solusinya?", "Sana jadi presiden", "Ga bakal ngerubah apapun", adalah jawaban tanpa bisa memperdebatkan substansi atas apa yang menjadi dasar kritik.

Dengan Logika sederhana kita juga bisa merumuskan kenapa filter kritis penting dalam membaca suatu kebijakan. Sebagai bahan uji pikiran, bayangkan ada kritik bahwa pemerintah menyalahgunakan dana yang ditujukan untuk orang miskin. Apabila kritik itu salah, dan bantuan ternyata sudah disalurkan pemerintah dengan tepat sasaran, maka tidak akan terjadi apa-apa, selain rasa malu sang pengkritik. Yang berbahaya adalah jika sesuatu yang terbalik terjadi. Apabila suatu kebijakan dianggap benar karena fanatisme politik dan dicegah untuk dikritik, maka kita tinggal hitung beberapa pertambahan orang yang mati karena kelaparan, atau berapa anak yang akan lahir malnutrisi akibat ibu tidak bisa membelikan susu ketika masa kehamilan.

Mari kita bahas kebijakan lain dalam kaidah-kaidah logika sederhana. Yang sedang hangat akhir-akhir ini tentu kenaikan BPJS lewat Perpres No. 64 tahun 2020, yang mirisnya upaya terdahulu sudah dibatalkan melalui judicial review di MA. "Ya kan itu karena banyak yang nunggak" adalah argumen yang paling sering dijadikan tameng rusak. Pangkal pikirnya adalah memperoleh kesehatan yang layak adalah hak warga negara, dimana alokasi APBN seharusnya difokuskan untuk kesehatan masyarakat, dan bukan untuk kekokohan beton-beton.

Atau, minyak dunia yang sempat turun ke zona negatif menjadi USD -14,08 per barel. Dengan kata lain minyak dunia bahkan dibayarkan untuk dibeli. Harga BBM di dalam negeri yang tidak kunjung turun hampir tidak menuai protes, dalam kondisi seperti ini tentu ada dua kemungkinan yaitu sikap "bodo amat" atau ketidakpekaan terhadap situasi global. Tentu pemerintah mempunyai argumen yang kuat dengan segala legalitas yang ada, tetapi pertanyaan tersebut pasti akan muncul; dengan prinsip manusia adalah makhluk rasional atau zoon politicon. Tentu akan sangat ironi jika diskon bbm 50% ke ojol yang sempat booming dan dicitrakan sebagai bentuk kepedulian pemerintah, ternyata dilakukan di tengah harga minyak dunia yang jauh lebih murah dari sebotol air mineral.  

Di dalam negara yang indeks demokrasi menurun, kesenjangan tinggi, indikator-indikator makro ekonomi negatif ditambah wabah pandemi yang mengarah pada resesi global, segala jenis presepsi akan ototomatis terarah pada suatu pesimisme. Pesimisme tidaklah buruk. Justru pesimisme adalah konsekuensi logis akibat kapal akan tenggelam sekaligus salah arah akibat nahkoda yang tidak mengerti melaut. Optimisme juga adalah baik, bila ditempatkan di dalam kondisi yang juga tepat. Namun yang terjadi sekarang adalah false optimism, yang diujungnya adalah false hope. "False hope is worse than desapair" ujar Jonathan Kozol.

Kapal tenggelam tentu bukan keinginan awak kapal, apalagi nahkoda karena ia bertanggung jawab akan kondisi kapal sepenuhnya. Sayangnya, alat-alat pendeteksi kerusakan pada badan kapal sering memberikan informasi yang salah pada nahkoda. Dalam kegentingan ini, kebocoran kapal justru terlihat oleh penumpang. Kritik beraksi layaknya penumpang yang memberitahu nahkoda bahwa ada ketidakberesan di kapal dikarenakan sisitemnya rusak, dan tentu bukan tugas penumpang memperbaiki kapal, karena di dalam tiket yang penumpang bayarkan dijaminkan kenyamanan dan keselamatan dirinya sampai tujuan.

Kritisisme mengalir di dalam pembuluh darah demokrasi. Adanya kritik menandakan seseorang merasakan adanya injustice dalam suatu kebijakan. Itu yang harusnya yang pertama kali dilihat oleh si nahkoda, yaitu kepanikan penumpang kapal. Dalam perspektif psikologi, orang yang keliwat panik biasanya sering mengumpat akan keadaan yang dialaminya, dan umpatan itu tentu tidak kita analisis secara harafiah apalagi sampai berakhir menjadi delik. Umpatan tersebut harus dilihat sebagai konsekuen atas suatu keadaan: yaitu adanya injustice. Dalam situasi seperti ini, seharusnya abk fokus menyumpal kebocoran pada kapal, bukan malah sibuk menyumpal mulut si pengumpat. Demokrasi tidak akan pernah tumbuh dengan mulut yang tersumpal.

Gede Wisma Krisna Ari Aditya Blangsinga, Penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun