Mohon tunggu...
GEDE SUARNAYA
GEDE SUARNAYA Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Peminat Masalah Reformasi Birokrasi, Keuangan Negara, Administrasi & Kebijakan Publik, serta Manajemen Strategi.\r\nSemoga bisa memberikan i\r\nnspirasi dan manfaat bagi kita semua.\r\nBlog Pribadi: www.gedesuarnaya.com.\r\nTwitter@gedesuarnaya\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Refleksi Akhir Tahun:#SaveDJP,#SaveKPK,#SavePOLRI,#SaveKejaksaan dan #Save...

31 Desember 2012   10:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:44 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Seorang pegawai pajak tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima suap...”, itulah kira-kira potongan berita yang sangat berpotensi menghebohkan kantor pajak diseluruh negeri ini.

Makan tak enak, tidur pun tak enak. Apalagi jika akan ditugaskan memberikan pelayanan ke lapangan. Sayup-sayup suara “Gayus” nampaknya sudah mulai terngiang-ngiang di telinga. Wajar saja, karena “Gayus” masih menjadi bahan lelucon favorit masyarakat kalau berurusan dengan pajak.

“Gayus datang lagi!,” kata seorang penjaga kios di sebuah mall. Ucapan selamat datang seperti itu sering penulis hadapi saat bertugas menjadi petugas Sensus Pajak Nasional. Memang, tak semua Wajib Pajak bersikap apatis. Masih banyak yang berprasangka positif. Diterima dengan baik, saling menghormati satu sama lain. Dengan prasangka-prasangka positif itulah telah memberikan energi untuk tetap memberikan pelayanan terbaik.

Apa yang penulis dan mungkin rekan-rekan di DJP hadapi, mengerucut pada keadaan untuk melawan beban psikologis. Beban mental yang kian hari makin berat. Kita sepakat, apapun profesi kita bahwa kejernihan pikiran menentukan keberhasilan tindakan kita selanjutnya. Maka, jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, apa yang menjadi fokus DJP akan sulit terwujud. Bisa-bisa hanya buang-buang energi secara percuma saja.

Studi Popcorn

Mungkin, Anda pernah mendengar Studi Popcorn yang diprakarsai oleh Brian Wansink, dalam bukunya Mindless Eating. Ini paling tidak bisa menggambarkan generalisasi yang keliru terhadap studi tentang perilaku makan yang tak rasional.Dalam studi tersebut, para pengunjung bioskop di pinggiran Chicago diberikan sebotol minuman ringan dan sekotak popcorn secara gratis. Sebagian penonton diberi popcorn dengan wadah ukuran sedang. Sisanya diberi popcorn dengan wadah yang besar. Hasilnya mengejutkan. Pengunjung bioskop yang makan popcorn lebih banyak, ketika diberi wadah lebih besar.

Sampai di situ, kita akan sangat mudah membuat kesimpulan-kesimpulan tentang orang lain. Orang yang diberi wadah besar adalah orang yang rakus. Padahal kesimpulan penting yang dapat dipetik dari penelitian tersebut adalah bahwa ketika Anda memberikan wadah besar kepada orang-orang itu, mereka menjadi penggemar popcorn yang rakus. Jadi, orang yang tidak rakuspun jika diberi makanan dengan wadah besar akan menjelma menjadi seorang tukang makan yang rakus.

Inilah apa yang disebut Psikolog Stanford Lee Ross sebagai Fundamental Attribution Error. Kecendrungan untuk selalu menghubungkan perilaku orang dengan sifat dasar mereka alih-alih dengan situasi yang sedang mereka hadapi.

Dalam konteks kasus korupsi atau suap-menyuap yang terjadi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak, masyarakat akan sangat mudah membuat kesimpulan bahwa seluruh pegawai DJP adalah pegawai tidak jujur dan koruptor semua.

Masih segar dalam ingatan saya. Pegawai pajak selalu menjadi bulan-bulanan media, ketika ada kasus korupsi yang melibatkan oknum pegawai pajak. Tidak bisa di pungkiri lagi teori popcorn terbukti disana. Virus generalisasi semacam ini sangat mempengaruhi kondisi psikologi saya dan rekan-rekan di DJP. Alih-alih stres karena beban kerja yang berat, pegawai pajak malah terbebani oleh beban Psikilogis. Di cap koruptor oleh sanak famili, teman, bahkan tetangga. Padahal realitanya tidak semua pegawai pajak korup dan tidak jujur.

Virus generalisasi ini berujung pada berbagai gerakan-gerakan spontanitas di berbagai social media, seperti Twitter atau Facebook. Ada yang mendukung, ada juga yang menolak. Yang mendukung misalnya, gerakan di twitter “Save KPK”. Puluhan ribu follower menyatakan sikap untuk mendukung KPK dalam mengungkap kasus simulator SIM di tubuh POLRI. Tak tanggung-tanggung ratusan massa berkumpul di gedung KPK menjadi pagar betis ketika puluhan anggota POLRI ingin menanggkap Penyidik KPK Novel Baswedan. Maka, bukan main kehebohan di gedung KPK waktu itu. Saya sendiri pun bisa menyaksikan di TV karena disiarkan langsung oleh berbagai media televisi.

Yang menolak, misalnya, gerakan di Facebook “Boikot Bayar Pajak”. Gerakan ini sempat menghebohkan DJP. Gerakan yang muncul sebagai respon kekecewaan terhadap adanya kasus Gayus di tubuh DJP. Bad news travel fast, gerakan tersebut capat tersebar dan memiliki banyak pengikut. Gerakan ini pula berpotensi meresahkan masyarakat dan keutuhan NKRI. Coba Anda bayangkan, seperti apa negara ini tanpa Pajak?

#Rp1.000TForIndonesia

Kita harus belajar melihat sesuatu dengan realistis. RAPBN Tahun 2013 sebesar Rp1.507,7 T sebagian besar akan di topang oleh sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari kemampuan bangsa Indonesia sendiri. Pajak, dalam lima tahun terakhir telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara meningkat dari 60% menjadi hampir 70%, sisanya berasal dari penerimaan Kepabeanan dan Cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta dari Hibah.

Tahun depan Direktorat Jenderal Pajak harus berjibaku untuk mengumpulkan target pendapatan negara sebesar Rp1.031,7 T. Pendapatan negara yang sudah terkumpul harus digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat, membangun infrastruktur, serta mewujudkan suasana aman tenteram dan kepastian hukum bagi kehidupan rakyat. Termasuk untuk membayar seluruh gaji Pegawai Negeri Sipil, Presiden, anggota DPR, anggota POLRI, anggota TNI, pegawai KPK, pegawai Kejaksaan serta seluruh aparatur negara di negeri ini. Singkatnya, mereka dibayar denganuang rakyat melalui Pajak yang dipungut oleh negara berdasarkan Undang-Undang.

Sekarang pertanyaanya, siapa yang layak untuk diselamatkan?

Kita sering terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kita terperangkap jebakan dalam kondisi-kondisi yang terjadi saat ini di tubuh POLRI dan KPK. Sehingga muncullah analogi Cicak vs Buaya. Tertindas vs Penindas. Kemudian muncul gerakan SaveKPK, SaweranKPK, dan lain sebagainya. Maka yang terjadi hanyalah perang-perangan. Siapa mendukung siapa. Perang-perangan yang hanya menguras energi rakyat.

Akhirnya, kita sering terjebak antara harus membela institusi A atau insitusi B. Ditengah kondisi bangsa yang seperti ini, sekali lagi, kita harus realistis. Semua institusi di negeri ini entah itu KPK, Pajak, POLRI, Kejaksaan, DPR, merupakan institusi-institusi vital. Negeri ini pula tidak bisa hidup tanpa pajak. Tentunya, korupsi akan semakin menggurita tanpa KPK. Begitu pula jika tanpa Polisi dan Kejaksaan. Lebih baik hidup diluar negeri kalau di negeri sendiri saja tak ada rasa aman dan kepastian hukum. Ujung-ujungnya, bangsa ini lambat laun menghancurkan dirinya sendiri.

Dalam konteks Perpajakan, DJP dalam mengumpulkan penerimaan Negara tak bisa bekerja sendiri. Tak bisa hanya dibebankan di pundak DJP seorang. Semua elemen bangsa harus mendukungnya. Peran POLRI dan Kejaksaan dalam mengejar para penunggak Pajak sangatlah penting. Begitu pula peranan besar KPK dalam melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi atas penggunaan uang Pajak dalam APBN.Maka, yang dibutuhkan sekarang adalah Sinergi. Sinergi untuk bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pancasila.

“Menyelamatkan” jangan hanya dalam bentuk ramai-ramai memberikan dukungan pernyataan sikap. Bukan pula ramai-ramai menduduki gedungnya. Mari kita bersama-sama beriktiar untuk menyelamatkan semua institusi publik di negeri ini. Mendukung dan mengapresiasi mereka yang telah menjalankan tugasnya dengan baik dengan tindakan nyata. Mengapresiasi pegawai-pegawai jujur yang sampai detik ini masih dari Sabang Sampai Merauke “tiarap” bertugas untuk bangsa dan Negara. Hanya saja kita tidak tahu karena tidak pernah dipublikasi. Yang kita tahu hanya pegawai korup, dengan rekening gendutnya. Dan sekarang, berhentilah membuat generalisasi-generalisasi. Mari menebar optimisme.

Di penghujung tahun 2012 ini, mari kita dukung DJP untuk mencapai target Penerimaan Negara Rp1.000Triliun untuk Indonesia. Mari dukung KPK untuk memberantas koruptor di negeri ini. Kita dukung POLRI dan Kejaksaan RI untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi setiap warga Negara di republik ini.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun