Mohon tunggu...
Gede Sandra
Gede Sandra Mohon Tunggu... -

ekonom muda

Selanjutnya

Tutup

Politik

Neoliberalisme di Indonesia (untuk Jokowi)

23 Oktober 2014   04:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:03 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BELUM lama ini lembaga rating Fitch mengeluarkan hasil penelitiannya tentang keterbukaan negara-negara terhadap penguasaan investasi asing. Tidak mengejutkan, Indonesia yang sudah sepuluh tahun semakin bergeser ke kanan, semakin liberal di bawah SBY, mendapatkan "cap" sebesar 80 persen.

Cap Indonesia jauh lebih besar (yang berarti lebih terbuka pada investasi asing) dari salah satu negara industri terbesar di Asia: India (26 persen) ataupun dari negara tetangga kita di ASEAN: Thailand (49 persen). Kedua negara tersebut (India dan Thailand), yang sering kita lihat sebagai negara yang lebih maju dari negara kita saja tidak perlu menjadi terlalu liberal seperti Indonesia. Ini adalah pelajaran penting untuk Jokowi.

Semakin liberalnya perekonomian Indonesia adalah akibat direkayasa oleh para arsitek ekonomi dan keuangan di pemerintahan SBY, seperti: Boediono, Sri Mulyani, Chatib Basri, dan Kuntoro Mangkusubroto. Para gerombolan Mafia Berkeley turun temurun tersebutlah yang telah "menjual" kedaulatan Bangsa Indonesia sejak masa berdirinya Orde Baru Suharto (1966-1998) hingga Orde Reformasi SBY (2004-2014).

Seorang peneliti dari Institute of Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, menyatakan bahwa modal asing telah menguasai 42 juta hektare daratan untuk pertambangan minerba, 95 juta hektare untuk pertambangan migas, 32 juta hektare untuk HPH, HTI, dan HTR, serta 9 juta hektare untuk perkebunan sawit. Berarti terdapat 178 juta hektar atau 93 persen dari total luas bumi Indonesia yang saat ini dikelola oleh swasta asing.

Karya yang paling monumental dari kelompok neoliberal ini (Boediono, Sri Mulyani, Chatib Basri, dan Kuntoro) adalah UU Penanaman Modal tahun 2007. Yang keberadaannya untuk memperbaharui UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 yang juga disusun oleh senior mereka, para pendiri Mafia Berkeley: Widjojo Nistisastro, Emil Salim, Ali Wardana, Sumarlin, dan sebagainya. Saat itu draft UU diusulkan oleh pemerintah SBY dan akhirnya menang di DPR karena disetujui oleh mayoritas fraksi.

Perlu dicatat lagi oleh Jokowi, partainya PDI Perjuangan adalah salah satu fraksi yang menolak disahkannya UU Penanaman Modal 2007 itu. Jadi, bila Jokowi kemudian merekrut keturunan Mafia Berkeley menjadi anggota kabinetnya, dapat dibayangkan perlawanan yang akan diterima oleh Jokowi bila ia sempat berniat untuk mencabut atau merevisi UU liberal, terutama yang dibuat di pemerintahan SBY.

Saat ini situasinya seolah terlihat dilematis bagi Jokowi. Karena di satu sisi para agen neoliberal dalam dan luar negeri merasa punya saham atas kemenangan Jokowi dan kini ngotot untuk menagihnya: dengan meminta Jokowi memasukkan agen-agen mereka (Sri Mulyani, Chatib Basri, dan Kuntoro) ke dalam kabinet. Namun di sisi lain mayoritas para pemilih Jokowi jelas bukanlah para teknokrat ekonom dan investor di pasar keuangan, melainkan para pemulung, tukang becak, tukang sayur, supir angkot, kuli pasar, tukang ojek, buruh, petani, nelayan miskin kota, dan mahasiswa di seluruh Indonesia- yang sebenarnya juga punya ekonom-ekonom kerakyatan yang bersuara mewakili mereka (seperti: Rizal Ramli, Hendri Saparini, Revrisond Baswir, dan Ichsanudin Noersy).

Mungkin kemampuan lobby untuk memenangkan kelompok neolib masuk kabinet jauh lebih canggih dari kubu kelompok kerakyatan, namun sebenarnya Jokowi dapat lebih menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Kenapa akal sehat? Karena Jokowi harus paham bahwa terbukti neoliberalisme tidak pernah membawa kemakmuran bagi mayoritas rakyat di suatu negara, tapi hanya semakin memperkaya segelintir kelompok pemodal dan pelaku pasar. Amerika Latin telah menjadi saksi bagaimana saat neoliberalisme diterapkan di negeri-negeri mereka, hasilnya adalah kemiskinan yang semakin meluas dan kesenjangan yang semakin akut.

Lalu kenapa hati nurani? Karena diperlukan sensitivitas hati Jokowi yang dapat merasakan getaran kehendak rakyat jelata di Indonesia. Rakyat adalah pemilik negeri ini, bukan pemodal. Karena itulah jika kelak ternyata Jokowi malah mengisi kabinetnya dengan agen-agen neoliberal, maka rakyat yang paham (seharusnya sebagian besar rakyat) hanya akan menyindir sinis: Indonesia, siapapun presidennya, neolib menterinya!

Penulis adalah Peneliti di Lembaga Studi Perjuangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun