Mohon tunggu...
Gede Sandra
Gede Sandra Mohon Tunggu... -

ekonom muda

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rayap dan Babi

19 Februari 2015   17:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:53 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Singkat cerita. Setelah digagalkan oleh BG menjadi wakil presiden Jokowi, Samad kemudian menjalankan tugasnya kembali sebagai pimpinan KPK dengan mulai menggali kasus korupsi, seperti salah satunya adalah kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang diduga menjerat Mega. Sah saja bila hal ini dipersepsikan dengan upaya Samad membalas dendam, namun bagaimanapun Samad hanya menjalankan perintah undang-undang untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu, semakin tinggi dan penting orang tersebut, maka semakin baik. Apalagi orang itu adalah mantan presiden seperti Mega. Diperiksalah oleh KPK kemudian beberapa menteri bidang ekonomi keuangan, seperti Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli, yang diduga mengetahui detail dan seluk beluk masalah SKL BLBI di era Mega.

SKL BLBI adalah tanda lunas yang ditandatangani oleh Mega untuk para bankir pasien BLBI setelah menyerahkan sejumlah aset yang dinilai sesuai. Dalam prakteknya, setelah SKL dikeluarkan, ternyata sebagian bankir tidak menyerahkan aset yang bernilai cukup (bodong!) atau bahkan tidak menyerahkan aset sama sekali. Sehingga dicurigai terjadi transaksi suap atau gratifikasi dari pihak bankir bermasalah kepada orang-orang terdekat Mega kala tahun 2002 itu, seperti misal kepada almarhum suaminya, dan menteri-menterinya. Di titik inilah kabarnya KPK sedang bekerja, dan bukti-bukti sudah semakin cukup untuk menyeret Mega dan orang-orang di lingkaran terdekatnya ke pengadilan tindak pidana korupsi.

Kabar ini pun kemudian sampai pada Mega, yang akibatkan segala daya upaya parpolnya (bersama koalisinya) harus dilakukan untuk mempercepat naiknya BG sebagai Kapolri- sampai harus mencopot Sutarman yang masa jabatannya masih 7 bulan lagi. Diharapkan dengan naiknya dirinya sebagai Kapolri, maka BG (bersama institusinya) diharapkan dapat membantu menghalangi KPK menyeret Mega ke pengadilan atau setidaknya menghalangi pemeriksaanya di gedung KPK. Sadar akan potensi hambatan yang mungkin timbul dalam penuntasan kasus SKL BLBI, maka menggunakan data-data dan alat bukti yang bersumber dari laporan masyarakat (ICW dan Tempo?), KPK pun tersangkakan BG. Datanglah kemudian kisruh Cicak-Buaya Jilid 2 yang berbau sangit kasus BLBI ini.

Untuk melunasi utang BLBI sendiri, hingga tahun 2030, APBN yang berasal dari pajak rakyat selalu dibebani dengan kewajiban menyetor dana obligasi rekap sebesar Rp60 triliun setiap tahunnya. Obligasi rekap lebih merupakan subsidi dari rakyat bagi bankir yang pernah menjadi pasien BLBI (kini semuanya sudah sehat). Maka “babi-babi” dalam negeri semakin gemuk. Sementara rakyat dan buminya terus menderita saja. Di era Mega, Negara kerap mencabut subsidi bagi rakyat banyak (semisal kasus subsidi BBM), mengurangi tingkat kesejahteraan pekerja (dengan menerbitkan UU no 13 th. 2003), hingga menjual aset nasional yang strategis kepada asing (semisal kasus Indosat). Apa yang dilakukan rezim neolib Mega hingga SBY sendiri merupakan penyelewengan dari Sila Kelima Pancasila, yang mana “keadilan sosial” bukan milik seluruh rakyat, melainkan hanya untuk segelintir bankir dan taipan.

Menjadi geli saat melihat aksi para pendukung BG siang tadi (16/03) di depan Istana Negara. Beberapa orator coba menghubung-hubungkan dukungan agar BG segera dilantik menjadi Kapolri dengan perlawanan mereka kepada sistem kapitalisme dan imperialisme. Meskipun belum karuan juga massa yang dimobilisasi tersebut paham isi pidato para oratornya. Absurditas ini terjadi kemungkinan karena para orator tersebut kurang baca sejarah atau kurang paham ekonomi-politik, ditambah dengan lemahnya kemampuan komunikasi massa. Seperti diketahui, sumber masalah dari berjangkitnya neoliberalisme -yang merupakan pintu masuk imperialisme- di Indonesia selama paska Reformasi adalah oligarki parpol yang menggadaikan 20-an undang-undang kita kepada “babi-babi” asing, yang  adalah juga oligarki parpol yang (nyaris) sama dengan yang mendukung BG jadi Kapolri saat ini.   ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun