Mohon tunggu...
G.B. Suprayoga
G.B. Suprayoga Mohon Tunggu... Ilmuwan - A PhD in spatial and transport planning; an engineer in highway construction; interested in enhancing sustainable road transport; cycling to work daily

Writing for learning and exploring

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia yang Adem Saat Rusia-Ukraina Memanas

19 Juni 2022   12:27 Diperbarui: 19 Juni 2022   12:39 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perang Rusia dan Ukraina sudah berlangsung empat bulan. Meskipun lambat, kemajuan angkatan perang Rusia telah menghasilkan penguasaan sekitar 20% dari wilayah Ukraina, yang terkonsentrasi di bagian timur atau Donbass. Angkatan perang Ukraina pun mengakui keunggulan Rusia dalam hal taktik dan jumlah persenjataan. Ukraina tidak mampu menahan pergerakan pasukan Rusia lebih jauh hingga kota Sieverodonetsk pun jatuh. 

Dengan perkembangan ini, Vladimir Putin, Presiden Rusia, hampir mencapai tujuan perang yang ia sebut sebagai operasi khusus untuk membebaskan daerah Donbass yang didominasi oleh etnis Rusia. Daerah tersebut, sejak tahun 2014, mendapatkan perlakuan diskriminasi oleh pemerintah Ukraina. Menurut Rusia, warga Donbass mengalami genosida pada saat pemerintahan Ukraina yang berorientasi Barat berkuasa.

Selama berlangsungnya perang, sanksi  dijatuhkan kepada Rusia dan telah menyebabkan gangguan terhadap rantai pasok komoditas secara global. Sanksi yang dijatuhkan tidak hanya dalam hal ekonomi dan perdagangan melainkan juga hal budaya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, satu negara mendapatkan sanksi yang sangat berat hingga mencapai 15.000 jenis. 

Indonesia yang Adem

Perang Rusia-Ukraina diberitakan oleh media arus utama di Indonesia. Kompas sempat cukup intensif meliput situasi perang yang berfokus pada dampak dan perkembangan pasukan yang berperang. Media  hanya sedikit mengulas mengenai dinamika perang secara geopolitik dan prospek perang dalam banyak hal.

Dalam 4 bulan terakhir, pemberitaan di Indonesia didominasi oleh politik dan ekonomi domestik. Berita politik meliputi elektabilitas calon presiden 2024, koalisi awal partai politik, dan hubungan antara Presiden dan partai koalisasinya. Berita mengenai ekonomi yang masih terus ditampilkan adalah mengenai kenaikan harga minyak goreng dan potensi peningkatan harga bahan bakar.

Pengaruh perang terhadap Indonesia secara geopolitik dan ekonomi belum cukup lengkap dibahas. Kecuali dalam kaitannya dengan presidensi Indonesia dalam G20. Ada beberapa alasan  mengenai hal ini. Pertama, perang di Ukraina terjadi jauh dari Indonesia, atau sekitar 10.000 km secara jarak geografis, sehingga tidak dirasakan dampak langsung. 

Kedua, hubungan antara Indonesia dan negara yang berkonflik (Rusia dan Ukraina) selama ini tidak berpihak pada salah satunya sehingga orientasi akan lebih seimbang. Karenanya, orang Indonesia masih beranggapan apabila salah satu pihak menang atau kalah maka pengaruhnya terhadap Indonesia tidaklah signifikan. Ketiga, Indonesia memiliki fokus masalah sendiri yang sudah cukup rumit antara lain karena pandemi, ketidakpastian harga minyak, dan pembangunan megaproyek. Alasan ketiga ini mungkin yang lebih dominan ada pada benak orang Indonesia.

Tentu saja, setiap orang berhak memiliki pendapat sendiri dan setiap negara mendekati persoalan sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Pada Maret, pemerintah Indonesia memilih untuk meminta serangan militer untuk dihentikan dan kembali kepada meja perundingan. Sejumlah pejabat politik menyampaikan bahwa kenaikan harga produk di Indonesia disebabkan oleh perang Rusia dan Ukraina, namun tidak dijelaskan produk yang dimaksud. Sampai saat ini pun, respon Indonesia masih cukup adem ketika perang  memanas di Eropa.

Baca: Apa Sikap Indonesia atas Serangan Rusia ke Ukraina 

Respon Indonesia di tengah potensi perubahan geopolitik

Indonesia maun tidak mau tidak bisa berdiam diri ketika perang masih berlangsung. Perang telah menimbulkan kerumitan bagi Indonesia dalam mengelola hubungan internasional dengan sejumlah negara. Negara Barat yang ingin menyisihkan Rusia dari berbagai organisasi internasional, termasuk G20. Posisi presidensi G20 menjadikan Indonesia secara otomatis harus bersinggungan dengan negara yang berkonflik secara langsung maupun tidak langsung dan menempatkan sejumlah isu dinilai ulang relevansinya.

Baca: Relevansi Agenda Presidensi G20 Indonesia di Tengah Perang Rusia-Ukraina

Sanksi terhadap Rusia mungkin tidak berdampak besar bagi Indonesia saat ini. Dengan jalinan perdagangan antarnegara yang kompleks, mencakup jaringan rantai pasok dan transaksi perbankan, Indonesia harus bersiap mengantisipasi dampak yang ditimbulkan pada masa mendatang. Sampai saat ini, pemerintah masih belum menjelaskan dengan sistematik bagaimana respon terhadap perang.

Perspektif pemerintah terhadap perang juga terkesan sempit (hanya perang antara dua negara). Hal ini mungkin bertujuan untuk tidak menimbulkan pertentangan dengan negara yang berkonflik. 

Pemerintah masih menjalankan bisnis seperi biasanya dengan menghubungi negara mana saja  yang siap berdagang dan berinvestasi dengan Indonesia. Apa yang belum dijelaskan dari seluruh pendekatan ini adalah pertimbangan geopolitik global dan regional. Hal ini perlu dijelaskan untuk mengurangi kerentanan Indonesia terhadap dinamika konflik yang nampaknya akan berlangsung lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun