Mohon tunggu...
G.B. Suprayoga
G.B. Suprayoga Mohon Tunggu... Ilmuwan - A PhD in spatial and transport planning; an engineer in highway construction; interested in enhancing sustainable road transport; cycling to work daily

Writing for learning and exploring

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hari Air Sedunia 2018, Mencari Solusi dari Alam

22 Maret 2018   05:22 Diperbarui: 22 Maret 2018   06:24 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: worldwaterday.org

Setiap tanggal 22 Maret, masyarakat internasional memperingati Hari Air Sedunia. Tahun ini, peringatan dilakukan untuk yang ke-25 kalinya sejak pertama kalinya ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1993.

Sebagai bagian paling penting dari kehidupan, manusia memang tidak bisa berpaling dari air. Sekitar tujuh puluh persen tubuh manusia tersusun dari molekul air. Kehidupan sosial, bahkan sejarah panjang peradaban manusia pun dipengaruhi oleh air.

Ada area di berbagai belahan dunia mengalami kekeringan yang menyebabkan kemiskinan dan konflik sosial yang diakibatkan perebutan sumber air bersih. Kota-kota bisa tumbuh untuk menampung populasi yang bertambah karena adanya pengelolaan air (dalam skala besar) untuk berbagai kebutuhan: minum, sanitasi, dan kehidupan yang nyaman. 

Namun, ada juga kota-kota yang tengah mengalami krisis suplai air bersih, antara lain Cape Town (Afrika Selatan) dan Sao Paolo (Brasil) (ulasan dan video tentang ini bisa disimak pada Nat Geo Sites).

Tanggal 22 Maret, hari ini, warga dunia diajak untuk merenungkan kembali makna air dalam kehidupan sehari-hari. Air seyognyanya tidak lagi dianggap sebagai entitas terpisah, melainkan sumber kehidupan yang sama berharganya dengan udara yang kita hirup. 

Pada peringatan tahun ini, tema yang diusung adalah Nature for Water. Melalui tema ini, warga dunia diajak untuk mencari solusiyang berbasiskan alam, selain melalui prasarana fisik yang sudah akrab, seperti tanggul sungai/pantai, saluran drainase, dan pengolah limbah konvensional. Bagaimanakah alam bisa menjadi solusi?

Persoalan Air di Sekitar Kita

Di Indonesia, bisa dikatakan masyarakat belum sepenuhnya sadar akan masalah air sebagai realitas keseharian. Meskipun, mereka dapat merasakan dampak yang ditimbulkan oleh pengelolaan air yang buruk. 

Contohnya, pembangunan perumahan yang tidak memperhatikan konservasi air. Tidak ada yang pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif terhadap areal perumahan maupun petak pekarangan yang dibangun baik secara individual maupun oleh pengembang. Pada waktu-waktu tertentu, air yang tidak diserap ke dalam air menyebabkan genangan dan banjir yang mengganggu aktivitas ekonomi dan sosial.

Sebagian kota pun masih memiliki masalah serius dalam menyediakan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Kecepatan penyediaan sambungan air bersih tidaklah sepesat pertumbuhan populasi. 

Beberapa warga di kota-kota (besar dan metropolitan) masih harus membeli air bersih dari mereka yang menyediakan jasa transportasi ke permukiman mereka. Sementara, terdapat sungai-sungai yang mengalirkan air melalui permukiman mereka, namun dengan kualitas yang jauh dari layak dikonsumsi. 

Sungguh ironis! Tidak hanya di perkotaan, masyarakat di perdesaan harus menghabiskan waktu, tenaga, dan uang guna menyediakan kebutuhan air bersihnya sendiri. Air, dengan demikian, menjadi salah satu faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan sebagian kelompok masyarakat.

Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan Indonesia tengah mengalami kerentanan bencana iklim (cuaca ekstrem) yang meningkat. Pada kondisi hujan normal pun, areal genangan di permukaan meluas dan dalam sekejap mengganggu kegiatan ekonomi (dalam hitungan jam maupun harian). Ada dua hal yang menyebabkan peningkatan ini. Pertama, kota-kota yang tengah tumbuh tidak memiliki infrastruktur air untuk melakukan pengendalian daya rusak secara memadai. 

Perubahan guna lahan karena permukiman dan infrastruktur ekonomi belum diimbangi dengan dengan kecukupan kapasitas infrastruktur air (drainase dan saluran pengendali banjir). 

Kedua, kesiapan masyarakat untuk beradaptasi dengan cuaca ekstrem masih rendah. Sebagai "alat pengendali", penataan ruang belum mampu menangkal permukiman baru yang berada di sempadan sungai, selain karena kemampuan masyarakat (melalui relokasi, penanganan mandiri, dan penyediaan peringatan awal) yang terbatas dalam menghadapi cuaca.

Solusi dari Alam: Bagaimana Mungkin?

Tema kali ini mengajak warga dunia untuk berpaling kembali kepada alam dalam mengatasi persoalan air. Sebelumnya, sebagian besar solusi atas persoalan air difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik (grey infrastructure). 

Contoh infrastruktur ini adalah antara lain saluran (kanal) banjir, tanggul laut/ sungai, maupun saluran drainase. Investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada infrastruktur ini pun sudah tergolong besar. Dengan ketidakpastian dalam menyikapi perubahan iklim global, investasi ini jelas belum menyakinkan pengelolaan air secara efektif, selain itu kebutuhan investasi tidak dapat mengimbangi jumlah populasi terdampak.

Solusi dari alam memandang air sebagai bagian tak terpisahkan dari interaksi manusia dan lingkungan alam. Air hujan perlu ditangkap oleh tanah dan dapat dimanfaatkan ulang dengan kualitas yang terbaik. 

Kondisi ini hanya dapat dilakukan apabila manusia tidak melakukan tindakan yang mencemari air, seperti membuang sampah dan limbah ke sungai maupun tanah. Tambahan lagi, kebutuhan ruang untuk aktivitas budidaya (hunian, kerja, rekreasi) dipadukan dengan landsekap sekitar, sehingga menciptakan ruang bagi konservasi air.

Saat ini Indonesia mungkin masih dalam tahap mencari solusi terbaik. Beberapa negara telah berhasil memadukan antara pengelolaan air melalui kombinasi kerekayasaan sipil maupun alam (green infrastructure). Konsep "ruang untuk air" atau "room for the river" di Belanda adalah contohnya. Kanal-kanal dan parit-parit di sekitar areal permukiman menjadi perlindungan atas genangan air/ banjir pada saat curah hujan meninggi, serta sarana efektif untuk menyimpan air. 

Tanggul-tanggul sungai dan laut merupakan "pertahanan" berlapis dengan mengembalikan fungsi ekologis (hutan, rawa) dari ekspansi kegiatan manusia. Pemerintah kota ada kalanya membeli lahan-lahan individu untuk digenangi luapan air sungai pada saat musim dingin, sementara dapat dikunjungi sebagai lokasi rekreasi alam maupun sebagai areal perlindungan habitat spesies tertentu. 

Berikutnya pula, penataan ruang permukiman (desa dan kota) secara ketat memisahkan antara limbah domestik untuk mencemari sumber-sumber air bersih (sungai dan air tanah).

Pada Hari Air Sedunia kali ini, mari kita luangkan waktu untuk memaknai air dalam keseharian dan mencari solusi untuk menyelamatkan kehidupan melalui air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun