Mohon tunggu...
G.B. Suprayoga
G.B. Suprayoga Mohon Tunggu... Ilmuwan - A PhD in spatial and transport planning; an engineer in highway construction; interested in enhancing sustainable road transport; cycling to work daily

Writing for learning and exploring

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mungkinkah Generasi Milenial Menjadi Petani?

18 Maret 2018   02:00 Diperbarui: 18 Maret 2018   19:55 4197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebutuhan pangan dunia semakin meningkat seiring dengan pertambahan populasi. Di Indonesia, generasi petani yang ada saat ini sebagian besar telah berusia di atas 50 tahun ke atas. Dalam beberapa tahun ke depan, para petani ini harus digantikan dengan anak-anak yang lahir antara tahun 1980 ke bawah atau yang biasa disebut dengan generasi milenial. 

Sebagai perbandingan, Belanda yang merupakan produsen pangan dunia terbesar di dunia hanya memiliki generasi petani di bawah 35 tahun hanya 4% dari total populasi saat ini, yaitu 16 juta jiwa (sumber: www.government.nl; akses: 17 Maret 2017).

Sulit untuk membayangkan generasi ini, atas keinginannya sendiri, akan menjadi petani. Pertama, dalam persepsi mereka, kegiatan bertani (konvensional) tidak mendatangkan gengsi maupun keuntungan finansial yang tinggi, apabila dibandingkan dengan profesi lainnya, seperti dokter, pilot, pengacara dan lain-lain. 

Meskipun mereka mengenyam pendidikan terbaik di bidang pertanian, baik dalam maupun luar negeri, bertani bukanlah pilihan yang menarik. Sebagian dari mereka akan lebih menyukai bekerja di perusahaan-perusahaan pangan ternama, seperti Unilever, Nestle, Danone, maupun perusahaan nasional ternama lainnya.

Kedua, generasi ini telah kehilangan sentuhan alamiah bermain dengan alam. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk berada di dalam ruangan, baik di rumah dan sekolah. Berbeda dengan anak-anak pada generasi orang tua mereka, lahan sawah dan kebun menjadi halaman belakang yang masih ada dan menjadi arena bermain. Saat ini, makanan seakan pasti akan tersedia di piring anak-anak pada golongan menengah menengah dan atas. Mereka menikmati makanan tanpa melalui memetik langsung apa yang telah mereka tanam. 

Dalam hal ini, telah terjadi alienasi pada anak-anak generasi ini dengan alam sekitarnya. Kondisi yang ditampilkan barangkali merupakan implikasi sosio-ekologis masyarakat industri (kapitalis) yang diperkenalkan dengan istilah metabolic rift. 

Ketiga, akses generasi ini terhadap kegiatan produksi hasil pertanian di Indonesia masih sangat rendah. Seperti yang juga dialami juga oleh generasi milenial petani di negara-negara maju, seperti Belanda, akses permodalan menjadi perhatian utama. Perluasan akses modal adalah untuk mempertahankan pertumbuhan sektor (seperti melalui mekanisasi, perluasan kapasitas produksi, akses pasar), sekaligus memberkan daya tarik generasi tersebut untuk berperan lebih luas dalam aktivitas pertanian. 

Selain itu, instrumen untuk pengendalian alih fungsi lahan yang berpadu baik dengan sistem alokasi lahan (land tenure) yang berpihak pada perluasan lahan pertanian masih belum memadai. 

Lahan menjadi komponen input yang mahal dan sulit ditemukan (menurut kualitasnya yang terbaik untuk pertanian), sehingga tidak banyak memberikan kesempatan bagi calon generasi baru petani memiliki dan mengusahakan lahannya sendiri.

Saya dapat membayangkan, dalam jangka panjang ke depan, generasi milenial Indonesia masih belum dapat berperan besar sebagai petani untuk menggantikan generasi berikutnya. Kita akan mengamati pewarisan atas pengolahan lahan secara turun-temurun, namun diikuti dengan jumlah keluarga petani yang semakin berkurang (sumber: oxfamblogs.org; akses: 17 Maret 2017). Sementara itu, Indonesia tengah dibanjiri produk-produk pangan import yang kian mengkhawatirkan dari sisi ketahanan pangan (nasional).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun