Mohon tunggu...
Gede Sandra
Gede Sandra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Melihat "Growth" Indonesia dalam Bingkai Struktural

7 Mei 2017   00:52 Diperbarui: 7 Mei 2017   01:01 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian kalangan berpendapat slow down dalam pertumbuhan perekonomian disebabkan oleh berlarut-larutnya kasus Ahok. Pelaku usaha di dalam dan luar negeri menunggu putusan yang paling adil untuk umat Islam, agar situasi kembali damai dan ekonomi bisa bergerak kembali. Bila delta pertumbuhan (growth) Produk Domestik Bruto (PDB) riil antar kuartal kemarin anjlok -0,34 %, apakah itu gara-gara Ahok susah move on dari hasil akhir putaran kedua Pilkada DKI 2017 dan terus memprovokasi bangsa?  Sehingga ekonomi menjadi slow down?Ternyata tidak sesederhana itu.

Perubahan Struktural Harus Pompa Growth

Menurut ekonom paling berpengaruh di Abad 20, John M. Keynes, rumus menghitung nilai growthdalam ekonomi suatu negara adalah dengan menyamakan output/produk nasional dengan pendapatan nasional. Output adalah total pengeluaran yang meliputi: konsumsi rumah tangga + investasi + belanja pemerintah + ekspor. Memproduksi output akan menghasilkan aliran pendapatan kepada penerima profit (pengusaha), pekerja, pemilik asset (petani dan UKM), dan luar negeri (melalui impor dari negara tsb). PDB berdasarkan ouput adalah penjumlahan tingkat nilai tambah dari seluruh aktivitas perekonomian. Sedangkan nilai tambah adalah penjumlahan seluruh pembayaran terhadap “factor produksi primer” (kerja dan kapital).

Biro Pusat Statistik (BPS) pada  5 Mei 2017 merilis berbagai data statistik tentang perekonomian, selain tentang growth.Tercatat di sana, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 0,14% sepanjang kuartal IV 2016 ke kuartal I 2017.

BPS juga nyatakan pengeluaran konsumsi pemerintah terjun bebas ke -45,54% sepanjang kuartal IV 2016 ke kuartal I 2017. Tentu ini akibat serangan kebijakan austerity pada fiskal belanja pemerintah kita.  

Sementara, menurut BKPM, pertumbuhan investasi asing langsung/foreign direct investment (FDI) sebesar 0,9% sepanjang kuartal pertama tahun 2017 adalah yang  paling lambat dalam lima tahun terakhir.

Terakhir adalah data ekspor Indonesia. Sangat terlihat, bahwa terjadi penurunan komposisi ekspor produk industri pengolahan dari  75,8 % ke ke 75,6 % dari keseluruhan ekspor. Penurunan juga terjadi di ekspor produk industri migas dari 10,19 % ke 9,49 % , yang lebih disebabkan oleh tren rendahnya harga minyak dunia dan turunnya kemampuan eksplorasi di lapangan.

Pemerintah terpaksa –karena berbagai tekanan- melakukan intervensi kepada kebijakan relaksasi ekspor industri tambang yang masih mentah. Apa boleh buat, negara perlu pemasukan dan masyarakat pekerja tidak boleh ditelantarkan (dari kolapsnya industri tambang asing), komposisi dalam eskpor keseluruhan naik dari 11,86 % ke 12,74 %. Terakhir adalah sektor pertanian, terjadi peningkatan dari 2,15 % ke 2,17 %,

Jadi mengapa terjadi stagnasi growth di sini selama enam bulan terakhir? Ini lebih karena perekonomian Indonesia masih ditopang oleh kembali menguatnya ekspor komoditi yang belum bernilai tambah (mentah).   Dan perubahan (reformasi) struktural versi ekonom pemerintah ternyata hanya slogan. Kita masih seperti paradigma yang lama: ekspor Tanah Air, tanpa nilai tambah sama sekali.    

Negara yg sukses mengalami growth berkelanjutan umumnya mengalami perubahan struktural yang mencakup pergeseran bagian (shares) output dan pekerja (labour) terhadap industri pengolahan. Perubahan struktural yang sebenar-benarnya adalah yang dapat memompa growth negara tersebut. Bila pejabatnya berbusa-busa pidato perubahan struktural di mana-mana, tapi ekonomi negara yang dipimpinnya stagnan dan bahkan slow down, industri pengolahan pun alami kemunduran, artinya perubahan struktural  belum benar-benar terjadi.

GrowthPerkapita Indonesia Tertinggal

Kemudian, daripada kita berlarut dalam perdebatan ranking growth output ekonomi ,PDB, apakah Indonesia tertinggi ke-3 di seluruh Dunia atau G20 atau yang lainnya, lebih baik kita menggunakan indikator yang lebih relevan. Yaitu adalah growth PDB perkapita, memasukkan unsur ukuran demografi. Dibaginya total output suatu bangsa dengan jumlah penduduk menjadikan Indonesia bebas dibandingkan dengan negara-negara kecil di kawasan Asia Tenggara. Secara rule of thumb, growth perkapita sebesar 3% ke atas ke atas mengurangi gap antara negara berkembang dengan negara industri maju secara gradual. Semakin tinggi semakin cepat.

Tahun 1961, berdasarkan data Bank Dunia, growth perkapita Indonesia sebesar 3%. Ternyata tidak terlalu buruk di era Sukarno tersebut. Setelah 54 tahun, kini di tahun 2015 growth perkapita Indonesia hanya naik ke sekitar 3,5%. Sangat bersyukur Indonesia sudah sejak 1961 masuk kategori negara berkembang yang berusaha mengejar negara industri maju, namun mungkin dengan kecepatan rendah sehingga kini masih begini saja.

Sementara itu, bila kita bandingkan dengan negara besar seperti Tiongkok, pada 1961 mereka mengalami kesulitan ekonomi akibat gagalnya proyek-proyek Ketua Mao, sehingga pertumbuhan PDB perkapitanya terjun bebas ke -26,5%. Namun setelah mengalami perubahan struktural yang sejati, terutama pasca memimpinnya Perdana Menteri Deng Xiaoping sejak 1978 dan dilanjutkan para  penerusnya, growth perkapita Tiongkok di tahun 2015 meroket ke 6,4 %. Melewati Indonesia.

Kemudian negara besar lain yang sering dibandingkan dengan kita, seperti India. Pada 1961 growth perkapita India hanya sebesar  1,7%, lebih buruk dari Indonesia saat itu. Di tahun 2015 growthperkapita India melompat ke ke 6,6%, melewati Indonesia. Negara tetangga Filipina –yang juga sering dibandingkan dengan kita- growth perkapitanya naik dari 2,2% di tahun 1961 menjadi ke 4,3% di tahun 2015, juga salip Indonesia. Negara sekawasan yang belakangan sering dibicarakan, Vietnam, growth-nya di tahun 2015 sudah setinggi 5,5% (data 1961 tidak tersedia), Indonesia jauh tertinggal.

Indonesia, sebagai bagian negara dengan lower middle income alias negara berpendapatan perkapita menengah ke bawah, ditinggal oleh sesamanya negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah lainnya. Pada tahun 1961, growth perkapita negara-negara tersebut masih rata-rata 0,8% - sementara Indonesia sudah di angka 3%. Di tahun 2015, negara-negara lower middle income memiliki growth perkapita 3,9%, meninggalkan Indonesia. Jadi, sudah benar itu himbauan Presiden Jokowi belum lama ini. Kita memang harus berlari lebih kencang.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun