Keesokan paginya aku nekat untuk menghubungi dosenku serta meminta agar bisa bimbingan, agar aku mengetahui langkahku mau kemana, yang semulanya seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Aku memulai obrolan dengan dosenku dengan kata-kata yang sudah berjam-jam aku susun agar dosenku iba dan menaruh simpati padaku. Dua jam setelah itu pesan singkatku melalui whatsApp dibalas oleh beliau “silahkan datang ke rumah dan bawa proposalmu”, dengan menyertakan alamat rumah, sesudah membaca pesan singkat itu, aku bernafas lega dan buru-buru meng-print proposal penelitian untuk skripsiku nanti.
Setelah semuanya siap, aku langsung bertolak ke rumah dosenku sesuai dengan alamat yang diberikan, dan sambil membawa motor aku sambil berdoa.
“Ya Tuhan, semoga langsung di Acc.” Harapanku dalam hati
Aku yakin, apa yang dipikirkan dengan kuat, maka itu akan terjadi. Sesampainya aku di rumah dosenku, aku kembali menghubungi beliau. Dan dosenku ini memang terkenal killer, susah tamat mahasiswanya kalau dibimbing oleh beliau, karena terlalu kritis dan suka mencorat-coret. Bahkan aku dengar-dengar, banyak mahasiswanya yang menangis karena beliau. Aku mulai deg-degan berada di depan rumah beliau.
Aku mendengar telapak kaki yang turun dari tangga (rumahnya ini bertingkat), dan membuka pintu gerbang rumahnya,
“silahkan masuk,” sapa dosenku yang sambil mengenakan masker hitam dengan membawa cairan disinfektan dan menyemprotkan pintu gerbangnya, yang seakan-akan aku mengajak pasukan virus. Hehehe, tapi ini memang penting untuk perlindungan diri.
Tanpa basa-basi yang terlalu lama, dosenku langsung meminta, “mana proposalmu….?”.
“Oh iya ini pak,” sambil mengambil proposal penelitianku dalam tas.
“Silahkan diperiksa bapak,” pintaku merunduk sambil bernada halus, agar ada rasa kasihannya.
Dengan membawa pulpen hitamnya, dosenku langsung membuat garis-garis yang melintang sana-sini, belum lagi catatan-catatan yang menggantung begitu saja semacam kerusuhan pilpres kemarin. Aku semakin merunduk, bahkan aku berpikir aku harus bergulat untuk bisa membaca tulisan beliau.
“Aihhh pokoknya I Love You bapak,” gumamku sambil menggerak-gerakkan bola mataku.