"Pembangunan" berdasarkan filosofi ini berjalan menyeluruh, tidak terkotak-kotak tidak pula terbagi-bagi. "Pembangunan" diwujudkan dalam sebuah sistem yang bagian-bagiannya tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.Â
Tidak ada irigasi yang bisa berjalan tanpa terbentuknya tatanan sosial, tidak ada tatanan sosial yang dapat tegak ketika lingkungan dan alam tidak diperhatikan, dan tidak ada kesinambungan pada alam bila tidak ada syukur dan takwa pada Tuhan. Semua berhubungan, tidak dipisah-pisah.
Dalam konteks Pancasila, Subak adalah laku dari kelima sila.
Dalam sistem Subak, pucuk dari koordinasi komponen-komponen subak adalah rasa takjub dan bhaktikepada Yang Maha Pencipta sehingga didirikanlah Bangunan sebagai simbol dari rasa syukur itu (di Bali bangunan itu berbentuk Pura).Â
Manajemen sumber daya, baik sumber daya alam (Air, Padi, dll) maupun sumber daya manusia (adat, organisasi, dll) diikat oleh kesadaran terhadap Tuhan.
Sebagai suatu metode penataan hidup bersama, Subak mampu bertahan selama lebih dari satu abad karena masyarakatnya taat kepada tradisi leluhur. Pembagian air dilakukan secara adil dan merata, segala masalah dibicarakan dan dipecahkan bersama, bahkan penetapan waktu menanam dan penentuan jenis padi yang ditanam pun dilakukan bersama.
Anggota subak atau juga biasa disebut dengan krama subak adalah para petani yang memiliki garapan sawah dan mendapatkan bagian air pada sawahnya.Â
Selain itu pengorganisasian Subak dibentuk dengan mempertimbangkan kemampuan dan kompetensi para anggotanya. Pengorganisasian dibentuk berdasarkan kontribusi (Krama Aktif, Pasif, dan Luput), kompetensi (Sekaa), dan kepengurusan dibentuk mempertimbangkan kepemimpinan, ekonomi, komunikasi, dan spiritual.
Sekaa dibagi menjadi beberapa jenis:
1. Sekaa Numbeg,yaitu sebuah kelompok yang mengatur hal pengolahan tanah.
2. Sekaa Jelinjingan, kelompok yang bertugas untuk mengatur pengolahan air.