Mohon tunggu...
Gede Surya Marteda
Gede Surya Marteda Mohon Tunggu... Freelancer -

Mencari jati diri di belantara Hutan Jati. Berusaha semampunya untuk menjadi pribadi yang humoris.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Aku Masih Kartini?

21 April 2014   15:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Tapi layaknya gading yang berharga tinggi dan menjadi bahan komoditi, nama seorang manusia -apalagi sangat berharga- tidak akan dibiarkan tergeletak begitu saja untuk menunggu hilang digerogoti cacing. Apalagi, oleh Sang Penguasa. Kartini pun tak luput dari praktik-praktik kotor pemain papan atas penikmat kekuasaan. Kartini senantiasa bertransformasi mengikuti siapa yang ada di kursi takhta. Inilah sepetik kisah Kartini sebagai maskot dalam politisasi sejarah.

***

Kisah ini mungkin terasa tidak asing buat anda yang telah membaca esai karya Zen R.S. tentang Kartini yang diterbitkan tanggal 17 April 2013 di laman jejaring Yahoo.co.id karena pengembangan pemikiran penulis terhadap Kartini sedikit banyak dipengaruhi oleh kerangka pikir Zen R.S. Dan, bila nantinya pada kisah ini nama Zen R.S banyak disebut, semata-mata karena esai karya Zen R.S adalah buah pikiran yang mengagumkan.

***

Kartini adalah seorang wanita yang terlahir sebagai priyayi, kelas bangsawan Jawa. Sebagai priyayi, sebuah keharusan untuk Kartini muda untuk menjalani proses pingitan yang memaksa Kartini menjadi “tahanan rumah”, sebelum akhirnya Kartini dipinang oleh sesama bangsawan, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah beristri tiga. Kartini dipaksa untuk melepaskan hasratnya untuk mengecap pendidikan lebih tinggi terbelenggu oleh adat istiadat. Tapi, Kartini tidak tinggal diam. Dia melawan. Dia memperjuangkan hak-haknya untuk memperoleh pendidikan dan kebebasan. Walaupun, pada akhirnya pernikahan tetap dilaksanakan. Namun, buah pikiran seorang Kartini yang merindukan kesamaan hak menjadi inspirasi bagi generasi setelahnya. Kartini tidak pernah menjadi milik penguasa. Kartini selalu menjadi terang, yang terbit setelah gelap.

Begitulah kisah ini dituturkan oleh J. H. Abendanoen dalam buku Door Duisternis tot Licht, kumpulan surat-suratKartini, yang diterbitkan setelah Kartini meninggal. Buku ini pula yang akhirnya diterjemahkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran disusul oleh Armijn Pane pada tahun 1938 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, yang menegaskan penokohan Kartini oleh Abendanoen. Sebuah ironi, bahwa orang yang mengangkat nama Kartini, seorang pahlawan nasional Indonesia, adalah Belanda Kolonial. Dan, sangat naif bila kita menyangkal adanya kepentingan politik dalam “pengangkatan” Kartini sebagai lambang emansipasi wanita versi Abendanoen.

Bila kita melihat lagi ke sejarah, awal abad 20 adalah awal masa pergerakan nasional perlawanan terhadap kolonialisasi Belanda Kolonial di Indonesia. Isu penolakan kolonialisasi kencang berhembus di meja perundingan Internasional. Bahkan, dari dapur sendiri pun, Belanda Kolonial mendapat protes keras. Maka dapat dimaklumi jika Belanda Kolonial akhirnya harus mencari sosok pribumi, meminjam istilah Zen, yang cerdas dan tercerahkan dalam sistem imperialisme yang dikukuhkan Belanda Kolonial di Indonesia. Belanda butuh maskot. (1)

Sosok itu ditemukan dalam penokohan Kartini oleh Abendanoen. Perjuangan Kartini dalam memperoleh hak pendidikan bagi kaum perempuan Jawa saat itu diterjemahkan menjadi feminimisme ala timur oleh pemerintah Kolonial. Lagipula, isu feminisme memang sedang menjadi isu hangat dalam pergolakan politik Belanda pada saat itu.

Setelah itu, Belanda secara politik, giat mempromosikan Kartini di dunia Internasional. Akhirnya, kisah Kartini sampai ke kuping orang-orang Indonesia dan Kartini menjadi kebanggaan milik “bersama.” Selain itu, status Kartini sebagai "anak emas" mungkin saja merupakan strategi jitu dalam mengalihkan perhatian intelektual muda Indonesia dalam perjuangan meraih kemerdekaan untuk bangsanya. Politik adu domba khas Belanda Kolonial.

Yang luput dari perhatian Belanda adalah, sosok Kartini yang dibangun tidak serta merta menjadi sosok pro kolonial. Dalam gagasannya, tertuang semangat nasionalisme yang tinggi. Kartini adalah seorang putri Indonesia, kebanggaan akan bangsanya mengalir deras dalam darahnya. Sikap anti kolonialisme dan feodalisme itu tertuang dalam salah satu suratnya kepada istri Abendanon.


“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?”


Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 27 Oktober 1902

Semangat itulah yang membuat Kartini luput dari destrukturasi pola pikir kolonial pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Kartini ciptaan Abendanon masih dielu-elukan. Kartini selanjutnya ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, mengukuhkan sebuah citra bersama, Kartini adalah emansipasi wanita. Namun, status baru Kartini ini pun tidak luput menjadi alat kekuasaan model baru.

Pasca kemerdekaan, gerakan Kiri di Indonesia berkembang dengan pesat. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Gerakan Wanita Sadar (Gerwis) yang berafiliasi politik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menggunakan Kartini sebagai lambang perlawanan terhadap feodalisme dan imperialisme. Gerwani dan Gerwis bahkan mendeklarasikan diri sebagai penerus ideologi Kartini. Kartini resmi menjadi Gerwani

Pengaruh anti kolonialisme dan feodalisme sangat kuat memenuhi aspek ke-Indonesiaan. Bahkan, “Raden Ajeng Kartini,” lagu gubahan W.R. Soepratman, diubah menjadi "Ibu Kita Kartini".  Penyopotan “Raden Ajeng” dan diganti menjadi “Ibu Kita” ini menegaskan Kartini pada masa pasca kemerdekaan adalah maskot sentimen anti feodalisme dan kolonialisme yang kuat dari kubu Kiri yang saat itu mendapat sokongan kuat dari Soekarno.

Tidak luput dari ranah sastra, Pramoedya Ananta Toer, sebagai “penjaga” kesusastraan pada zaman itu, juga ikut ambil bagian dalam pengukuhan Kartini sebagai sosok wanita Kiri. Berikut saya kutip, pandangan dari Zen R.S, (2)

Lewat buku yang diterbitkan pada 1962 itu, dia mencoba meyakinkan pembacanya bahwa narasi Kartini yang disusun oleh Belanda itu terlalu menyederhanakan Kartini. Mula-mula Pram menggeledah operasi politik etis kolonial terhadap Kartini, sebagaimana dia membongkar kesengajaan pemerintah praktik membenamkan nama Tirto Adi Soerjo lewat buku "Sang Pemula" dan tetralogi Pulau Buru.

Bagi Pram, Kartini dan Tirto sama-sama korban politik kolonial. Jika Kartini disederhanakan oleh keluarga Abendanon, maka Tirto dibenamkan oleh Dr. Rinkes. Oleh Abendanon, urai Pram, Kartini hanya ditampilkan sebagai pribadi yang peduli dengan pendidikan, dan itu pun pendidikan dalam konteks politik etis kolonial yang mengedepankan gagasan politik asosiasi (kerjasama erat nan mesra antara rakyat terjajah dan penjajahnya).

Dan itu tak cuma diucapkan. Ia mempraktekkannya langsung. Ia menolak dipanggil Raden Ajeng. Ia juga melarang adik-adiknya untuk menyembah dan membungkuk jika hendak berlalu di depannya, suatu aturan yang sebenarnya menjadi norma yang pantang dilanggar di rumah Kartini. Tapi toh ia lakukan juga. Kartini juga tegas mengatakan bahwa adat yang dihayatinya hanya kewajiban menghormat pada orang tua. Selain dari itu ia kritik habis.

Transformasi eksistensi Kartini sebagai maskot tidak berhenti sampai disitu. Orde Baru (Orba), tidak mau kalah cerdik dengan pendahulu-pendahulunya. Kartini tidak dibiarkannya bergeming.

Setelah Gerwani diberangus pada tahun 1965 bersamaan dengan pelarangan PKI dan paham Komunis sebagai paham politik, pola pikir patriarki yang sebelumnya telah hilang direproduksi kembali dengan memposisikan Kartini sebagai seorang Ibu, atau ibuism. Ibuism sendiri menurut Madelon D. Nieuwenhuis, peneliti politik budaya Indonesia, merupakan kombinasi antara konsep peran perempuan kelas borjuis Belanda dengan perempuan priyayi tradisional jawa. (3)

Kartini zaman orde baru kembali ke dapur untuk mengurus masalah domestik. Apalagi, lekat ditanamkan pada zaman itu wanita harus memenuhi Panca Dharmanya, yakni: Ibu sebagai pendamping suami, Ibu sebagai pengelola rumah tangga, Ibu sebagai penerus keturunan dan pendidik anak, Ibu sebagai pencari nafkah tambahan, dan Ibu sebagai warga masyarakat. Posisi wanita dalam warga masyarakat pun adalah sesuai yang diatur oleh lembaga Pembinaan Kesejahtraan Keluarga (PKK) yang mana adalah alat kontrol Orba terhadap gerakan kaum wanita. Kartini kembali ke kandang.


“Apabila kami dengan sangat meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis bukanlah sekali-kali kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, yaitu kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama”

Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902


Pasca Reformasi, Kartini “kembali” keluar ke ranah publik. Emansipasi wanita kembali dielu-elukan. Kartini buatan Abendoen kembali mendapat tempat, bahkan menguat. Wanita kini kembali masuk ke dalam kancah politik, malah sekarang ikut-ikutan memperebutkan kekuasaan. Kartini menjadi maskot kekuatan wanita yang tidak mau dikekang, wanita sebagai manusia bebas.

Transformasi Kartini lebih jauh lagi terjadi pada era globalisasi dan digital. Kartini dituntut lebih luwes, terbuka, dan berani. Kartini dituntut untuk memenuhi kebutuhan zaman untuk bersaing secara global menjadi sosok kritis dan visioner. Kartini sekarang adalah wanita modern, berjas, dan menjinjing gadget.

Kartini, pada akhirnya, selalu menjadi teladan bagi wanita Indonesia. Kartini adalah sosok kuat yang menegaskan posisi wanita dalam pergulatan kehidupan. Sosok teladan ini tidak dimungkiri adalah bagian dari sejarah. Dan, sejarah itu milik penguasa. Maka, secara logis dapat kita katakan bahwa Kartini adalah milik penguasa. Kalau begitu, apakah Kartini masih Kartini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun