Bila kalian pergi ke festival kuliner atau restauran dan memilih untuk membawa pulang makanan, tak jarang kalian akan menemui makanan yang kalian pesan sudah berada di dalam si bandel satu ini: Polystirene Foam atau lebih dikenal di Indonesia dengan Styrofoam. [caption id="attachment_340122" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: grinpek.wordpress.com"][/caption] Saya sendiri telah sering mengalaminya. Hampir dua bulan, saya berkutat dengan kampanye #goodfestival (baca juga: Festival Teladan untuk Bandung Juara), dari event ke event di Bandung. Berbagai alasan hadir ketika pertanyaan: kenapa menggunakan styrofoam? saya lontarkan ke para pedagang. Mulai dari perhitungan biaya, praktis, sulit mencari gantinya, dan pelanggan yang cuek. Sebagian dari mereka menolak untuk mengganti styrofoam sebagai kemasan makanan mereka. Tapi, untungnya sebagian lagi juga merasakan hal yang sama dengan yang saya rasakan: Styrofoam berbahaya. Para pedagang itu bergegas mengganti kemasannya atau dari pertama telah menggunakan kemasan selain styrofoam. Saya akhirnya memahami kunci untuk menghilangkan bahan berbahaya dan merusak lingkungan ini dari peredaran: keberanian untuk memilih. Seberapa penting berhenti menggunakan styrofoam? Luar biasa penting. Montgomery County, salah satu negara bagian di Amerika Serikat, bahkan berani mengambil sebuah langkah besar untuk melarang penggunaan kemasan makanan berbahan styrofoam. Larangan ini mulai berlaku per 1 Januari 2016. [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: bethesdanow.com"]
Many studies have shown that these foam products, especially those used for take out food, makes up a substantial portion of the waste found in our waterways,” Riemer said in a statement. “It never biodegrades, but it breaks apart, making it especially difficult to clean up.
Hans Riemer, salah satu anggota dewan Montgomery County, menyatakan bahwa beban yang ditimbulkan styrofoam ke lingkungan, khususnya badan air cukup berat. Styrofoam tidak dapat diurai oleh lingkungan namun dapat hancur menjadi bagian-bagian kecil, cukup kecil untuk tidak sengaja dimakan oleh satwa liar. Hal ini berpotensi merusak ekosistem setempat. Selain itu styrofoam juga berbahaya bagi kesehatan manusia. Menurut United State Environmental Protection Agency (US EPA), styrofoam yang digunakan untuk bahan kemasan makanan berpotensi menyebabkan kanker (karsinogenik). Kemasan Styrofoam , biasa digunakan untuk wadah makanan panas, ikut meleleh dan mencemari makanan yang ada di dalamnya. Hal menarik yang disampaikan oleh Reimer, "Kami telah menyiapkan alternatif bahan kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dikomposkan dengan harga yang terjangkau, jadi tidak ada alasan lagi untuk terus menggunakan produk berbahan styrofoam." Reimer benar: jalan telah disediakan, sekarang tinggal kemauan. Apakah kita benar-benar punya pilihan? Itu di Montgomery County, 14.500 Km dari tempat kita tinggal. Bayangkan saja 100 kali pulang pergi Jakarta-Bandung lewat tol. Jauh. Bagaimana dengan negara kita sendiri? Apakah mungkin aturan larangan Styrofoam diberlakukan? mungkin saja. Sangat mungkin bahkan. Pertanyaan berikutnya: apakah kita punya alternatif pengganti styrofoam? Indonesia adalah negara yang super kreatif. Kita bisa buat apapun yang kita mau, asal ada usaha. Kita juga punya sumber daya, baik alam dan manusia. Berikut beberapa alternatif kemasan yang dapat digunakan: 1. Kotak Makan (Misting) Alternatif paling keren adalah membawa kotak makanan sendiri kemanapun kita pergi. Dengan begitu kita juga dapat mengurangi penggunaan kemasan, baik styrofoam maupun bahan lainnya. Membawa kotak makanan sendiri juga memberi jaminan kontaminasi pada makanan sesedikit mungkin. [caption id="attachment_340125" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: www.denverstileinstallation.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H