[caption id="attachment_350488" align="aligncenter" width="700" caption="Pelepasan rombongan Nganjang Tasikmalaya (sumber: dok pribadi)"][/caption]
Fajar menyingsing. Mentari dengan segera menyambut kami yang telah berkumpul di Balai Kota. Hawa pagi itu cukup dingin sehingga kami menjaga diri kami tetap sibuk: Ada yang mengatur barisan, ada yang menyiapkan spanduk, ada yang memasukan tas, kardus, dan gitar ke dalam bus seperti hendak berpelesir.
Rombongan kami kemudian berkumpul di depan Taman Balaikota -di depan tulisan "Taman Balaikota" tepatnya. Di depan kami, Kepala BPLH Kota Bandung, Hikmat Ginanjar memberikan sepatah dua patah kata melepas kepergian kami. Tak lupa doa dipanjatkan, masing-masing untuk keselamatan kami selama perjalanan juga agar perjalanan ini jadi tonggak juga penanda bahwa perubahan tidak dapat tercipta hanya dari satu atau dua kelompok tapi harus sinergi dan berkolaborasi seluas mungkin.
[caption id="attachment_350540" align="aligncenter" width="700" caption="Doa Bersama Sebelum Keberangkatan (sumber: dok pribadi)"]
Sebelum kami semua masuk ke dalam bus, beliau berpesan pada saya dan rombongan yang masih tertinggal di belakang "Jaga nama baik Bandung ya." Kami semua mengangguk mengiyakan.
Uniknya, perjalanan ini dimulai dari sesuatu yang awalnya dijauhi: Sampah. Siapa yang sangka berkutat di permasalahan sampah bisa memberikan kesempatan kami untuk membuka cakrawala?
Siapa yang sangka gara-gara sampah kami bisa berkenalan dengan Rokpungsat (Relawan Orang Kreatif Pungut Sampah Tasikmalaya) yang, karena dedikasinya dalam memperjuangkan kotanya menjadi kota yang bersih, begitu menginspirasi?
Siapa yang sangka gara-gara sampah kami bisa bertukar pikiran sampai ke tasikmalaya? Siapa yang sangka?
Berbekal keberuntungan itulah kami menempuh empat jam perjalanan dari Bandung ke Tasikmalaya via Garut. Bus yang kami tumpangi berkapasitas 45 orang serta memiliki fasilitas yang lengkap: Menggunakan pendingin udara, memiliki toilet dan ruang merokok, bahkan penumpang bisa karaoke asal menyiapkan lagu yang sesuai. Segala fasilitas itu pastinya tidak kami sia-siakan dan perjalanan selama empat jam itu jadi terasa amat singkat.
***
Melewati kota Garut, Bus yang kami tumpangi berhenti di Alun-alun kota Garut dan kami putuskan untuk beristirahat sejenak. Tidak buang waktu, kami langsung turun dan menjelajah salah satu landmark kota Garut ini. Incaran kami satu: Es Goyobod yang termahsyur karena kesegarannya. Cukup dengan sepuluh ribu rupiah sudah sanggup menyegarkan kerongkongan kami yang kering. Setelah itu, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Perhentian selanjutnya adalah sebuah warung nasi di dekat kaki gunung Galunggung. Untuk mencapai warung tersebut, kami harus melalui jalan yang hanya cukup dilalui satu mobil dengan kondisi jalan yang membuat dahi berkerut.
Untungnya, kesulitan yang kami alami terbayar dengan suasana yang dihadirkan oleh warung nasi tersebut. Warung nasi tersebut berbentuk saung dan dikelilingi kolam ikan. Di depan warung, Gunung Galunggung menjulang tinggi. Angin semilir berhembus ke dalam saung memanjakan kami yang memang sedang bersantai.
Sayang, makanan masih disajikan dengan banyak kemasan plastik sehingga sampah yang tertinggal sehabis kami selesai bersantap cukup banyak. Gaya hidup praktis, yang telah jadi seperti virus, ternyata telah merambah sampai ke pelosok desa yang notabene masih sangat dekat interaksinya dengan alam. Sebelum meninggalkan warung nasi itu, kami sempatkan memilah sampah yg dihasilkan sehingga lebih mudah untuk menanganinya.
Satu kilometer dari sana, tepatnya di desa Sindang Wakaf, adalah tempat peristirahatan sejenak untuk rombongan kami. Di sekitar saung tempat kami beristirahat, ada aliran sungai yang melintas. Rombongan kami yang memang banyak anak kecilnya, atau ibu-ibu dan bapak-bapak yang merasa dirinya masih muda dan anak muda sungguhan, langsung menyerbu sungai untuk bebersih sekaligus menyegarkan tubuh.
Ada yang memungut sampah yang terbawa arus sungai, ada yang berenang, ada yang genjreng-genjreng bermain gitar. Sungguh, jika melihat pemandangan seperti ini saya merasa bahwa manusia dekat dengan alam memanglah suatu hal yang niscaya.
[caption id="attachment_350547" align="aligncenter" width="383" caption="Sehabis Kehujanan di Garut (sumber: dok. pribadi)"]
Dua jam telah kami habiskan di saung tersebut. Setelah menyelesaikan semua urusan - sholat, mandi, tidur, dan berbincang-bincang - kami melanjutkan kembali perjalanan ditemani rintik-rintik hujan.
***
Akhirnya, kami sampai juga di tempat peristirahatan di Tasikmalaya 15 menit sebelum adzan Maghrib berkumandang. Sesampainya kami disana, teman-teman Rokpungsat langsung menyambut kami dengan hangat. Kami merasa seperti bertemu keluarga.
Kami dijamu dengan banyak jajanan yang menggugah selera: Ada misro, comro, bajigur, es cincau, dan masih banyak lagi yang saya tidak tahu disebut apa. Beuh.
Sambil menikmati hidangan, kami berbincang dengan Kang Uyung yang menjadi salah satu motor Gerakan Moral Rokpungsat ini. Dari perbincangan itu keluar berbagai hal: guyonan, lawakan, kritik, keluh kesah, juga rasa terima kasih. Saya masih ingat Kang Uyung berkata, " Terima kasih, ternyata kami punya teman." Saya terenyuh.
Perasaan itu pula yang kami rasakan saat Rokpungsat pertama kali berkunjung ke Bandung di pertengahan Desember tahun 2014 kemarin. Ternyata, jarak ratusan kilometer ini tidak jadi penghalang untuk sebuah rasa syukur yang sama.
Walaupun tujuan yang ingin dicapai sama: sebuah perubahan, ada batas ego yang terkadang hadir ketika entitas-entitas pendukungnya berjalan beriringan. Sehingga, sering kali sebuah gerakan timbul tenggelam dan terlihat kesepian karena berjalan sendiri tanpa teman. Itulah hal yang sebenarnya ingin diretas oleh kolaborasi. Tembok ego itu yang harus diruntuhkan terlebih dahulu sebelum bisa berjalan yang di jalur yang sama. Itu yang saya rasa terjadi pada perjalanan ini.
Di malam harinya, kami berkumpul bersama, ngariung, untuk mendekatkan diri dan sekaligus saling berbagi pengalaman yang didapat dari kota masing-masing. Diskusi berlangsung santai, dan karena pada dasarnya yang ikut berjiwa muda semua, jadilah malam itu diisi banyak guyon dan canda. Malam yang dingin di Tasik ini jadi terasa menghangat.
***
Minggu pagi (8/1), kami bergerak ke Car Free Day (CFD) di jalan HZ Mustofa. Sesampainya disana, CFD sudah ramai, persiapan untuk peluncuran gerakan Rokpungsat juga telah rampung. Kami kemudian dikumpulkan dan diberi pengarahan untuk gerakan di hari itu. Kami bersiap-siap membagikan trashbag dan sarung tangan. Walaupun gerimis sedikit-sedikit membasahi kulit saya, tidak jadi soal ketika melihat semangat teman-teman Rokpungsat dan relawan Gerakan Pungut Sampah yang seakan dapat membelah mendung.
[caption id="attachment_350536" align="aligncenter" width="600" caption="Peluncuran Gerakan Rokpungsat (sumber: dok pribadi)"]
Tiga puluh menit kemudian, walikota Tasikmalaya, Budi Budiman yang datang dengan bersepeda, kemudian membuka sekaligus meluncurkan gerakan Rokpungsat ini. Kegembiraan tumpah ruah. Setelah selesai seremoni, kami semua turun ke jalan untuk mengedukasi warga agar meletakan sampah pada tempatnya sekaligus turun tangan memungut sampah yang berceceran. Bahkan Pak Walikota juga ikut memunguti sampah di CFD saat itu. Semua orang bergerak.
Inilah kolaborasi yang ingin dibangun. Semua pihak bisa sinergi. Pemerintah, masyarakat, pengusaha, dan media bisa jadi pilar perubahan ketika bekerja sama dengan porsi yang sama. Kebetulan saat peluncuran gerakan Rokpungsat ini semua elemen hadir. Masyarakat diwakili oleh komunitas, media hadir sekaligus memperingati Hari Pers Nasional ikut meliput, Perusahaan-perusahaan juga membantu mendukung berjalannya acara, pemerintah hadir untuk melegitimasi gerakan masyarakat ini. Komplit.