Mohon tunggu...
Gedang Kepok
Gedang Kepok Mohon Tunggu... -

Gedang Kepok adalah nama pena untuk penulis Kompasiana ini. Karena satu dan lain hal, identitas asli Gedang Kepok belum bisa diungkapkan di profil penulis. Gedang Kepok tertarik dengan banyak hal, mulai dari politik, budaya, dan humaniora. Semua tulisan akan diabdikan untuk kebebasan berpikir, kemanusiaan, dan demokrasi! Salam Kompasiana! God bless Indonesia!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi Merah Putih Ancam Demokrasi

6 September 2014   06:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:29 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prabowo sudah kalah. Calon presiden dari koalisi merah putih ini tidak bisa move-on. Hati galau dan pikiran kacau. Dan yang paling mengerikan, langkah-langkah oportunis untuk mengebiri demokrasi terus dilakukan. Prabowo yang dulu pernah sesumbar bahwa orang bisa berkuasa dengan membeli partai, sekarang benar-benar mau merealisasikan niatnya dengan mendukung undang-undang yang anti-pemilihan langsung kepala daerah. Alasannya klasik, pemborosan anggaran dan korupsi. Menurut Gedang Kepok, alasan murni dibalik gerakan ini adalah proses pengebirian demokrasi dan kembalinya ideologi orde baru yang mengedepankan militerisme dan demokrasi semu untuk kepentingan kekuasaan ke depan.

Pertama-tama, kekalahan Prabowo dalam proses demokrasi langsung betul-betul mengguncang kubu Gerindra dan koalisinya. Betapa tidak! Investasi untuk memoles Prabowo sudah dilakukan sejak lama dengan dana yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Ini adalah ongkos demokrasi yang sangat mahal bagi Prabowo untuk menjadi presiden Indonesia. Sayang sekali, tukang mebel yang merakyat telah menggagalkan semua rencana Prabowo untuk kembali berkuasa seperti Suharto. Alih-alih melakukan evaluasi diri dan tim pemenangannya, Prabowo, the sore loser, malah menyalahkan proses demokrasi.

Bagi Prabowo, proses demokrasi langsung, ternyata lebih sulit diintervensi. Rakyat Indonesia salut dengan KPU yang jujur dan transparan dan sejak awal sudah dikawal oleh banyak kalangan. Prabowo, sebaliknya, merasakan pahitnya proses transparan ini karena pihak mereka kesulitan mengintervensi dan kesulitan membujuk rakyat untuk memilih tokoh yang sudah lama dicitrakan tegas dan pro rakyat. Sayang sebagian besar rakyat Indonesia sudah pintar (tidak seperti anggapan Prabowo yang telah menganggp rakyat Indonesia bodoh dan culun) dan mereka bisa membedakan mana karakter polesan dan suka meniru-niru dengan karakter otentik, jujur dan merakyat. Dengan kekalahan ini Prabowo dan koalisinya betul-betul kecewa dengan proses demokrasi.

Undang-undang untuk menghapuskan PILKADA, yang dulu pernah didengungkan Partai Demokrat, sekarang diambil alih oleh Prabowo dan koalisi untuk menggerogoti demokrasi. Bayangkan saja, betapa berkuasanya nanti orang-orang yang punya uang dan kekuasaan untuk mengintervensi DPRD. Kita akan kembali ke  era yang bisa lebih buruk dari orde baru. Menyumbal mulut anggota DPRD dengan uang, menurut perhitungan Prabowo dan koalisi, akan lebih murah dari proses demokrasi langsung PILKADA yang adil dan transparan. Terbuka pula kesempatan anggota partai yang terpilih di DPRD untuk menyedot uang rakyat demi kepentingan pribadi, golongan dan partai mereka.

Ini baru langkah awal Prabowo dan koalisinya dan mereka yang ber-ideologi militerisme untuk kembali berkuasa di Indonesia. Bayangkan kalau nantinya koalisi hitam ini bisa memenangkan agenda-agenda korup mereka di tingkat nasional? Dengan komposisi DPR sekarang, tanpa pemilihan langsung, Prabowo sudah bisa jadi presiden dan kita tidak akan tahu nasib demokrasi di negeri ini.

Kalau penghapusan pemilihan langsung kepala daerah ini sukses, sepertinya akan ada kesempatan bagi para mahasiswa untuk turun ke jalan lagi. Kedok partai-partai yang akan menelikung demokrasi harus dikibarkan di tiang-tiang tinggi. Kalau perlu, nama-nama partai dipahatkan di trotoar untuk mengingatkan siapa yang anti demokrasi dan punya agenda untuk mengebiri suara rakyat dengan janji-janji palsu berkedok anti korupsi and efisiensi.

Salam Kompasiana! Salam Demokrasi! Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun