GOLKAR sejak awal sudah cerdik. Dengan dana yang hampir tidak terbatas dan dukungan militer, intellijen, dan dan diam-diam CIA, berhasil membungkam rezim Orde Lama sekaligus mengebiri gairah rakyat untuk berpartisipasi dalam politik. Suharto tahu betul bahwa rakyat Indonesia masih lapar dan yang diperlukan adalah beras dan kestabilan keamanan yang mendukung perekonomian. Azaz Pancasila dengan perwakilan ditekankan. Partai politik disederhanakan dan dikooptasi untuk kepentingan rezim. Suharto, dan lingkaran kekuasaannya menguasai semua sumber daya Indonesia. Dan Orde Baru dengan bangga mengatakan Indonesia adalah Negara Demokrasi Pancasila karena semua tentram dan rakyat tampak bahagia.
Kepatuhan rakyat ini memang telah dibayar mahal saat ribuan orang dibunuh dan dilenyapkan dan juataan lainnya di buang di pengasingan dan di-Buru-kan. Ceritanya sudah lama dan mungkin generasi muda yang lahir setelah peristiwa itu sudah lupa. Namun teror mental ini telah menjadi hantu yang membuat rakyat Indonesia patuh dan diam selama 30 tahun di bawah Orba. Ketidakadilan tidak berani disuarakan dan rakyat dijauhkan dari hiruk-pikuk politik kekuasaan.
Demokrasi Pancasila Orba adalah demokrasi semu. Militerisme dan totaliterisme yang dibungkus dengan Pemilu setiap lima tahun untuk memilih wakil rakyat yang ditunjuk partai penguasa tidak ada pengaruhnya bagi rakyat kebanyakan. Hanya mereka yang dekat keuasaan, mengabdi pada rezim akan mendapat keuntungan, akses ekonomi, dan kekuasaan. Lagu Iwan Fals, Wakil Rakyat, sangat akurat menggambarkan demokrasi ala Orba. "Wakil rakyat seharusnya merakayat ..."
Sangat efektif demokrasi semu ini berjalan mendukung pemerintahan karena tidak ada kebebasan pers dan hanya ada satu TV corong pemerintah: TVRI. Setiap hari ada berita baik daimana Pak Harto meresmikan Bendungan, Pabrik, dan berdialog dengan petani. Sementara mereka yang kritis dan menentang kekuasaan diam-diam dibungkam atau dihilangkan. Demokrasi semu inilah yang terus ditanamkan dalam bidang pendidikan denga penataran P4 di setiap jenjang pendidikan. Intinya adalah, Demokrasi Pancasila versi Orba adalah yang terbaik karena menjamin semua warga Negara hidup aman di bawah satu kepemimpinan kuat dukungan militer. Korupsi dan nepotisme dizamin selama menguntungkan rezim dan keluarganya. Penghisapan terhadap rakyat dilegalkan dengan undang-undang, seperti tata niaga cengkeh, yang mencekik petani dan membuat Tomi Suharto kaya raya.
Reformasi telah menjatuhkan rezim Suharto tetapi tidak menghancurkan aparatur politiknya. Golkar mengaku sudah bertransformasi menjadi partai baru yang mendukung demokrasi. Muncul pula partai-partai baru lain--meski para pendirinya tak jauh dari partai penguasa zaman Orba. Tak heranlah, pemikiran reformasi tidak pernah tuntas dan ideologi militerisme mudah muncul di saat mereka tidak siap kalah.
Sejak zaman reformasi, Golkar mengalami pasang surut namun posisinya tetap dominan karena memiliki sumber daya dan sumber dana kuat warisan Orba. Namun demikian, posisi dominan ini tidak pernah berpuncak pada presiden. Sejak pertama Pemilu langsung, calon presiden Golkar selalu gagal. Paling tinggi adalah JK sebagai wakil presiden--itu pun awalnya bukan mewakili partai. Tragisnya lagi, kepemimpinan Ical betul betul telah menunjukkan kembalinya ke-Orde-Baru-an Golkar. Kegagalan Ical sebagai calon presiden tidak mencerminkan besarnya suara yang diperoleh partai ini. Tanpa malu-malu lagi, Golkar dengan cerdik mendorong Koalisi Merah Putih untuk menelikung demokrasi. Dengan demokrasi langsung, tokoh Golkar yang rata-rata kaya, sulit dipilih rakyat karena mereka elitis dan tidak membumi serta hanya mementingkan kepentingan elit partai. Pemilihan langsung jelas dalam jangka panjang akan mengerdilkan Golkar karena sedikit demi sedikit, suara rakyat akan pergi. Satu-satunya cara hanyalah menelikung demokrasi dan mengembalikan lagi kekuasaan elit di tangan DPRD.
Di saat normal, ide ini tentu saja akan ditolah oleh partai-partai tengah hasil reformasi. Tapi, hari-hari ini bukanlah hari normal karena ternyata suara rakyat sudah tidak bisa ditunggangi. Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU cukup transparan dan dikawal oleh banyak kalangan--sulit untuk diintervensi. Dan mereka yang pernah kalah bertubi-tubi, tidak sabar dan tidak percaya pada demokrasi. PKS yang didera korupsi sapi, sangat sulit meyakinkan rakyat banyak untuk memilih pemimpin-pemimpin mereka. PAN dengan Amien Rais sama saja--pernah mengalami kekalahan dalam pemilihan langsung, demikian pula anaknya, tidak berhasil mendapat dukungan cukup untuk menjadi walikota di Yogyakarta. Dan Gerindra, dengan Prabowo yang masih tidak legowo, tentu saja tidak menolak untuk balas dendam--mengebiri dan menjegal pemenang.
Klop sudah, Golkar diam-diam bersiap menelikung demokrasi dan menggarong suara rakyat. Lihat saja, warna kuning adalah warna dominan kekuasaan kalau dilihat dari keterpilihan DPRD di seluruh Indonesia. Pembagian kekuasaan dengan partai-partai lain tidak menjadi soal, Golkar pada akhirnya akan tetap akan menjadi partai elit yang korup tetapi dominan karena bisa membayar preman-preman dan calo-calo kekuasaan.
Gedang Kepok sedang berduka melihat demokrasi dikebiri dan Golkar diam-diam mengembalikan zaman Orde Baru!
Salam Kompasiana! Salam Demokrasi! Semoga suara rakyat tetap jaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H