Mohon tunggu...
Gedah Gantini
Gedah Gantini Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pengen punya sekolah gratis dan perpustakaan umum....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bukan Pagi atau Siang, Aku Suka Tasik di Sore Hari

23 Oktober 2013   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:08 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana dengan perkembangan jiwa mereka?

Bagaimana kualitas mental mereka?

Apakah seimbang seiring kemajuan kota-nya?

Bagaimana kualitas para pendidik di kota ini?

Sejauh mana kontribusi mereka (pendidik, pengusaha, tokoh masyarakat, dsb.) terhadap kemajuan sebuah kota?

Tidakkah kita dapat melihat bahwa generasi muda sekarang lebih ‘permissive’ terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan atau norma-norma?

Solusi apakah yang tepat yang dapat kita berikan untuk mengantisipasi semua ini?

Kontrol masyarakat seperti apa yang tepat diberikan pada pemerintah yang sekarang sedang berkuasa?

Dalam artikel yang ditulis Ahda Imran, Jejen dan Valerie menuturkan: “ Kota dalam masyarakat modern merupakan representasi dari penguasaan sebuah wacana yang menjadi penguasa. Disadari betapa siapapun yang memenangkan wacana dalam suatu masyarakat, maka dengan wacana itulah ia akan menjadi penguasa. Penguasa yang memiliki otoritas untuk mengontrol dan membentuk cara berpikir masyarakat tersebut. Penguasaan wacana dalam ranah linguistik bisa dilihat dalam penunjuk jalan sebagai bentuk penguasaan simbolis. Ia akan menjadi semacam kejahatan terselubung yang tidak disadari masyarakat.”

Mengutip tulisan Imran bahwa: ”Jejen dan Valerie meminjam teori sosiolog Prancis Bourdieu, yakni ihwal kekerasan simbolis (symbolic violence). Dalam teori itu mengemuka pemikiran kritis bahwa terdapat bentuk tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bahasa. Kekerasan simbolis merupakan kekerasan dalam bentuknya yang halus dan lembut. Kekerasan yang dikenakan pada agen-agen social tanpa mengundang resistensi, malah sebaliknya menjadi sebuah kompromi karena telah mendapat legitimasi yang juga terjadi secara terselubung dan halus.”


Lalu bagaimanakah teori ini jika disandingkan dengan ‘quotation’ Mahatma Gandhi mengenai Seven Social Sins (Tujuh Dosa sosial) yang aku baca dari buku catatan harian Dr. Dino Patti Djalal yang berjudul HARUS BISA! Seni memimpin ala SBY.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun