Mohon tunggu...
Gedah Gantini
Gedah Gantini Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pengen punya sekolah gratis dan perpustakaan umum....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bukan Pagi atau Siang, Aku Suka Tasik di Sore Hari

23 Oktober 2013   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:08 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat dengan All I really want-nya Alanis Morissette? Yeah…lagu ini mengantarkan ku tepat di depan RM. AMPERA dan mengubah ‘mood’ ku menjadi lebih ceria. Berdiri tegak di hadapanku sebuah tugu tepatnya di bawah sebuah layar televisi besar yang memeriahkan sore ku hari ini. Mungkin jika kupantau dari udara bisa kulihat sepanjang jalan KHZ. Mustofa yang terbentang sampai di ujung sana. Ah betapa telah berubah nya kota kelahiranku, apalagi setelah berdirinya sebuah Mal atau pusat perbelanjaan terlengkap dan terbesar di sini; Asia Plasa.

Seingatku dulu sekali, jauh sebelum saat ini. Pusat perbelanjaan tidak sebanyak ini di kotaku, hanya ada beberapa saja. Waktu aku masih di sekolah dasar, ibu selalu membelikanku baju seragam sekolah di toko Samudera yang pertama, dan dulu juga, nenek suka membelikan baju lebaran untuk cucu-cucunya jika tidak di Toko Paris ya pasti di Toko Pengsin. Bergiliran kami (cucu-cucu perempuannya) di bawa ke toko-toko itu dengan HardTop hijau kebanggaan kakekku, dipilihkannya baju-baju dengan model sama tapi berbeda warna. Jika tidak salah aku kebagian baju balon polkadot berwaran merah muda, sementara kedua sepupuku yang lain berwarna merah dan oranye. Khusus ibu, beliau selalu membelikanku dres-dres panjang berbunga yang bertali di belakangnya. Anggun.

Kemajuan fisik yang terjadi tidak hanya di sepanjang jalan Hazet saja, tetapi juga tentu di belahan kota Tasikmalaya yang lain. Pusat perbelanjaan, distro-distro yang menyediakan baju-baju limited edition, warnet-warnet yang semakin mudah ditemukan di setiap sudut jalan, begitu ramai dan penuh pengunjung mengalahkan perpustakaan umum yang terletak di kawasan Dadaha, Cikalang tepatnya. Jarang sekali kutemukan lagi anak-anak kecil yang bermain di lapangan Voli atau sepakbola akhir-akhir ini, kecuali tentu anak sekolahan yang sedang mengikuti pelajaran olahraga di lapangan sekolah. Kebanyakan mereka, hari ini, setelah pulang sekolah pasti bergegas ke warnet untuk bermain games-online, chating atau sekedar meng-update status di Facebook. Pecle, Enggrang, sorodot gaplok, catcat-an, boyboy-an, galah, ular tangga, ucing sumput menghilang tergantikan permainan2 yang lebih canggih dan individualis.

Sweet Disposition – The Temper Trap menemaniku kali ini…

Sepanjang jalan ini kupastikan kita tidak akan melihat lagi satu petak pun sawah. Semua berganti bangunan-bangunan baru, tempat-tempat baru yang lebih bersifat komersial. Memandangi ini semua mengingatkanku pada satu artikel yang luar biasa kontemplatif yang ditulis oleh Ahda Imran dan telah di muat di harian Pikiran Rakyat, pada hari minggu lalu tanggal 18 bulan April 2010, tentang; “Kota dan Labirin Konsumerisme.” Beliau (Ahda Imran) menjelaskan pendapatnya mengenai kota Bandung yang terinspirasi dari sebuah pertunjukan Instalasi Labirin karya Jejen Jaelani dan Valerie Putti K, peserta Lateral School dalam Final Project yang dipresentasikan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), 14 April 2010. Final Project mereka berjudul “Kisah Kota yang Terluka”.

Menurut Imran bahwa: “karya yang dipresentasikan oleh Jejen dan Valerie yang terbuat dari material kardus yang dilapisi koran, dengan dimensi 8x5x2 meter merupakan deskripsi dari Kota Bandung sekarang yang semakin sesak dan dikonstruk oleh berbagai kepentinagan komersial. Kota dan seluruh ruang di dalamnya dibangun bukan lagi untuk untuk kepentingan publik, melainkan demi melayani hasrat-hasrat kuasa para pemilik modal. Lihatlah, berbagai penunjuk jalan pun muncul dan memberi informasi ihwal lokasi komersial, mulai dari mal hingga factory outlet sehingga seluruhnya seolah telah menjadi bagian utuh dari tubuh kota. Inilah kisah kota dalam labirin konsumerisme. Kota yang tubuhnya dipenuhi oleh kekerasan simbolis.”

Tentu aku berharap bahwa kotaku, kotamu, kota kita kelak tidak akan seperti ini ataukah sedang menuju kearah sana tanpa kita sadari?

Sejauh manakah keterlibatan kita sebagai generasi muda terhadap kemajuan sebuah kota? Khususnya kota yang kita tinggali sekarang.

Apakah kemajuan dan sehat tidaknya sebuah kota hanya dapat diukur dari munculnya bangunan-bangunan baru yang didirikan untuk kepentingan pemegang modal semata?

Bagaiamana dengan perkembangan sosial generasi mudanya?

Bagaimana pendidikan mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun