Dulu, saya mengira bahwa menjadi seorang guru  adalah yang pekerjaan yang cukup mudah karena hanya menyampaikan materi-materi pembelajaran yang sudah tersedia. Tetapi setelah sekitar lima tahun mengajar aktif di sekolah dasar negeri dan sekarang mengajar di sekolah yang memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus, saya harus mengakui bahwa pekerjaan ini tidak lah mudah. butuh kesabaran dan kecerdasan extra tinggi untuk menangani mereka.
Sebenarnya belum lama saya mengajar di sekolah ini, baru sekitar beberapa bulan saja. tetapi berawal dari ketertarikan saya pada dunia psikologi pendidikan khususnya anak-anak dan saya adalah salah satu pembaca Torey Hayden, maka tidaklah  terkejut apabila sekarang banyak dihadapkan dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Contohnya anak dengan diagnosa Asperger Syndrome, Autism, AD/HD, Crying Cat Syndrome dan lain sebagainya. Pertama kali masuk dan melakukan observasi di sekolah ini, saya langsung terpana dengan keberadaan anak-anak spesial ini. I feel blessed, indeed! Di sisi lain ini merupakan tantangan baru bagi saya berhadapan dengan mereka.
Walaupun saya hanya mengajar Bahasa Inggris, tetapi sebisa mungkin saya mencoba terlibat secara emosional dengan mereka, berharap bisa menyelami 'dunia' mereka. Sangat susah dan butuh kehati-hatian yang tinggi untuk memahami mereka. Memang tidak semua anak-anak di sekolah ini anak berkebutuhan khusus (ABK) banyak sekali anak-anak yang 'normal' tetapi mau ABK atau anak normal, mereka tetap anak-anak yang memiliki keunikan masing-masing. Mereka jiwa-jiwa yang bebas!
Tidak heran jika saya membaca artikel-artikel atau literatur-literatur pendidikan sekolah dasar diluar negeri sana, mereka guru-guru yang terlibat adalah guru-guru yang berkualitas  dan berjenjang pendidikan yang luar biasa tinggi karena memang menghadapi dan mendidik  anak-anak adalah hal yang membutuhkan pengetahuan dan kesabaran yang luar biasa.
Kesempatan kali ini izinkan saya untuk memperkenalkan salah satu anak spesial di sekolah kami, sebutlah Muhamad Adrian, bukan nama sebenarnya. Seorang siswa kelas Delapan berumur 12 tahun 1 bulan yang di diagnosa oleh seorang Psikolog sebuah Klinik spesialis, Klinik perilaku dan perkembangan anak di Kota Bandung sebagai penyandang Asperger's Disorder atau Asperger Syndrom.
Berdasarkan sumber terkait yang dapat di percaya, Asperger Syndrom adalah suatu gangguan bermakna pada interaksi sosial serta adanya keterpakuan dan keterbatasan pada pola perilaku, pola minat, dan pola aktivitas,namun tidak ada gangguan pada kemampuan berbahasa dan perkembangan Kognitif serta tidak ada hambatan dalam menolong diri sendiri maupun keingin tahuannya terhadap lingkungan yang sesuai dengan tingkat usianya.
"Sindrom ini ditemukan olehHans Aspergerpada tahun1944. Sindrom Asperger dibedakan dengan gejala autisme lainnya dilihat dari kemampuanlinguistikdankognitifpara penderitanya yang relatif tidak mengalami penurunan, bahkan denganIQyang relatif tinggi atau rata-rata (ini berarti sebagian besar penderita sindrom Asperger bisa hidup secara mandiri, tidak seperti autisme lainnya). Sindrom Asperger juga bukanlah sebuah penyakit mental." Â (http://id.wikipedia.org/wiki/Sindrom_Asperger)
Seperti apa yang telah dijelaskan di atas bahwa Asperger bukanlah sebuah penyakit mental. Penyandang sindrom ini bertingkah laku hampir sama seperti kebanyakan anak-anak yang lain, namun terjadi satu keterbatasan tertentu pada satu pola perilaku. Contoh nyata dari keterbatasan yang dapat saya lihat dari Adrian adalah pada saat dia tidak mampu mengakomodir ketakutan dan kepanikan nya pada saat dia terlambat dijemput oleh ibunya, jika dibandingkan dengan anak-anak yang lain, dia terlihat begitu kaku, Â tubuhnya gemetar, wajahnya memerah dan hampir menangis. Sementara anak yang lainnya (normal) berlaku seperti biasanya; menunggu sambil bermain atau berinteraksi dengan guru-guru atau bahkan berlari-lari di taman bermain.
Untuk masalah intelektual, Adrian adalah adalah anak yang cerdas bahkan sangat cerdas dengan potensi Original rasio kecerdasan 138-skala Wecshler dan berkapasitas "Very Superior" . Walaupun pada saat ini belum berfungsi secara optimal, namun kecerdasan verbal dan performance nya masih di atas nilai rata-rata atas. Hal ini, membuat Adrian tidak mengalami kesulitan yang berarti dari segi akademis, namun hal yang paling menonjol adalah ketidaksabaran dia untuk selalu cepat dan terburu-buru mengerjakan tugas yang menyebabkan terjadinya banyak kekeliruan dalam proses pengerjaanya. Disinilah peran guru kelas dimainkan! Bahwa guru kelas harus dapat memahami dan mengakomodir keterbatasan Adrian adalah satu hal yang membutuhkan pemahaman dan kesabaran yang tinggi.
Hal lainnya yang paling menonjol dari Adrian adalah kepekaannya terhadap lingkungan dan keingintahuannya yang super tinggi sehingga menjadikan dia sebagai penanya ulung. Saya jamin, ketika Kompasianer menjawab satu dari pertanyaan dia, maka janganlah heran apabila muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya yang beruntun bahkan pertanyaan yang mungkin menurut kita tidak memerlukan jawaban. Â Saya masih ingat waktu pertama kali mengajar Adrian untuk pelajaran Bahasa Indonesia menggantikan guru mata pelajaran yang berhalangan hadir, Adrian langsung memperlihatkan pola tingkah laku yang lebih aktif dibandingkan anak-anak yang lainnya. Belum juga menjelaskan kenapa saya yang mengajar Bahasa Indonesia, Adrian langsung bertanya: " Halo MisGe apa kabarnya?" Â saya jawab "baik Adrian". Pertanyaan lainnya menyusul bertubi-tubi; "Kenapa MisGe pake Kaca mata? kenapa matanya minus? sejak kapan pake kacamata, Mis? pusing tidak? itu minus berapa?" dan sebelum saya jawab semua pertanyaan-pertanyaan itu, Adrian kembali bertanya: "Kapan MisGe Menstruasi?". Akhirnya saya hanya tersenyum dan guru kelas membantu "menertibkannya." :)Â
"Repeating Question" adalah ciri selanjutnya. Pada satu waktu di kelas Bahasa Inggris dia ditugaskan membuat  menu Healthy Food, tetapi karena pertemuan sebelumnya dia tidak hadir, jadi saya memperlihatkan hasil tugas temannya sebagai contoh saja. Tanpa sepengetahuan saya, ternyata dia membuat hal yang sama persis dengan contoh tadi, maka dari itu saya menegurnya dan menyebutnya sebagai flagiator sembari bercanda. Alhasil dia malah ketawa-ketawa senang karena disebut flagiator, saya heran. Dan selama hampir dua minggu kedepan Adrian membahas masalah yang sama dan mempertanyakan mengapa saya menyebutnya flagiator; tentulah jawaban sayapun sama setiap hari selama dua minggu itu.
Terkadang kita merasa bingung harus bagaimana menghadapi anak-anak yang istimewa ini. Namun, yang paling penting untuk dilakukan pertama kali adalah menerima dan memberikan ruang kepada mereka untuk berekspresi sehingga mereka merasa nyaman dan merasa diterima oleh lingkungan. Tidak lupa kesadaran dan keikhlasan dari banyak pihak (Orang tua, Guru, Masyarakat luas dan Pemerintah) untuk menghadapi dan mengakomodir mereka para anak berkebutuhan khusus.
Pemerintah, khususnya dunia Pendidikan harus lebih 'melek' (concern)dengan generasi muda seperti Adrian dengan memberikan informasi dan pengetahuan seluas-luasnya pada masyarakat mengenai anak-anak berkebutuhan khusus. Memfasilitasi mereka dengan sarana pendidikan dan tenaga pendidik yang berkompeten untuk menangani mereka. Karena mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Bandung, 9 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H