Bukan karena tindakanku barusan, melainkan karena sejumlah besar airmata yang menggenang di kedua pelupuk mataku.
Aku bukan perempuan cengeng.
Aku tidak suka menangis.
Tapi, kemarahan yang tak tertahankan sanggup menjebol tanggul air mataku yang selama ini orang pikir sudah kering kerontang.
“Apa bedanya aku sama Okta ? “
Akhirnya suaraku keluar juga.
Meski serak, macam engsel pintu kayu karatan yang dibuka paksa.
Aku kesal.
Tak habis pikir rasanya.
Apa bedanya, aku dengan si Okta ?
Kenapa Okta yang sama-sama menyatakan perasaan padamu bisa kau tolak dengan mudahnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!