Mohon tunggu...
PEMULA27
PEMULA27 Mohon Tunggu... Petani - Terima kasih

Petani Berdasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pa'an Olo, Igur Muzi: Sebagai Pengontrol Kebiasaan dan Pemersatu Masayarakat dalam Budaya Manggarai Timur, Flores NTT

31 Mei 2023   21:49 Diperbarui: 2 Juni 2023   18:53 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input shttps://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fkanisiusdeki.blogspot.com%2F2016%2F05%2Fritus-teing-hang-orang-manggarai1.html&psig=AOvVaw3QV

Pengantar

Negara Indonesia memiliki kekayaan yang sangat beragam yakni berbagai macam ragam suku, adat istiadat yang terbentang dari sabang sampai Maraoke. Pa'an Olo, Igur Muzi adalah salah satu dari sekian banyak sistem tata kelola masyarakat Manggarai Timur dalam mengatur sistem kelola hidup bersama dan kebijaksanaan untuk mengatur pola hidup agar tetap hamonis. 

Pandangan tentang Pa'an Olo Igur Muzi adalah suatu aktivitas bersama-sama menuju sebuah kehidupan yang baik. Hal ini dilandasai dalam suatu kesadaran dari berbagai pihak yang berbeda namun melebur menjadi satu yakni terbentuknya sebuah kebersamaan yang sejahtera dan setara. Satu nada, satu rasa ini juga yang menjadi titik tolak dalam mewujudkan  Pa'an Olo Igur Muzi bagi setiap masyarakat Manggarai yang memimpikan sebuah kekeluargaan yang baik dan masyarakat yang toleran satu sama lain.

  • Mengenal istilah Pa'an Olo Igur Muzi!

Dalam budaya masyarakat Manggarai Timur istilah Pa'an Olo Igur Muzi menjadi istilah yang paling familliar dikalangan ruang lingkup kebudayaan setempat. Pertama-tama istilah Pa'an Olo yang berarti orang tua, tua adat atau singkatnya orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan). Kedua Igur Muzi yang berarti orang muda atau singkatnya anak muda hingga bayi, entah perempuan maupun laki-laki). Jika diartikan secara umum orang tua sampai yang muda baik perempuan maupun laki-laki. Tujuan terbentuknya istilah ini atau semboyan ini ialah membangun persaudaraan yang erat antara manusia yang satu dengan yang lain baik dari pihak yang tua sampai yang muda. 

Yang tua menjadi figure utama dalam menjalnkan tugas dan yang muda sebagai penerus untuk mengikuti kehidupan yang lebih tua. Sikap penyatauan yang dimaksudkan ialah mencakup beberapa pokok penting yang sangat vitalitas dalam kehidupan bersama: Pa'an Olo Igur Muzi diperuntuk bagi semua mayarakat setempat untuk mengontrol kebiasaan, atau aktivtas kultural budaya atau menjalankan norma Pancasila sebagai falsafa negara tanpa membeda-bendakan umur atau kedudukannya. Di samping itu istilah ini berfungsi untuk mengerakan dan mengarahkan masyarakat setempat untuk mencapai kesejahteraan bersama dan mengungkapkan adanya tali persaudaraan yang erat. 

Istilah Pa'an Olo Igur Muzi juga bisa melahirkan beberapa poin penting untuk dilaksanakan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk terutama dikalangan masyarakat Manggarai Timur dan dalam budayannya misalnya:

Di dalam suatu bangsa Indonesia ini, pasti memiliki kepercayaan yang berbeda-beda. Maka semua lapisan masyarakat Manggarai Timur harus meghargai kepercayaan dan kebebasan untuk memeluk agama bagi setiap mayarakatnya yang percaya dan Pa'an Olo Igur Muzi menjadi semboyan adat yang menjamin agar kesatuan antara umat yang beragama dan majemuk tetap bersatu. Istilah ini juga mengedepankan atau mengontrol sikap toleransi yang begitu erta dengan menjalin relasi yang baik dengan orang-orang yang berbeda agama, suku, ras dan sebagainya. Di lain pihak Istilah di atas dapat mengayumi kehidupan bersama yang kokoh dan tidak tergoyahkan atau bahasa lainnya ialah Etan Tua Wan Koe, Mai Cama-Cama Padir Wai Retu Sai Kudu Mose Cama-Cama Sebagai Ciptaan Mori Agu Ngaran Ata Dedek Tanah Lino Ho'o artinya dari yang tua sampe yang muda wajib menjunjung tinggi nilai kesetaraan dalam hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan dan yang hidup dalam dunia yang sama. 

Dengan demikian bahwa istilah Pa'an Olo Igur Muzi menjadi semboyan adat dalam etnis Manggarai Timur sebagai pesersatu kehidupan dan bagi penulis, istilah ini sangat relevan dan berdaya guna untuk dikembangkan dan dijalani kapan pun dan dimana pun kami berada walaupun beberapa pion penting dalam istilah ini, jika berada pada budaya lain masih berberda: entah cara menjalankannya, cara membahasakannya, cara menilainya tetapi pada akhirnya akan mencapai seuatu yang mengarah pada semboyan Bhineka Tunggal Ika.

  • Sejauh mana dapat membantu atau menghalangi (sebagai pendatang) untuk beriteraksi dalam budaya tuan rumah?
  • Semboyan adat Pa'an Olo Igur Muzi sebagai sarana untuk membantu dalam berinterakasi dengan budaya tuan rumah:

Sebagai seorang pendatang di pulau Jawa. Istilah Pa'an Olo Igur Muzi menurut kami masih begitu relevan dalam membantu dan juga mendukung kami untuk berelasi dengan masyarakat setempat agar menyesuaikan diri dengan situasi dan kebuadayaan yang berbeda. Istilah ini jika ditelusuri secara lebih jauh banyak mengandung arti yang posistif seperti diyakini oleh mayarakat Mangaarai Timur dan masyarakat sekitar yang mengedepankan hidup bersama dan tanpa membedakan satu dengan yang lain. Hal ini didasari bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan derajatnya sama, hanya saja ada yang lahir terlebih dahulu dan ada yang kemudian maka untuk menyatukan itu semua semboyan ini menjadi pemersatu dalam mengontrol dan menjalnkan hidup bersama. Secara lebih spesifik bahwa dalam pergaulan kami selalu menggunakan semboyang ini untuk berdialog dengan masyarakat yang kami jumpai di Jawa ini tanpa menghilangkan nilai-nilai positif yang diajarkan oleh pendahulu-pendahu di Manggarai Timur. Menarik bahwa ada banyak kesamaan walaupun beberapa konsep lain ada yang berbeda pandangan dan cara menjalankannya.

  • Semboyan Pa'an Olo Igur Muzi, menjadi sarana "penghalang" untuk berintersaksi dengan budaya tuan rumah.

Dinamika kehidupan dan cara menjalankan hidup yang berbeda tentu bukanlah suatu hal yang asing dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Menurut kami bahwa Pa'an Olo Igur Muzi bisa juga menjadi "batu sandungan" bagi masyarakat setempat yang kami jumpai dalam berinteraksi terutama masyarakat di Jawa yang kami tinggal saat ini. Pertanyaan mengapa? Untuk menjawab pertanyaan ini kami memulainya dari contoh konkret: misalnya di pulau Jawa, adanya sistem percakapan yang halus dan kasar, kemudian ada juga percakapan yang diperuntukan kepada orang yang lebih tua dengan gaya bahasa yang digunakan berbeda-beda, dst. Jika di bading dengan istilah Pa'an Olo Igur Muzi, suatu kenyataan yang sangat berbeda karena di dalam masyarakat Manggarai Timur, dalam menjalankan semboyan adat ini semua berbaur dan gaya bahasa tentu menggunakan bahasa yang sama untuk semua kalangan: baik yang muda mau pun yang tua tanpa harus ada sekatnya, tetapi perlu digaris bawahi yaitu harus berada pada korodor yang benar menurut tata cara adat Manggarai Timur.

Berbading terbalik dengan keadaan di Jawa. Bagi kami memang ini terlihat sebagai masalah sepele tetapi bagi masyarakat Jawa mungkin dianggap sebagai hal yang "kurang sopan".  Jika kami ingin berandai-andai, mungkin mayarakat Jawa akan merasa aneh ketika kami berbicara dengan yang tua menggunakan nada yang keras, tegas, terlihat seperti orang yang sedang bertengkar tetapi bahwa itulah ciri khas kami.  Semboyan Pa'an Olo Igur Muzi ketika kami melakukan ritual adat di saat berkumpul bersama, akan ada dialog antara yang muda dan yang tua, disaat itulah terwujud tali persaudaraan yang erat  tanpa ada yang membeda-bedakan untuk menjalin persaudaraan.

  • Jika tema ini menghalangi, bagaimana solusinya?

Ada pepatah mengatakan: dimana langit dijunjung disitu bumi dipijak. Pepatah ini yang mengajarkan kami bagaimana mengatasi suatu "problem" jika semboyang yang kami anut terutama Pa'an Olo Igur Muzi tidak dijankan oleh semua pihak dalam hidup mereka atau jika berhadapan dengan budaya lain yang menuntut kami agar lebih peka dari apa yang kami rasakan dalam mengedepankan kesetaraan antara satu dengan yang lain baik yang tua, mau pun yang muda. Terutma yang menjadi masalah adalah soal bahasa dan nada yang diungkapkan oleh kami dalam berinteraksi dengan orang-orang di pulau Jawa tempat kami beromisili sekarang.

Ada pun beberapa solusi umum yang kami ambil dan lakukan adalah sebagi berikut:

Menanamkan  sikap toleransi dengan baik agar tidak menimbulkan kesenjangan antara satu dengan yang lain. Misalnya dalam berinteraksi berusahalah untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan berusaha untuk beriteraksi lebih duluh sebelum lawan bicara. Selain itu berusaha agar secara terus menerus meberikan bahasa tubuh yang rama terhadap orang yang kita jumpai salah satunya ialah memberikan senyum atau sapa; selamat pagi atau siang dan malam.

Hal di atas menurut kami menjadi solusi yang umum karena biar bagaimana pun bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu dalam setiap aspek hidup agar menyatukan dimensi perbedaan untuk memperolah kesatuan yang utuh yaitu kebersamaan yang harmonis. Di sisi lain kami juga secara terus menerus belajar untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan setempat dengan bertanya atau belajar keapada orang-orang terdekat misanya; dari karyawan-karyawati yang bekerja di Biara untuk mengali informasi tentang kehidupan mayarakat di Jawa, lalu belajar dari situasi sosial, dan lingkungan hidup yang menjadi refrensi utama untuk mengetahui budaya orang lain secara lebih jauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun