Sebab dikau aku teringat rupa
sekaligus ceria warna langit.
Serupa garis-garis tangan yang mengingatkanku
bahwa hidup tak sebatas takdir.
Subuh dan tubuhmu adalah seikat kisah
yang diceritakan saat senja
kepada malam.
Kepada binar bintang dan lampu jalan tak sempurna.
Sampai redup cahaya bulan.
Dan kau adalah cahaya bianglala
yang terikat janji serpihan hujan.
Suaramu ibarat gema sangkakala
yang di tiup gembala di padang dan oase. Memanggil dan mencariku.
Aroma nafasmu adalah harga yang terbayar di atas ranjang panjang sepanjang jalan.
Sampai akhirnya kau menyadari
bahwa yang mundur pasti gugur,
dan yang terus maju pasti laju.
(Malang, 16:45--05/02/2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H