Kau berdiri membelakangiku. Memandangi deretan burung raksasa mengantre. Yang akan menerbangkan kau ke tujuan harapan memanggil.
Sebuah ransel tepat menggantung di punggungmu.
Ku tahu perasaanmu pada rinai gerimis akhir senja. Sebab dari atas nanti kerlap kedip lampu di taman kota kan sirna di ujung mata. Terhalang awan di matamu.
Sesekali kau palingkan wajah ayumu pada antrean manusia menyemut.
Masih ku lihat hal yang sama, beban yang kau bawa bukan lagi ransel di punggungmu dan isinya. Tapi ini lebih besar, lebih berat. Yang coba kau sembunyikan pada bola mata dibalik lensa obsidianmu.
Ku tahu, kau masih menggantung rindu di Idjen Boulevard. Itu terlihat jelas dari senyum yang sengaja kau buat.
Namun pada akhirnya, aku semakin tahu bahwa ini musim panas. Dan rintik-rintik hujan yang jatuh bukan lagi dari langit. Sebab yang basah hanya pipimu saja.
Memang benar, bahwa Idjen Boulevard tidak seromantis jalanan Malioboro, namun jangankan kau salah, sebab rindu akan membunuh pada langkah terakhir kakimu.
Malang, 12 Juli 2107|18:22
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H