Mohon tunggu...
Gading Aurizki
Gading Aurizki Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Student of FKp UA 2010 | KAMMI | @nersgarawan | nersgarawan.blogspot.com | Reader | Leader

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

“Islam Akan Kembali Berjaya dengan Virus Ini!”

9 Agustus 2011   06:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:57 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Gading Aurizki

“Fantastis!” mungkin kata itulah yang mampu menggambarkan betapa luar biasanya Islam beberapa abad silam. Saking luar biasanya, sampai-sampai Barat pun mengakui kalau tanpa Islam, Barat tidak akan mengenal sains dan teknologi.

Carleton S (Carly) Fiorina, CEO Hewlett-Packard (HP), sewaktu menyampaikan pidatonya yang berjudul Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next pada 26 September 2001 di Minneapolis, Minnesota, berkata, “Dahulu, ada sebuah peradaban yang terbesar di dunia. Kerajaannya begitu luas, sambung-menyambung dari lautan ke lautan, menjangkau kawasan utara, tropika, dan padang pasir. Peradaban ini hidup subur digerakkan oleh ciptaan-ciptaan baru. Para arsiteknya mampu membangun bangunan tinggi yang melawan gravitasi. Para pakar matematikanya menciptakan konsep aljabar dan alogaritma, dan konsep-konsep ini membantu menciptakan komputer dan encryption yang ada dewasa ini. Para tokoh kedokterannya menemukan obat-obatan baru yang digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Para tokoh astronominya meneropong langit dan memberi nama kepada bintang-bintang dan sekaligus membuka jalan bagi penelitian angkasa raya. Para penulisnya menulis ribuan cerita … peradaban yang saya maksudkan adalah peradaban Islam yang berkembang pada 800-1600 Masehi.”

Nama-nama ilmuan muslim seperti Ibnu Sina yang ahli di bidang kedoteran, Yaqub bin Ishaq Al-Kindi ahli obat-obatan, Mohammad bin Zakariya Ar-Razi penemu campak dan cacar, Mohammad bin Musa Al-Khawarizmi penggagas ilmu aljabar, dan Abu Ali Hasan bin Haitham ahli bidang mata, tentu tidak asing lagi di telinga kita. Sayang, kini nama mereka seakan hanya menjadi pelipur lara bagi umat Muslim, yang sains dan ilmu pengetahuannya jauh tertinggal dari Barat. Seruan ‘dulu kita pernah jaya’ seakan terus menggema tanpa dibarengi dengan usaha untuk merebut kembali kejayaan dari tangan mereka.

Secara potensi, jelas umat Islam tidak akan kalah dengan bangsa Barat. Negara-negara Islam adalah negara penuh dengan sumber daya alam. Indonesia dengan komoditi perhutani dan pertambangannya, Arab dan negara Timur Tengah dengan minyaknya, dan beberapa negara lain dengan potensinya masing-masing. Dilihat dari sumber daya manusianya umat Islam juga tak kalah. Jumlah mereka kini semakin bertambah. Lalu apa permasalahannya?

Kita tidak akan membahas panjang lebar tentang sebab eksternal mengapa umat Muslim sekarang masih saja terpuruk. Kita harus berhenti membicarakan Barat melakukan ini dan itu, tanpa mengoreksi apa yang ada di dalam diri kita masing-masing. Al-Qur’an sudah menerangkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut mengubah nasibnya sendiri (Ar-Ra’d: 11).

Jika sudah seperti ini, alangkah baiknya jika permasalahan ini kita tinjau dari sudut pandang psikologis.

Awalnya, para ahli ilmu sosial mencoba untuk menerangkan sebab-sebab terjadinya perbedaan pertumbuhan dan perkembangan suatu negara dengan negara lain. Ada beberapa pendapat untuk menerangkan hal tersebut yang ditulis di berbagai literatur. Beberapa pendapat itu antara lain;

a.Lingkungan

Para ahli menilai tempat hidup menjadi penentu kemajuan suatu bangsa. Misal; negara yang lokasinya di daerahsubtropik mempunyai iklim yang membuat warga negaranya bekerja lebih giat, sehingga itu bisa menyebabkan produktivitasnya meningkat. Negara-negara di sekitar khatulistiwa tidak memperoleh keuntungan seperti negara subtropik. Iklim di khatulistiwa panas dan membuat orang lebih cepat lelah ketika bekerja.

b.Ras dan Genetik

Beberapa ahli berpendapat beberapa orang dari ras tertentu lebih energetik dan lebih cerdas daripada ras lainnya. Sehingga, ras yang faktor genetisnya lebih baik, akan membangun peradaban yang lebih maju.

c.Persebaran Budaya

Menurut konsep persebaran budaya ini, kemajuan suatu negara disebabkan adanya keterbukaan dari negara tersebut untuk menerima penemuan-penemuan baru dari negara lain, contohnya adalah Jepang. Jepang adalah negara yang banyak memanfaatkan penemuan teknologi Barat, yang kemudian dimodifikasi untuk mendapatkan teknologi yang lebih mutakhir.

Secara faktual, ketiga faktor tersebut memang memberi pengaruh, tetapi ternyata itu tidak dominan. Menurut David C. McClelland, teori yang berbicara bahwa iklim berpengaruh pada kemajuan suatu negara ternyata memiliki banyak kelemahan. Teori tersebut tidak bisa menerangkan kenapa negara yang secara iklim mirip, namun pertumbuhan ekonominya berbeda. Dalam kasus ini bisa diambil contoh Inggris dan Polandia. Keduanya memiliki iklim yang relatif sama, namun mengapa income per capita Inggris beberapa kali lebih besar daripada Polandia? Inilah yang tidak bisa dijawab oleh teori yang mengatakan bahwa faktor lokasi atau lingkungan banyak berpengaruh pada kemajuan suatu negara.

Pun, dengan faktor ras dan genetis. Kira-kira 700 tahun yang lalu, Kota Florence di Italia sangat pesat pertumbuhannya. Gedung mewah, bank, pendidikan, dan kebudayaan tumbuh secara cepat. Tetapi sekarang, pertumbuhan Kota Florence tidak sepesat 700 tahun silam. Jika dilihat dari segi ras, penduduk Florence antara sekarang dan 700 silam tidak jauh berbeda. Inilah sangkalan terhadap teori kedua yang mengatakan bahwa faktor ras dan genetis adalah yang paling berpengaruh terhadap kemajuan suatu negara.

Untuk teori ketiga, Jepang memang satu di antara beberapa negara yang sukses karena membuka diri terhadap kebudayaan luar. Namun tak sedikit negara yang melakukan hal serupa, namun malah semakin rusak karena tidak bisa mengontrol masuknya kebudayaan asing tersebut. Hal ini dapat ditemui di beberapa negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Meski ada keuntungannya dengan masuknya teknologi dari luar, kerugiannya pun bisa dikatakan cukup banyak, mulai dari kerusakan moral, budaya konsumtif, enggan berinovasi, dan lain-lain.

Karena semua teori yang diajukan mengandung banyak kelemahan, David C. McClelland (1969) mengajukan teori yang disebutnya sebagai teori kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement). Menurut teori ini, kemajuan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh tingkatan sejauh mana orang-orangnya memiliki ‘virus’ mental yang disebut virus n-ach. Orang yang memiliki virus tersebut dalam kadar tinggi akan memiliki sifat rajin bekerja keras, kalau mengerjakan sesuatu ingin sebaik-baiknya, merasa lebih puas dengan hasil kerja yang baik daripada upah yang diterimanya dari pekerjaan itu, dan selalu ingin berbuat lebih banyak melebihi apa yang sudah pernah dibuatnya.

Namun teori ini bukan berarti tanpa cela. Apabila motif berprestasi yang ditanamkan dilakukan tanpa pertimbangan lain selain mengejar kepuasan, maka yang terjadi adalah timbulnya hal negatif. Hal negatif yang dimaksud adalah orang akan terdorong untuk bekerja terus demi mencapai standar tinggi (standard of excellence) yang telah digariskannya. Sehingga orang akan selalu merasa tidak puas dengan hasil kerjanya. Ketidakpuasan inilah yang mengakibatkan adanya ketegangan jiwa. Orang yang bunuh diri karena selalu tidak puas dengan capaian hidupnya akan meningkat, rumah tangga yang didasari ketidakpuasan juga akan berakhir cerai, dan banyak lagi masalah sosial yang diakibatkan dari ketiadaan kontrol dari kadar virus n-ach yang berlebih.

Berabad-abad sebelum McClelland mengungkapkan gagasannya, Al-Qur’an sudah menyinggung tentang virus n-ach tersebut. Sejatinya teori yang diungkapkan McClelland mirip dengan isi Surat Al-Insyirah ayat 7-8. “Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

Islam menganjurkan umatnya agar terus bekerja meskipun telah menyelesaikan suatu pekerjaan. Itulah yang diungkapkan Qur’an dan hampir mirip dengan teori need for achievement milik McClelland. Umat Islam dituntut agar tidak cepat merasa puas dengan hasil kerjanya, dan diperintahkan untuk menyongsong pekerjaan lain yang sekiranya bisa mereka kerjakan.

Namun yang berasal dari Al-Qur’an tentu tanpa cela. Berbeda dengan yang diungkapkan McClelland, Al-Qur’an mengontrol virus n-ach agar tidak sampai overdosis. Yaitu dengan kalimat ‘dan kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap’ (Al-Insyirah: 8).

Manusia bekerja hanyalah untuk mendapat pengakuan dari Allah, bukan pengakuan dari manusia. Jika yang dicari adalah pengakuan dari Allah, tentu yang muncul pada diri adalah kerendahan hati. Jika yang dicari adalah pengakuan dari manusia atas prestasi yang ia peroleh dapat mengantarkan manusia pada ketidakpuasan seperti yang diungkapkan McClelland.

Wallahua’lam bishshawab.

Takhrij

Abidin, Danial Zainal. 2008. Al-Qur’an For Life Excellence (Terj.). Bandung: Penerbit Hikmah.

-------- 1994. Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun