Sebagai seorang umat muslim tentu saja harus menjalankan kewajiban beribadah kepada Allah SWT sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya di akhirat nanti. Tugas pokok kita sebagai umat muslim pada dasarnya memang untuk beribadah semata.Â
Namun, yang dimaksud kewajiban beribadah di sini bukan hanya melaksanakan rukun islam saja atau sepanjang hari hanya berdiam diri sambil berdzikir tanpa menjalankan kegiatan sehari-hari.Â
Dalam cerita pendek "Robohnya Surau Kami" karya dari A.A. Navis, kita diajak untuk merefleksikan makna ibadah yang sesungguhnya dan bagaimana cara untuk menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan spiritual. Cerita pendek ini merupakan sebuah karya sastra yang tidak lekang oleh waktu. Dibalik kesederhanaan ceritanya, terkandung kritik tajam tentang kehidupan religius dan kemanusiaan.Â
Cerita pendek ini pula menceritakan seorang kakek tua yang mengabadikan hidupnya untuk menjaga surau. Ia sangat tekun beribadah dan sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada Allah SWT. Bagi kakek, surau adalah segalanya, tempatnya mendekatkan diri kepada Tuhan.
Namun, ironisnya, kakek penjaga surau yang begitu taat beribadah ini justru menemui akhir hidupnya dengan tragis. Ia membunuh dirinya dengan cara menggorok tenggorokannya menggunakan pisau cukur hanya karena mendengar bualan dari seorang pembual yang bernama Ajo Sidi.
Kematian tragis kakek penjaga surau ini menjadi kritik tajam terhadap pandangan keagamaan yang sempit dan dangkal. Cerita ini menunjukkan bahwa ibadah yang hanya fokus pada ritual semata tanpa diiringi dengan tindakan nyata untuk membantu sesama tidaklah cukup.
Kakek penjaga surau ini terjebak dalam pemahaman agama yang keliru, di mana ia menganggap bahwa beribadah di surau adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Ia mengabaikan kebutuhan duniawi dan sosialnya, bahkan mengabaikan keluarganya sendiri.
Cerita pendek ini mengajak kita untuk memahami bahwa agama tidak hanya tentang ritual, tetapi juga tentang bagaimana kita hidup dan berperilaku di dunia. Ibadah yang sesungguhnya adalah yang seimbang antara kehidupan duniawi dan spiritual.
Kita diajak untuk tidak hanya fokus pada ritual keagamaan, tetapi juga peduli terhadap sesama manusia. Kebaikan dan kemanusiaan juga merupakan salah satu esensi dari ajaran agama.
Meskipun cerita pendek ini ditulis pada tahun 1955, namun maknanya masih relevan dengan masa kini. Masih banyak orang yang terjebak dalam pemahaman agama yang sempit, di mana mereka hanya fokus pada ritual keagamaan tanpa memperhatikan aspek sosial dan kemanusiaan.
Cerita pendek ini dapat dijadikan sebagai pengingat bagi kita semua untuk selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama. Kita harus memahami bahwa agama bukan untuk memecah belah, melainkan untuk menyatukan dan membawa kebaikan bagi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H