"Beberapa hari ini aku sering bermimpi tentang seorang gadis yang sangat bahagia dengan segala tanggung jawabnya yang berat. Kau tau, semalam aku bermimpi gadis itu mendapat peran untuk membagikan harta warisan milik sepupunya yang baru saja meninggal. Padahal dia tidak pernah satu kalipun dipercaya untuk memegang tanggung jawab.Â
Yang sering dia lakukan hanyalah meringankan beban seseorang dengan membantunya. Ah, dua hari lalu aku juga memimpikan gadis itu. Dia sedang bermain ke rumah neneknya yang sudah meninggal.Â
Si gadis dan kakak perempuannya disuguhi makan siang oleh neneknya yang tersenyum lebar dan terus mengeluarkan makanan dari tungku dapur. Menu terakhir yang nenek suguhkan sebelum aku terbangun adalah bubur kacang hijau yang dicampur dengan nasi bukan ketan hitam. Tapi hal bahagia itu selalu membuatku menangis setiap kali bangun." aku mengulum senyum sebelum melanjutkan cerita.Â
"Ah, satu ketika aku merasa melihat gadis itu sedang makan es krim vanila bersama wanita paruh baya yang mengendong seorang anak laki-laki. Lalu tiba-tiba si gadis terlempar dan mendarat di sebuah tangga sebuah sekolah. Kukira itu adalah sekolah menengah pertamaku? Aku tidak begitu ingat. Yang jelas ada gadis itu dan sekelompok anak seusianya sedang bercengkerama tapi si gadis hanya melihat sepasang mata seorang laki-laki diseberangnya.Â
Mungkin dia sedang jatuh cinta pada laki-laki itu. Matanya sangat bersinar dan setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar renyah juga sedikit mencari perhatian. Dia pasti sangat senang bisa bersama orang yang dicintai. Ah, maaf, apakah ceritaku terlalu panjang?" wanita paruh baya didepanku menggeleng. Aku menanggapinya dengan anggukan. Masih terlarut dalam perasaan si gadis yang sangat bahagia dalam mimpiku, aku meneruskan cerita tentang mimpi-mimpi bersama si gadis selama sebulan ini.Â
"Apakah kamu masih menangis setelah bangun?" tanya wanita itu. Aku mengangguk, mengiyakan. Dan menambahkan, "Aku juga semakin sering kelelahan dalam aktivitas harianku. Bernapas saja rasanya melelahkan. Tapi begitu akan tidur, energiku seperti pulih. Bahkan aku sangat bersemangat dan berdoa untuk bertemu gadis itu lagi."
"Aktivitas apa yang sekarang kamu lakukan? Apakah hal-hal yang kamu tidak sukai?" tanyanya lagi. Aku menggeleng, mengingat kembali seluruh aktivitas yang kulakukan belakangan ini. "Sepertinya semua pekerjaanku adalah hal yang kusukai. Hanya saja aku lebih sering bertemu dengan orang baru." aku mengangkat bahu.Â
"Tuntutan pekerjaan? Entahlah. Yang kurasakan hanya, aku ingin segera bertemu dengan gadis itu". jawabku tanpa melihat mata wanita itu. Â Terlalu berat rasanya untuk menatap mata almon didepanku itu. Dia seolah bisa menguliti kepalaku hanya dengan satu tatapan. Meskipun dia tidak pernah sengaja mengintimidasi tapi terkadang dia terlihat sedang melakukannya.Â
"Hhmmm, begitu rupanya. Apa kamu tau siapa gadis itu? Apakah dalam mimpimu itu, kamu adalah si gadis atau hanya melihat si gadis?"
"Aku hanya melihat gadis itu bersenang-senang." aku tidak menjelaskan lebih lanjut. Ada desakan kuat yang menarik lidahku kedalam. Wanita itu tersenyum melihatku.Â
Dia menulis entah apa dalam kertas yang sejak tadi ada dipangkuannya. Mungkin dia sedang menungguku untuk bicara lagi. Sementara aku terus diam sampai bisa mendengarkan dengung pendingin ruangan, coretan pena dikertas juga suara berisik dari luar yang terdengar samar. Aku tenggelam dalam suasana itu, kepalaku riuh dengan kata-kata.Â
"Pasti menyenangkan ya jika aku bisa sebahagia gadis itu." gumamku.Â
"Maksudmu, kamu tidak bahagia sekarang?"Â
"Entahlah, mungkin? Banyak sekali hal kecil yang membuatku jatuh. Semacam aku selalu menemukan kerikil yang langsung membuatku terjatuh. Sekecil candaan "Apa susahnya sih ikut tertawa?" dari temanku, atau sekedar mengomentari cara berpakaianku yang tidak sefeminim teman perempuan yang lain bisa membuatku memaki diri sendiri. Mungkin aku sedang iri pada gadis itu, yang bisa tertawa sesuka hatinya, yang bisa menentukan jalan mana yang akan diambilnya, yang bisa tetap bahagia meski memiliki tanggung jawab yang besar dan sulit."
"Setiap orang punya fasenya masing-masing. Gadis itu sudah menemukan dirinya dan mungkin dia lebih mencintai dirinya sendiri daripada orang lain. Saya? Saya juga pernah berada di bawah seperti kamu dengan versi saya sendiri, juga pernah mengalami kisah si gadis." wanita itu tersenyum. "Dan saya memilih untuk menjadi bahagia seperti si gadis. Kalau kamu, saya tidak tau mana yang akan kamu pilih."
"Begitu ya. Apakah menjadi egois dengan mencintai diri sendiri itu se-membahagiakan itu?" wanita itu mengangkat sebelah alisnya sebentar lalu tersenyum lagi.
"Bukan egois, tapi itu adalah pilihan kita. Mencintai bukanlah hal yang egois. Namun bagaimana cara kita memperlakukan cinta itu yang menentukan apakah kita akan egois atau tidak."Â
"Klasik. Tapi aku tetap tidak bisa mengerti. Selama ini aku menahan diri untuk tidak egois dan memikirkan diri sendiri termasuk mencintai." melihat kebingunganku, wanita itu menepuk punggung tangan kananku.
"Pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru. Prosesnya memang panjang dan akan sangat melelahkan tapi hasilnya akan membuatmu kuat. Pelan-pelan saja! Sekarang, untuk meredakan napasmu yang terlalu cepat, tarik napasmu yang panjang dan hembuskan pelan-pelan." aku mengikuti perintahnya. "Apakah sekarang lebih baik?" aku masih melakukan olah napas itu.Â
"Jangan terlalu terlarut oleh gadis itu. Bagaimana jika kamu menyerap energi gadis itu untuk kehidupan nyatamu? Kehidupan setelah kamu bangun?" aku melihat wanita paruh baya itu. Kali ini aku memberanikan diri menatap matanya.Â
"Aku takut." aku menelan ludah. Sesekali melihat matanya, kemudian menunduk lagi dengan dalam.
"Kenapa harus takut? Apakah menjadi bahagia adalah sebuah kesalahan?" aku mencuri pandang ke wanita paruh baya itu.Â
Memang benar yang dikatakannya, tidak ada yang perlu ditakutkan untuk menjadi bahagia dan mencintai diri sendiri. Tapi kenapa rasanya masih sangat berat untuk mengiyakan kalimatnya. Kepalaku mulai pusing. Si gadis tiba-tiba muncul dan tersenyum. Seolah mengajakku untuk menjadi bahagia dan berani seperti dia. Aku ragu untuk mengulurkan tangan. Banyak hal buruk yang terlintas dalam kepalaku.Â
"Kamu b..." suara itu tertelan suara lain yang berisik. Tidak jelas dan keras. Kemudian samar-samar suara itu membentuk kata.
"SIZY!..." seseorang memanggil namaku. Siapa? Apa yang dia ucapkan? Hei tunggu, gadis itu menghilang.Â
"SIZY! BUKA PINTUNYA!" ah rupanya suara ibuku. Aku masih duduk diam di depan wanita paruh baya yang kian memudar. Lalu hanya pantulan diriku saja yang nampak.Â
Suara ibuku semakin tidak sabar.Â
"Ada apasih bu?" tanyaku kesal.Â
"Apa kamu mendengarkan musik kencang-kencang lagi? Telingamu bisa jebol kalau terlalu sering kamu mendengarkan musik sekencang itu. Cepat mandi dan makan. Sarapanmu hampir basi." kalimat itu terlalu panjang untuk kudengarkan sekaligus. Tapi kuiyakan saja agar cepat. "Ayo! Kenapa malah berdiri saja di situ." melihatku kebingungan, ibu menarikku ke kamar mandi dan merebut seperangkat headphone yang tidak mengeluarkan suara apapun.
"Selesaikan mandimu dengan cepat, kau bilang akan ada rapat bersama atasanmu untuk proyek penyuluhan atau entah apa itu." suara ibuku masih terdengar kencang, tapi kepalaku belum bisa memprosesnya. Setelah suara langkah kaki ibu menjauh, aku mulai merangkai peristiwa pagi ini. Masih tidak bisa kumengerti, sama seperti pagi sebelumnya.Â
Beberapa bulan terakhir aku menjadi linglung setelah bertemu wanita paruh baya dan si gadis dalam mimpi. Juga ibuku yang menangis setiap kali aku mandi. Ayahku, dulu menganggapku gila tapi setiap ibu menangis dia hanya menepuk pundak ibu tanpa berkomentar apapun. Padahal aku merasa tidak ada yang salah dengan diriku, aku baik-baik saja. Masih bekerja seperti biasanya, makan dan mengobrol dengan ibu dan ayah juga. Hanya setiap pagi aku punya ritual baru setiap pagi, berbicara dengan wanita paruh baya di cermin dan gadis dalam mimpiku. Dan setiap menyaksikan adegan pagi itu, melihat ayah yang memeluk ibu atau menepuk-nepuk pundaknya, aku mengangkat bahu dan melewatinya begitu saja.Â
Di rumah ini, pagi menjadi normal (setidaknya untuk ayah dan ibu) setelah aku mandi dan bersiap untuk bekerja. Berjalan melewati lorong pendek dengan pajangan berbagai foto keluarga hingga duduk manis untuk menyantap sarapan. Setelahnya kembali ke kamar untuk mengambil perlengkapan kerja lalu berpamitan dengan gadis dalam mimpi di salah satu bingkai foto. Gadis dengan potongan rambut model bob dan poni miring kekanan yang menjadi kesayangan ayah dan ibu pada masanya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H