Mohon tunggu...
Askara Aksara
Askara Aksara Mohon Tunggu... Lainnya - tempat paling menyenangkan untuk berhitung dengan aksara

tidak hanya aku padamu, tetapi juga darimu untukku. selamat berpesta kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Trapped

29 November 2021   06:59 Diperbarui: 29 November 2021   06:59 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang benar yang dikatakannya, tidak ada yang perlu ditakutkan untuk menjadi bahagia dan mencintai diri sendiri. Tapi kenapa rasanya masih sangat berat untuk mengiyakan kalimatnya. Kepalaku mulai pusing. Si gadis tiba-tiba muncul dan tersenyum. Seolah mengajakku untuk menjadi bahagia dan berani seperti dia. Aku ragu untuk mengulurkan tangan. Banyak hal buruk yang terlintas dalam kepalaku. 

"Kamu b..." suara itu tertelan suara lain yang berisik. Tidak jelas dan keras. Kemudian samar-samar suara itu membentuk kata.
"SIZY!..." seseorang memanggil namaku. Siapa? Apa yang dia ucapkan? Hei tunggu, gadis itu menghilang. 

"SIZY! BUKA PINTUNYA!" ah rupanya suara ibuku. Aku masih duduk diam di depan wanita paruh baya yang kian memudar. Lalu hanya pantulan diriku saja yang nampak. 

Suara ibuku semakin tidak sabar. 

"Ada apasih bu?" tanyaku kesal. 

"Apa kamu mendengarkan musik kencang-kencang lagi? Telingamu bisa jebol kalau terlalu sering kamu mendengarkan musik sekencang itu. Cepat mandi dan makan. Sarapanmu hampir basi." kalimat itu terlalu panjang untuk kudengarkan sekaligus. Tapi kuiyakan saja agar cepat. "Ayo! Kenapa malah berdiri saja di situ." melihatku kebingungan, ibu menarikku ke kamar mandi dan merebut seperangkat headphone yang tidak mengeluarkan suara apapun.

"Selesaikan mandimu dengan cepat, kau bilang akan ada rapat bersama atasanmu untuk proyek penyuluhan atau entah apa itu." suara ibuku masih terdengar kencang, tapi kepalaku belum bisa memprosesnya. Setelah suara langkah kaki ibu menjauh, aku mulai merangkai peristiwa pagi ini. Masih tidak bisa kumengerti, sama seperti pagi sebelumnya. 

Beberapa bulan terakhir aku menjadi linglung setelah bertemu wanita paruh baya dan si gadis dalam mimpi. Juga ibuku yang menangis setiap kali aku mandi. Ayahku, dulu menganggapku gila tapi setiap ibu menangis dia hanya menepuk pundak ibu tanpa berkomentar apapun. Padahal aku merasa tidak ada yang salah dengan diriku, aku baik-baik saja. Masih bekerja seperti biasanya, makan dan mengobrol dengan ibu dan ayah juga. Hanya setiap pagi aku punya ritual baru setiap pagi, berbicara dengan wanita paruh baya di cermin dan gadis dalam mimpiku. Dan setiap menyaksikan adegan pagi itu, melihat ayah yang memeluk ibu atau menepuk-nepuk pundaknya, aku mengangkat bahu dan melewatinya begitu saja. 

Di rumah ini, pagi menjadi normal (setidaknya untuk ayah dan ibu) setelah aku mandi dan bersiap untuk bekerja. Berjalan melewati lorong pendek dengan pajangan berbagai foto keluarga hingga duduk manis untuk menyantap sarapan. Setelahnya kembali ke kamar untuk mengambil perlengkapan kerja lalu berpamitan dengan gadis dalam mimpi di salah satu bingkai foto. Gadis dengan potongan rambut model bob dan poni miring kekanan yang menjadi kesayangan ayah dan ibu pada masanya.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun