Mohon tunggu...
Askara Aksara
Askara Aksara Mohon Tunggu... Lainnya - tempat paling menyenangkan untuk berhitung dengan aksara

tidak hanya aku padamu, tetapi juga darimu untukku. selamat berpesta kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merayakan Ulang Tahun Naga

24 Juli 2020   16:05 Diperbarui: 24 Juli 2020   15:54 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duniaku adalah dunia yang serba terbalik. Langit menjadi tanah, tanah menjadi langit. Tidak ada dasar di bawah sana. Orang-orang terbang dengan kaki mereka. Tanaman mengikat dirinya pada tanah-tanah yang menggunduk seperti gunung yang memencar. Hanya hewan saja yang normal. Yang bersayap akan terbang, yang tak bersayap akan menunggu gundukan tanah saling merapat untuk bepergian. 

Tapi ada satu waktu dimana seluruh penghuni dunia ini berkumpul, yaitu ketika bulan merah tetap berukuran dua kali lipat dari kondisi normalnya sejak terbit dari barat hingga terbenam di timur. 

Seluruh penghuni dunia akan bersuka cita, gundukan tanah yang berserak akan mengumpul dan membuat hamparan tanah yang luas, tanaman menggugurkan buah dan daunnya, dan orang-orang akan membawa daging binatang buruan mereka. 

"Minggir minggiiiirrr, semuanya minggiiiirrrr!" teriak orang bertubuh gempal yang berlari dengan sepiring besar daging rusa panggang di atasnya. Di belakang orang gempal itu tengah mengular ratusan orang dengan bermacam daging siap santap. Ah, bepata lezatnya daging-daging itu.

Liurku menetes setiap piring-piring itu diletakkan. Orang terakhir meletakkan piring yang berisi daging kelinci segar beserta buah dan sayur di sekelilingnya. Lalu dimulailah pesta malam ini dengan suka cita. 

Ketika seekor singan dipecut agar mengaum dengan kencang, maka pesta sudah dimulai. Tidak perlu menunggu yang terlambat. Lagi pula tidak ada yang akan terlambat dalam pesta satu tahun sekali ini. Tidak satu makhluk pun yang datang terlambat. Pesta ini terlalu spesial untuk dilewatkan begitu saja. Aku jadi ingat cerita nenekku dulu sebelum mati. 

"Orang-orang, hewan, dan tumbuhan seperti berlomba meraih posisi paling pinggir gundukan-gundukan. Agar mereka menjadi orang pertama yang menyaksikan keajaiban sebuah tanah datar tanpa ujung, tanpa gundukan." kata nenek. Ah, pantas saja baru-baru ini Raja Agung mengeluarkan perintah bahwa siapapun yang menyentuh garis batas terluar gundukan akan dikurung selama pesta bulan merah besar.

"Mereka kan banyak nek? Memangnya gundukan itu bisa menampung seluruh umat?" tanyaku.

Sebelum menjawab, nenek tersenyum. Senyum yang menggambarkan kesedihan. "Tentu saja tidak. Banyak yang jatuh entah kemana. Mereka yang bisa terbang pun tak terelakkan. 

Karena kamu tau, setiap bulan merah besar, para makhluk yang diberkahi kemampuan terbang akan kehilangan kekuatannya" aku mendengarkan dengan seksama. 

Nenek tersenyum lagi. "Saat bulan merah besar seperti yang akan terjadi besok, dunia ini akan menjadi normal. Dimana langit adalah langit dan tanah akan menjadi tanah. Akan ada dasar berupa gumpalan es abadi yang akan mencair ketika bulan merah besar tenggelam."

"Tapi kenapa nenek tidak pernah datang ke pesta peringatan bulan merah besar?" nenek menjawab pertanyaanku itu dengan senyum yang mengatakan bahwa aku akan mengerti pada waktunya. 

Pesta perayaan bulan merah besar sangat meriah. Mereka berteriak, "Hidup Raja Agung, hidup Semesta Raya" berulang-ulang. Sedang yang diteriaki sudah melahap hampir setengah dari sajian yang dibawa orang-orang tadi. 

Aku jadi bertanya, apakah benar dia Raja Agung? Aku lebih suka menyebutnya Raja Makan karena lihatlah di depan itu. Raja yang mereka sebut Agung itu makan dengan lahap sedang disekelilingnya ada banyak orang yang berebut daging dari satu piring. 

DUUUUMMMMMM

Suara dentuman itu memekakkan telinga. Dan bersamaan dengan itu, tubuh Raja Agung terbanting ke meja dan membuatnya patah tak keruan. Sorak sorai semakin keras. "Hidup Raja Agung, hidup Semesta Raya." teriakan itu semakin keras dan semakin sering. 

Orang-orang dan hewan pemakan daging mendekat ke arah Raja Agung. Mereka berteriak dan mengoyak tubuh Raja Agung kemudian memakannya dengan lahap. 

Seolah Raja Agung adalah santapan utama dari pesta itu. Tidak sampai seperempat pasir waktu, tinggal belulang tanpa seincipun daging yang melekat. Bahkan darahnya pun tak terlihat. Aku bergidik melihat kejadian itu.

"Raja Agung telah Bangkit, Raja Agung telah Bangkit" teriakan itu membuat semua mata menatap kearahku. Dengan mata berbinar penuh harap dan wajah seolah tengah mendamba, mereka mengelilingiku. 

"Hidup Raja Agung, Hidup Raja Agung" begitu seru mereka terus menerus sampai bulan merah besar tenggelam di timur. Saat Matahari Biru terbit, mereka seperti lupa sedang mengelu-elukanku. 

Gundukan-gundukan mulai terbentuk. Memisahkan kerangka Raja Agung semaunya. Mengirimkan pulang orang-orang, hewan-hewan, dan tanaman-tanaman pulang dengan terbang. Aku terbelalak ditempatku berdiri.

"Bagaimana bisa mereka semua terbang? Bahkan ilalang itu pun terbang sekarang." aku menelan ludah. Baru aku ingat bagaimana cara nenek mati. Naga tua itu mati sebagai santapan penghuni Semesta Raya. 

Aku lupa legenda sudah memutuskan jika ingin terbang maka makanlah daging naga, minumlah darahnya. Karena seteguk darah naga bisa membuatmu terbang tujuh kali putaran pasir waktu, segumpal daging naga bisa membuatmu terbang 30 kali putaran pasir waktu, dan jantung naga bisa membuatku terbang selama pasir waktumu berputar. 

Di Semesta Raya, terbang adalah hal mutlak jika ingin hidup. Dan hanya Naga sebagai kekuatan tertinggi yang mampu mewariskan kemampuan terbang itu. Lalu aku, aku naga yang mereka tunjuk sebagai santapan mereka tahun depan. 

Ah, pantas saja nenek tidak pernah mau datang ke pesta bulan merah besar. Mungkin selain tidak mau melihat kematian tragis naga (yang di anggap penghuni Semesta Raya sebagai Raja Agung), mungkin juga nenek tidak mau melihat anak cucunya terlahir sebagai Raja Agung. Yang kelahirannya adalah pesta kematian saudaranya sendiri.

"Ah, kenapa legenda sangat semena-mena pada kami? Siapa yang membuat legenda sejahat itu?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun